Tuesday 6 June 2017

Kunjungan Buddha ke Desa Bàlakalonaka

Kunjungan Buddha ke Desa Bàlakalonaka

Bàlakalonaka adalah sebuah desa feodal milik seorang kaya bernama Upàli (menurut MSS Sinhala, disebut juga Bàlakalokanaka.) Buddha mengunjungi desa ini tanpa memberitahukan kedua Siswa Utama atau Siswa Besar lainnya bahkan tidak memberitahu Yang Mulia ânanda. Bagaikan seekor pemimpin gajah yang meninggalkan kelompoknya, Beliau pergi ke sana sendirian, membawa mangkuk dan jubah-Nya.
Karena tidak ada makhluk yang akan di-’bebas’-kan oleh Buddha selama vassa kesepuluh yang akan datang; kepergian-Nya seorang diri dari Kota Kosambi adalah sebagai peringatan kepada para bhikkhu yang suka bertengkar. Dalam perjalanan itu Beliau berjalan melalui Hutan Pàlileyyaka karena Beliau ingin menyenangkan dan memberikan semangat kepada Thera Bhagu yang sedang berdiam dalam kesunyian hutan itu dengan Desa Bàlakalonaka sebagai sumber dàna makanannya.


Lima Ratus Bhikkhu Memberitahukan Kepada ânanda Mengenai Keinginan Mereka Menyertai Buddha

Saat Buddha telah pergi sendirian, lima ratus bhikkhu berkata kepada Thera ânanda, “Yang Mulia ânanda, Buddha telah pergi sendirian. Marilah kita menyusul Beliau!” ânanda menjawab, “Saudaraku, jika Tathàgata merapikan tempat tidur-Nya, membawa mangkuk dan jubah-Nya dan pergi sendirian tanpa disertai oleh seorang pun bhikkhu dan tanpa mengajak Sangha untuk pergi bersama, maka itu adalah keinginan Beliau untuk pergi sendirian. Seorang siswa harus bertindak sesuai kehendak gurunya. Oleh karena itu, kalian sebaiknya tidak menyusul Beliau saat ini.” Demikianlah Yang Mulia ânanda tidak membiarkan mereka pergi, ia sendiri juga tidak pergi menyusul sang guru, karena mengetahui keinginan Buddha.
Ketika Thera Bhagu melihat Buddha datang sendirian dari kejauhan menuju desa Bàlakalonaka, ia mempersiapkan tempat duduk, menyiapkan air, papan, dan pecahan tembikar untuk mencuci kaki Buddha. Ia menyambut Buddha dan mengambilkan mangkuk dan jubah Buddha. Duduk di tempat duduk yang telah dipersiapkan oleh Thera, Buddha mencuci kaki-Nya dan bertanya, “Apakah engkau baik-baik saja, bhikkhu? Apakah engkau memperoleh cukup makanan? Apakah engkau kesulitan dalam memperoleh dàna makanan?” Thera menjawab, “Yang Mulia, saya baik-baik saja. Saya memperoleh cukup makanan. Saya memperoleh dàna makanan tanpa kesulitan.” Buddha kemudian membabarkan khotbah mengenai manfaat hidup dalam kesunyian, kemudian Buddha melanjutkan perjalanan menuju hutan bambu sebelah timur.

Buddha Tiba di Hutan Bambu Sebelah Timur

Pada waktu itu, tiga orang Thera—Anuruddhà, Nandiya, dan Kimbila sedang berdiam di hutan bambu sebelah timur. Ketika si penjaga hutan itu melihat dari kejauhan Buddha mendekat, ia menyangka bahwa Beliau adalah seorang bhikkhu biasa dan ia menghalangi jalan-Nya:
“Bhikkhu, jangan memasuki hutan ini. Tiga pangeran mulia sedang berdiam di hutan ini. Jangan mengganggu mereka,”
(Catatan: bagaikan seorang yang kelaparan yang menginginkan makanan, seorang yang kehausan menginginkan air minum, seorang yang kedinginan menginginkan kehangatan, demikian pula Buddha, karena merasa letih akibat perpecahan dan pertengkaran bhikkhu-bhikkhu di Kosambi, merenungkan siapakah orang-orang mulia yang berada di dekat sana; dan muncul dalam penglihatannya tiga pangeran mulia ini. Bermaksud untuk memberikan semangat kepada tiga orang mulia ini, Beliau mempertimbangkan, “Jika Aku melakukan ini, tindakan ini akan menjadi peringatan bagi para bhikkhu di Kosambi.” Demikianlah Beliau mengunjungi hutan bambu sebelah timur, tempat tinggal tiga orang baik itu.
