Saturday 10 June 2017

⁠⁠⁠REFLEKSI :MELIHAT KE DALAM DIRI SENDIRI

⁠⁠⁠REFLEKSI :MELIHAT KE DALAM DIRI SENDIRI

PRIA ITU MELUDAHI BUDDHA

Lalu, apa yang ingin engkau sampaikan?

Suatu hari, Buddha sedang duduk santai berbincang-bincang dengan beberapa muridnya, bercakap-cakap sambil menikmati rimbunnya teduh di bawah pohon. Terlihat dari jauh ada seorang pria asing berjalan menuju arahnya, setibanya di hadapan Buddha, tanpa menguncarkan sepatah katapun dia langsung meludahi wajah Buddha. Suasana tiba-tiba sunyi-senyap,
Buddha spontan menarik jubah bagian bawahnya untuk membersihkan wajahnya lalu bertanya, “Lalu, apa yang ingin engkau sampaikan?” Pria itu tampak kikuk dan tak keruan bingung, dia tidak menyangka akan mendapat respon demikian. Dia pernah mempermalukan banyak orang dan rata-rata mengamuk, mereka yang pengecut akan tertunduk atau bahkan ada yang mencoba menyogoknya dengan duit. Namun respon Buddha sama sekali berbeda, Buddha tidak marah, juga tidak merasa dihina atau dipermalukan, juga tidak seperti seorang pengecut, justru Buddha hanya bertanya, “Lalu, apa yang ingin engkau sampaikan?” Buddha tidak membalas dengan kekerasan.

Beberapa bhante yang berada disamping Buddha kontan bereaksi keras. Bhante Ananda langsung angkat bicara, “Ini benar-benar keterlaluan, kita tidak boleh membiarkannya. Dia harus dihukum, jika dibiarkan maka, nanti semua orang akan melakukan hal serupa lagi!”

Buddha menenangkan Ananda, “Kamu hendaknya tetap tenang. Dia tidak menghina saya, justru Anda-lah yang menghina saya. Dia ini orang asing yang tidak dikenal. Tampaknya dia mendengar sesuatu tentang saya dari orang lain, bisa jadi saya dituduh sebagai seorang atheis, manusia berbahaya yang suka menjerumuskan orang lain, seorang pembangkang, atau koruptor. Pikiran pria itu tampaknya telah dipenuhi oleh berbagai gagasan tentang saya. Pria itu tidak meludahi saya, justru dia meludahi gagasannya sendiri. Pria itu telah meludahi gagasan dia tentang saya, ini dikarenakan dia tidak kenal saya, jadi bagaimana mungkin dia meludahi saya?

“Jika engkau menatap lebih dalam,” Buddha melanjutkan, “Sebetulnya yang dia lakukan adalah meludahi pikirannya sendiri. Saya bukan bagian dari pikirannya, saya yakin bahwa ada sesuatu yang ingin disampaikan oleh pria malang ini, jadi meludah adalah cara dia menyampaikan sesuatu. Kadang engkau merasa ucapan tidak mampu melaksanakan tugasnya alias mentok; maka engkau menggunakan tindakan sebagai gantinya berbicara, engkau marah, engkau membenci, engkau mencintai, engkau berdoa. Ketika engkau marah besar, engkau naik pitam, bahkan engkau menonjok pihak lain, engkau meludahi pihak lain, engkau ingin menyampaikan sesuatu. Saya bisa memaklumi hal demikian. Saya yakin dia ingin menyampaikan sesuatu, oleh karena itulah saya bertanya, “Lalu, apa yang ingin engkau sampaikan?”

Pria itu tidak meludahi saya, justru dia meludahi gagasannya sendiri. Pria itu telah meludahi gagasan dia tentang saya, ini dikarena dia tidak kenal dengan saya, jadi bagaimana mungkin dia meludahi saya?

Pria itu tertegun binggung bahkan tidak tahu harus berbuat apa! Buddha kemudian melanjutkan, “Saya justru merasa terhina oleh kamu, wahai Ananda, karena engkau sudah hidup berdampingan denganku sekian tahun, namun engkau masih bereaksi keras.”

Begitu pusing dan tidak tahu harus berbuat apa, pria malang itu pulang tanpa melontarkan sepatah katapun. Pria itu pulang ke rumah, sepanjang malam tidak bisa tidur, dia hanya bergolek ke kanan dan ke kiri, matanya melek terus sepanjang malam. Kesan yang begitu mendalam ketika bertemu dengan Buddha, adegan tadi siang masih terus menghantui dirinya. Dia sama sekali tidak menduga kejadiannya bisa begitu. Dia gemetaran bahkan keringat dingin membasahi selimutnya. Dia belum pernah bertemu dengan manusia seperti itu, Buddha telah mengguncang seluruh badan jasmani, pikiran, dan hatinya, Buddha telah mengguncang hidupnya.

Keesokan paginya, pria itu datang kembali bertemu Buddha. Dia langsung menghamburkan dirinya bersujud di hadapan kaki Buddha. Kemudian Buddha kembali bertanya, “Lalu, apa yang ingin engkau sampaikan?” Pria itu bertindak demikian merupakan cara dia menyampaikan sesuatu, inilah bahasa-nya. Engkau datang dan bersujud dihadapan saya, berarti ada sesuatu yang sangat sulit Anda sampaikan sehingga Anda menggunakan tindakan, kadang-kadang bahasa terlalu miskin, tidak ada kata-kata yang pas untuk menyampaikannya.” Buddha menatap Ananda dan berujar, “Ananda, lihatlah, pria ini datang kembali, dan dia ingin menyampaikan sesuatu, pria ini memiliki karakter emosional meluap.”

Pria itu mendongak kepalanya dan menjawab, “Maafkan perbuatan saya kemarin.”

Buddha membalas, “Memaafkan? Tapi saya bukanlah saya yang kemarin yang engkau ludahi. Air di sungai Gangga terus mengalir, tidak akan pernah sama lagi setiap momen. Setiap manusia adalah sungai. Manusia yang engkau ludahi kemarin sudah tidak ada lagi di sini. Saya mirip dengan saya yang kemarin, tapi tidak persis sama, sudah banyak peristiwa yang terjadi selama 24 jam! Air di dalam sungai itu telah mengalir dan mengalir. Jadi saya tidak bisa memaafkan Anda karena saya tidak ada rasa dendam sama sekali terhadap perbuatanmu.”

“Anda juga manusia baru hari ini. Saya bisa melihat bahwa kamu bukanlah kamu yang dengan penuh amarah lalu meludahi saya, sekarang Anda sedang bersujud di sini, menyentuh kaki saya. Bagaimana mungkin Anda sama dengan Anda yang kemarin? Anda sudah berbeda hari ini, jadi mari kita lupakan saja kejadian kemarin. Dua orang itu, dia yang meludahi dan dia yang diludahi sudah tidak ada lagi. Lihatlah dengan seksama. Mari kita berbincang-bincang hal lain.”

Diterjemahkan dan ditulis ulang dari: Wisdom Pills

No comments:

Post a Comment