(Hutan tempat Thera Anuruddhà dan Thera lainnya berdiam dibatasi oleh pagar, dan dijaga serta dilindungi oleh pemiliknya, sehingga buah-buah, bunga, getah, dan bangunan-bangunan kayu di dalamnya aman dari perusakan oleh orang-orang lain.)
(Ketika si penjaga melihat dari kejauhan Buddha mendekat, ia berpikir, “Di dalam hutan ini berdiam tiga orang mulia yang hidup rukun. Pertengkaran dan perselisihan cenderung muncul jika ada orang lain yang datang. Orang itu akan berkeliaran, menyerang, dan merusak bagaikan seekor sapi liar bertanduk runcing; dan perusakan demikian akan mengakibatkan perselisihan yang mengakibatkan dua orang tidak mungkin berjalan di jalan yang sama. Bhikkhu pengunjung ini mungkin akan menciptakan perselisihan pada suatu saat dan menghancurkan kerukunan dan kebahagiaan tiga orang mulia ini. Ia sangat mengesankan, memiliki kulit berwarna keemasan seperti orang yang selalu memakan makanan yang baik. Sejak kedatangannya di sini, dengan memuji para pengikut awamnya, yang mempersembahkan makanan-makanan yang baik, dan dengan melakukan ini dan itu, ia akan merusak kehidupan suci yang sedang dijalani oleh tiga orang mulia ini.”)
(“Di samping itu, hanya tersedia fasilitas untuk tiga orang di sini; tiga gubuk, tiga jalan, tiga tempat meditasi, tiga tempat duduk, dan tiga papan. Bhikkhu besar ini, seorang pengunjung, memiliki tubuh yang besar; mungkin Ia telah cukup lama menjadi petapa. Ia mungkin akan menyingkirkan para penghuni yang telah lebih dulu menetap di sini pada suatu saat, dan membuat mereka menderita. Dengan pikiran demikian, ia menghalangi Buddha memasuki hutan itu dengan mengatakan, “Jangan mengganggu kenyamanan mereka!” karena ia tidak menghendaki ketidaknyamanan bagi tiga pribadi mulia itu.)(Akan muncul pertanyaan: Apakah si penjaga menghalangi Buddha dengan sengaja meskipun tahu bahwa Beliau adalah Buddha atau ia melakukannya karena tidak mengenal Buddha? Jawabannya adalah: ia melakukannya karena tidak mengenal Buddha. Penjelasannya: Ketika Buddha bepergian dengan kemuliaan seorang Buddha disertai oleh para bhikkhu, semua orang mengenalnya meskipun tanpa bertanya, “Siapakah orang ini?” Tetapi sekarang Beliau berjalan menuju hutan bambu sebelah timur dan berkehendak, “Agar tidak ada orang yang mengenal-Ku sebagai seorang Buddha,” Ia menyembunyikan cahaya tubuh-Nya dan Keagungan-Nya sebagai seorang Buddha dengan kekuatan batin-Nya seolah-olah Beliau menyembunyikannya di balik jubah-Nya; dan Beliau berjalan tanpa dikenal siapa pun bagaikan bulan purnama yang tertutup oleh awan, membawa sendiri mangkuk dan jubah-Nya. Si penjaga menghentikan Buddha karena tidak mengetahui ciri seorang yang telah mencapai Pencerahan Sempurna.)
Sewaktu duduk di tempat meditasinya, Thera Anuruddhà mendengar kata-kata si penjaga, “Bhikkhu, jangan memasuki hutan ini!” dan ia berpikir, “Hanya kami bertiga yang ada di hutan ini; tidak ada orang lain. Si penjaga seolah-olah berbicara dengan bhikkhu lain, siapakah orang itu?” kemudian ia bangkit, berdiri di pintu, dan melihat Buddha.
Buddha, setelah melihat sekilas kepada Thera Anuruddhà, segera memancarkan cahaya tubuh-Nya. Agung dengan berbagai tanda-tanda istimewa besar dan kecil, tubuh-Nya yang memancarkan sinar yang cemerlang bagaikan sehelai kain keemasan yang dihamparkan. Kemudian Thera berpikir, “Bagaikan seorang yang mengulurkan tangannya untuk menangkap leher seekor kobra yang sedang mengembangkan kepalanya, orang bodoh ini tidak mengenal Buddha meskipun ia sedang berhadapan dengan pribadi yang paling mulia di dunia ini. Ia berbicara seolah-olah berhadapan dengan seorang bhikkhu biasa.” Maka ia memerintahkan si penjaga, dengan berkata, “Penjaga, jangan menghalangi Buddha! Beliau adalah guru kami, Buddha!”

Tiga Thera Menyambut Buddha

Thera Anuruddhà tidak sendirian menyambut Buddha, karena ia mempertimbangkan, “Kami hidup rukun saat ini. Jika aku sendirian menyambut Buddha, kerukunan kami akan terganggu. Aku akan mengajak teman-temanku untuk bersama-sama menyambut Buddha. Teman-temanku juga menghormat Buddha sama sepertiku.” Karena ingin menjumpai Buddha bersama-sama dengan dua temannya, ia pergi ke tempat mereka sedang bermeditasi dan memanggil mereka. “Marilah saudaraku! Marilah saudaraku! guru kita, Yang Termulia, telah datang!” Kemudian ketiga Thera itu serentak menyambut Buddha, seorang mengambilkan mangkuk dan jubah Buddha, seorang lagi mempersiapkan tempat duduk dan yang ketiga mempersiapkan air, papan, dan pecahan tembikar agar Buddha dapat mencuci kaki-Nya.
Duduk di tempat yang telah dipersiapkan, Buddha mencuci kaki-Nya.
(Dengan tangan-Nya yang kemerahan bagaikan bunga teratai padumà yang mekar, Buddha mengambil air jernih itu dan menuangkan ke telapak kaki-Nya yang berwarna keemasan dan mencuci kedua kaki-Nya dengan saling menggosokkan kedua telapak kaki-Nya.
Akan muncul pertanyaan: Mengapa Buddha perlu mencuci kaki padahal tubuh-Nya bebas dari debu dan kotoran? Jawabannya adalah: Beliau mencuci kaki-Nya untuk menyejukkan tubuh-Nya juga untuk menyenangkan ketiga Thera tersebut. Dengan mencuci kaki-Nya, Buddha membuat tiga Thera tersebut gembira dengan berpikir, “Dengan air yang kami siapkan, Buddha, guru kami telah menggunakan untuk membersihkan kaki-Nya.” Demikianlah Buddha mencuci kaki-Nya meskipun kenyataannya tubuh-Nya bebas dari noda apa pun.)
Setelah bersujud dengan penuh hormat kepada Buddha, ketiga Thera itu duduk di tempat yang semestinya. Kemudian Buddha bertanya, “Bagaimana kabar kalian, anak-anak-Ku, Anuruddhà dan yang lainnya? Apakah kalian sehat? Apakah kalian cukup nyaman dengan sikap duduk kalian? Apakah kalian tidak kesulitan dalam hal makanan?”
Kemudian Thera Anuruddhà menjawab, “Yang Mulia, kami baik dan sehat. Kami cukup nyaman dengan sikap duduk kami. Kami tidak kesulitan dalam memperoleh makanan.”
(Di sini, di antara ketiga Thera itu, Anuruddhà adalah yang paling senior. Jika penghargaan diberikan kepada Anuruddhà, Thera yang paling senior, berarti juga diberikan kepada para junior juga. Itulah sebabnya Buddha menyebut nama Anuruddhà pada kalimat “Anak-anak-Ku, Anuruddhà dan yang lainnya;” dalam kata-kata itu Buddha menggunakan gaya bahasa virupekasesa yang juga mencakup dua Thera lainnya.)
Kembali Buddha bertanya, “Hidup bersama, apakah kalian rukun dan berbahagia, Anuruddhà dan yang lainnya, tidak ada perselisihan dan bagaikan air dan susu apakah kalian bergaul dengan baik, saling melihat dengan ramah?” Anuruddhà menjawab, “kami sangat rukun dan berbahagia, dan kami bergaul baik bagaikan air dengan susu, melihat satu sama lain dengan ramah.” Buddha bertanya lebih lanjut, “Bagaimana kalian melakukan hal ini, Anuruddhà?” Anuruddhà menjelaskan:
“Yang Mulia, hidup di dalam hutan ini, aku menganggap diriku sebagai berikut: sungguh besar apa yang telah kuperoleh! Aku telah memperoleh keberuntungan, karena dapat berbagi tempat ini dengan dua penghuni lain yang sama sepertiku! Yang Mulia, kepada dua temanku ini aku melakukan perbuatan fisik dengan Mettà (cinta kasih), berbicara dengan Mettà, dan berpikiran dengan Mettà baik dengan kehadiran mereka maupun tanpa kehadiran mereka. Berpikir bahwa ‘aku harus melatih mengesampingkan keinginanku dan mengutamakan keinginan mereka,’ demikianlah aku melatih memberikan prioritas lebih tinggi atas kepentingan mereka daripada kepentinganku. Yang Mulia, meskipun kami memiliki tiga badan jasmani yang berbeda, namun kami memiliki satu batin yang sama.”Selanjutnya, Thera Nandiya dan Thera Kimbila juga mengatakan hal yang sama seperti yang diucapkan oleh Thera Anuruddhà.
(Sehubungan dengan kata-kata mengenai perbuatan yang dilakukan secara jasmani, ucapan, dan pikiran yang dilakukan dengan Mettà baik dengan kehadiran mereka maupun tanpa kehadiran mereka; perbuatan yang dilakukan secara jasmani dan ucapan dilakukan pada saat hidup bersama; dua perbuatan ini tidak dilakukan pada saat tidak hidup bersama. Perbuatan melalui pikiran, dapat terjadi baik pada saat hidup bersama ataupun hidup terpisah.
(Penjelasannya: ketika seorang bhikkhu melihat sebuah tempat tidur, sekeping papan, atau sepotong kayu atau barang-barang lainnya yang diletakkan di tempat yang tidak semestinya oleh bhikkhu lain, ia tidak bertanya dengan kasar, “Siapakah yang telah menggunakan benda ini?;” namun ia seharusnya memungut benda itu dan mengembalikan (ke tempat yang semestinya) seolah-olah ia sendiri yang salah meletakkannya; (lebih jauh lagi), ia seharusnya membersihkan tempat-tempat yang perlu dibersihkan. Demikianlah perbuatan melalui badan jasmani oleh seseorang yang dilakukan dengan Mettà dengan kehadiran orang lain.)
(Jika seorang bhikkhu pergi, dan bhikkhu lain mengembalikan barang-barang yang ditinggalkan di tempat yang tidak semestinya oleh bhikkhu yang pergi tersebut; ia membersihkan tempat-tempat yang perlu dibersihkan. Perbuatan badan jasmani ini dilakukan dengan Mettà tanpa kehadiran orang lain.)
(Hidup dan menetap bersama para Thera lain, seseorang harus berbicara kepada mereka dengan sopan dan mengucapkan kata-kata yang menyenangkan, kata-kata yang menarik, kata-kata yang patut diingat seumur hidup, kata-kata Dhamma; seseorang seharusnya membicarakan Dhamma, mendiskusikan Dhamma, dan bertanya-jawab mengenai Dhamma; segala variasi perbuatan melalui ucapan ini, dilakukan dengan Mettà dengan kehadiran orang lain.)
(Jika seorang bhikkhu pergi ke tempat lain, bhikkhu-bhikkhu yang tinggal (misalnya Thera Anuruddhà) memuji kebajikannya dengan berkata, “Temanku Thera Nandiya (atau Thera Kimbila) memiliki kebajikan moral dan kebajikan dalam latihan.” Perbuatannya melalui ucapan seperti ini dilakukan dengan Mettà tanpa kehadiran orang lain.)
(“Semoga temanku Thera Nandiya (atau Thera Kimbila) bebas dari penderitaan! Semoga ia bebas dari kebencian yang jahat dan merusak! Semoga ia bahagia lahir dan batin!” perbuatannya melalui pikiran yang diarahkan kepada kesejahteraan orang lain dilakukan dengan Mettà dengan atau tanpa kehadiran orang yang bersangkutan.)
(Bagaimana masing-masing dari ketiga Thera ini mengesampingkan kepentingan pribadi dan bertindak demi kepentingan yang lain? Misalkan mangkuk orang pertama terlihat usang, jubah orang kedua terlihat kotor dan tempat meditasi orang ketiga terlihat kotor dan perlu dibersihkan, jika ketiga hal ini terjadi bersamaan, jika pemilik mangkuk usang itu berkata pertama kali, “Mangkukku telah usang; aku harus membuat mangkuk baru,” maka dua orang lainnya tidak akan mengatakan, “Jubahku kotor dan aku harus mencucinya” atau “Aku harus membersihkan tempat meditasiku;” sebaliknya, mereka akan bersama-sama memasuki hutan dan dua orang lainnya itu akan membantu dalam pembuatan mangkuk itu; hanya setelah menyelesaikan pekerjaan itu, mereka akan mencuci jubah atau membersihkan tempat meditasinya. Jika bhikkhu kedua yang pertama kali mengatakan “Aku harus mencuci jubahku” atau bhikkhu ketiga berkata pertama kali “Aku harus membersihkan tempat meditasiku,” maka bhikkhu-bhikkhu lainnya akan membantu dan hanya setelah tugas itu selesai baru mereka kembali ke urusan pribadi mereka masing-masing. Demikianlah seseorang mendahulukan kepentingan orang lain dan mengesampingkan kepentingan pribadi.)
Setelah bertanya tentang nilai-nilai persatuan (sàmaggi-rasa) dari ketiga orang itu dan setelah mengetahui sepenuhnya kualitas persatuan mereka, Buddha masih ingin menguji tanda-tanda perhatian mereka (appamàda-lakkhana) dan bertanya, “Anuruddhà dan yang lainnya, bagaimanakah, apakah kalian berdiam dalam usaha mencapai Nibbàna dengan berusaha keras tanpa lengah?” Thera Anuruddhà menjawab, “Yang Mulia, kami memang berdiam dalam usaha untuk mencapai Nibbàna dengan berusaha keras tanpa lengah.” Buddha bertanya lagi, “Bagaimanakah kalian berdiam dalam usaha mencapai Nibbàna dengan berusaha keras tanpa lengah?” Thera Anuruddhà menjawab:
“Yang Mulia, salah satu dari kami yang menetap di hutan ini, setelah kembali dari mengumpulkan dàna makanan di desa sebelum yang lainnya, mempersiapkan tempat duduk, menyediakan air dan papan serta pecahan tembikar untuk mencuci kaki; ia akan menyiapkan mangkuk-mangkuk makanan dan memakan bagian pertama makanan itu; kemudian ia mengambil air minum untuk dirinya dan orang lain.”
“Bhikkhu yang pulang belakangan dari mengumpulkan dàna makanan di desa, akan memakan makanan yang tersisa, jika ia mau. Jika ia tidak mau, ia akan membuangnya di tempat yang tidak ada tanaman atau rumput-rumput hijau; atau ia akan membuangnya ke air yang tidak ada makhluk-makhluk kecil di dalamnya; ia akan melipat alas duduk; mengembalikan air, papan, dan pecahan tembikar ke tempat yang semestinya; ia juga melakukan hal yang sama terhadap mangkuk-mangkuk makanan setelah mencucinya; ia menyimpan kendi air minum; kemudian ia akan membersihkan tempat di mana mereka makan itu.”
“Jika ia mengetahui bahwa kendi-kendi air telah kosong, apakah karena diminum, atau air untuk mandi atau untuk keperluan lainnya, ia akan mengisinya. Jika kendi air itu ternyata cukup berat, ia akan memanggil bhikkhu lainnya dengan isyarat tangannya, kemudian kedua orang itu akan membawanya bersama-sama. Yang Mulia, kami tidak mengucapkan sepatah kata pun dalam membawa kendi air itu. Yang Mulia, sekali setiap lima hari kami melewatkan waktu dengan mendiskusikan Dhamma semalam suntuk.”
“Yang Mulia, demikianlah kami berdiam dalam usaha mencapai Nibbàna dengan usaha keras tanpa lengah.”(Hal yang menakjubkan adalah para Thera ini tidak pergi bersama-sama dalam mengumpulkan dàna makanan; karena mereka menyukai Phala Samàpatti, setelah bangun tidur, mereka membersihkan diri, melakukan tugas-tugas mereka, kemudian pergi ke tempat meditasi masing-masing dan berdiam di dalam Phala Samàpatti selama waktu yang mereka kehendaki.)
(Dari ketiga Thera ini, yang lebih dulu berdiam di dalam Phala Samàpatti sebelum yang lainnya, pergi terlebih dahulu untuk mengumpulkan dàna makanan. Dan sekembalinya, ia mengetahui bahwa “Mereka berdua terlambat; aku pulang lebih dulu.” Kemudian ia menutup mangkuknya, mempersiapkan alas duduk, dan hal-hal lainnya; jika makanan di mangkuknya hanya cukup untuknya sendiri, ia akan duduk dan memakannya. Jika makanan itu lebih dari cukup, ia akan memindahkan bagian pertama ke dalam mangkuk makan lain, menutupnya, kemudian memakan bagiannya. Setelah makan, ia mencuci mangkuknya, mengeringkannya, menyimpannya di dalam tasnya, kemudian dengan membawa mangkuk dan jubahnya, ia pergi memasuki tempat meditasinya.
Ketika bhikkhu kedua datang ke tempat makan, ia mengetahui, “Seseorang telah tiba lebih dulu daripadaku; seorang lain masih di belakangku.” Jika ia melihat makanan yang ada di mangkuknya cukup baginya, ia akan duduk dan memakannya. Jika makanan di mangkuk tidak mencukupi, ia akan mengambil sedikit lagi dari mangkuk lain (yang disisakan oleh bhikkhu pertama). Jika makanan yang ada di mangkuknya lebih dari cukup, ia akan memindahkan bagian pertama ke dalam mangkuk lain dan memakan bagiannya yang hanya cukup untuk mempertahankan hidupnya, seperti halnya bhikkhu pertama, setelah itu ia akan memasuki tempat latihannya.
Ketika bhikkhu ketiga datang ke tempat makan, ia memahami, “Dua bhikkhu lain telah datang dan pergi lagi sebelum aku, aku adalah yang terakhir.” Dan ia memakan makanannya seperti halnya bhikkhu kedua; setelah selesai makan, ia mencuci mangkuknya, mengeringkannya dan menyimpannya di dalam tasnya, kemudian menyimpan alas duduk. Ia membuang sisa air dari kendi air minum serta kendi air untuk keperluan umum dan meletakkan kendi itu dalam posisi terbalik; jika masih ada sisa makanan di dalam mangkuk makanan, ia membuangnya di tanah yang tidak ada tanaman atau rumput hijau atau di dalam air yang tidak ada makhluk hidup kemudian mencuci mangkuk itu dan menyimpannya. Setelah menyapu dan membersihkan tempat makan dan menyimpan sapu di tempat yang bebas dari rayap. Kemudian ia membawa mangkuknya dan memasuki tempat latihannya. Demikianlah rutinitas para Thera itu di dalam ruang makan di luar tempat tinggal mereka di dalam hutan.)
Mengambil air minum dan air untuk keperluan umum adalah tugas yang dilakukan di tempat tinggal mereka. Jika seseorang melihat kendi air telah kosong, ia akan membawa kendi itu ke kolam, mencucinya luar dan dalam, mengisinya dengan air yang telah disaring terlebih dahulu, jika (kendi itu terlalu berat baginya) ia akan meletakkannya di tepi kolam dan memanggil orang lain dengan isyarat. Dalam meminta bantuan, ia tidak mengeluarkan suara untuk memanggil dan tidak menyebutkan nama orang itu.
Karena jika mereka berteriak meminta bantuan dengan menyebutkan nama orang lain, hal itu merupakan gangguan bagi bhikkhu yang sedang bermeditasi. Itulah sebabnya ia tidak pernah memanggil nama. Jika ia meneriakkan suara tanpa menyebutkan nama, kedua bhikkhu lain akan keluar dari tempat meditasinya, dan terburu-buru mendatangi si pemanggil. Dalam situasi tersebut, karena pekerjaan itu cukup dilakukan oleh dua orang, orang ketiga akan merasa dirinya tidak diperlukan dan meditasinya seharusnya tidak perlu terganggu. Karena alasan ini si pemanggil tidak akan mengeluarkan suara dan tidak memanggil nama.
Jika tidak bersuara, bagaimana ia dapat memperoleh bantuan? Setelah mengisi air ke dalam kendi melalui saringan, ia akan mendatangi tempat latihan bhikkhu lain, tanpa bersuara; ia memanggilnya dengan isyarat lambaian tangan, yang akan menarik perhatiannya. Kemudian dua orang itu akan bersama-sama mengangkat kendi itu dan menyimpan air itu untuk diminum atau untuk keperluan umum.
Sehubungan dengan kalimat, “Sekali setiap lima hari kami melewatkan waktu dengan mendiskusikan Dhamma semalam suntuk.” Tanggal empat belas, tanggal lima belas dan tanggal delapan adalah tiga hari di mana Dhamma biasanya didengarkan. Tanpa mengacaukan tiga hari Dhamma ini, sekali setiap lima hari, kedua Thera, Nandiya dan Kimbila, mandi setelah lewat tengah hari, dan pergi ke tempat Thera Anuruddhà. Di tempatnya, mereka berkumpul dan bertanya-jawab seputar Tiga Pitaka. Mereka berdiskusi dan tanpa terasa, fajar telah menyingsing.
Demikianlah Thera Anuruddhà, yang ditanya oleh Buddha mengenai tanda-tanda perhatian mereka, yang menjawab bahwa mereka tidak pernah lengah bahkan di saat-saat yang biasanya menyebabkan kelalaian (bagi orang lain). Penjelasannya: Bagi bhikkhu-bhikkhu lain, saat mereka mengumpulkan dàna makanan, berjalan meninggalkan tempat tinggal mereka untuk mengumpulkan dàna makanan, membetulkan jubah, mengenakan jubah, berbalik, memberikan khotbah, mengungkapkan penghargaan (atas dàna yang diterima), memakan makanan sekembalinya dari desa atau kota, mencuci mangkuk, meletakkan mangkuk ke dalam tas, dan menyimpan jubah dan mangkuk, ini adalah (sebelas) situasi di mana mereka akan berlama-lama berbicara mengenai hal-hal yang tidak berhubungan dengan perhatian dan oleh karena itu, mereka menjadi lengah akan tugas-tugas meditasi mereka. Oleh karena iu Thera Anuruddhà mengatakan, “Bahkan dalam situasi-situasi ini yang dapat menyebabkan orang-orang lain terlibat dalam pembicaraan yang tidak berguna dan tidak berhubungan dengan meditasi, kami tidak pernah berlama-lama dalam pembicaraan yang tidak berhubungan dengan meditasi dan di luar meditasi.” Demikianlah ia menjelaskan tanda-tanda perhatian mereka yang sangat kuat bahkan saat orang-orang lain mungkin lengah.
(Dengan kata-kata ini, lebih jauh ia bermaksud menjelaskan bahwa sama sekali tidak ada kelalaian pada diri mereka dengan tidak berdiam dalam meditasi praktis dalam situasi-situasi lain di luar sebelas situasi di atas.) Akhir dari persinggahan Buddha di hutan bambu sebelah timur.

Buddha Berkunjung ke Pàlileyyaka

No comments:

Post a Comment