Thursday 15 June 2017

Meditasi - Zen Story .

Meditasi  -  Zen Story .

Seorang guru Zen melihat muridnya sedang bermeditasi, Guru tersebut bertanya kepada muridnya

Guru : Mengapa kamu duduk bermeditasi ?
Murid : Untuk menjadi Buddha .
Kemudian sang guru mengambil genteng dan menggosok gosoknya, dan murid bertanya

Murid : Untuk apa guru menggosok gosok genteng itu
Guru : Saya ingin menggosoknya menjadi cermin


Murid : Mana mungkin genteng bisa menjadi cermin
Guru : Kalau genteng tidak bisa menjadi cermin, bagaimana kamu bisa berharap meditasi, membuatmu menjadi Buddha ?

Murid : Apa yang harus saya lakukan untuk mencapai keBuddhaan
Guru : Ambil contoh kereta lembu. Jika kereta tidak berjalan, kau cambuk keretanya atau lembunya?

Guru : Dalam mempelajari duduk meditasi apakah kamu ingin mempelajari zen yang duduk, atau kamu ingin meniru Buddha yang duduk ?

Untuk yang pertama Zen tidak ada dalam duduk atau berdiri, dan untuk yang kedua Buddha tidak memiliki posisi tubuh yang tetap.

Guru : Dharma berjalan terus dan tidak pernah menetap pada apapun. karena itu kamu jangan melekat pada atau mengabaikan bentuknya.

Duduk dengan tujuan menjadi Buddha adalah membunuh Buddha.

Melekat pada postur duduk adalah kegagalan memahami prinsip utamanya.

Catatan
Banyak yang melakukan meditasi, tetapi tidak tahu untuk apa meditasi itu dilakukan.

Mengharapkan meditasi untuk menjadi Buddha adalah tidak mungkin.

Tujuan dari meditasi adalah untuk meningkatkan Prajna (kebijaksanaan),
sehingga bisa menjadi Buddha.

Jari Dapat Menunjuk Bulan, Tetapi Jari Bukanlah Bulan
===========================
Suatu hari Bhiksuni Wu Jin Cang menemui Master Hui Neng, sesepuh ke 6 dari aliran Chan di China,

untuk bertanya tentang Mahaparinirvana Sutra yang belum juga dapat dimengerti walaupun telah dipelajarinya selama bertahun-tahun.

Katanya, “Guru, saya tidak mengerti dengan sutra di halaman sekian.”

Lalu Master Hui Neng berkata, “Bacakanlah untukku.”

Bhiksuni bertanya, “Bukankah guru seharusnya sudah hafal isi kitab ini di luar kepala? Jangan-jangan guru…”

Master Hui Neng menjawab, ” Benar sekali muridku, aku buta huruf sejak kecil.

Jadi tidak mungkin bagiku untuk membaca isi sebuah kitab.”
Bhiksuni Wu Jin Cang sangat terkejut saat mengetahui bahwa Master Hui Neng buta huruf.

Ia merasa heran bagaimana Beliau dapat memahami kebenaran padahal tidak mampu membaca.

Lalu ia bertanya dengan gusar, “Jadi selama ini aku diajar oleh orang yang tidak bisa membaca dan menulis?

Percuma aku belajar Chan (Zen) darimu, tidak ada gunanya!”
Master Hui Neng menjawabnya dengan tenang,

“Muridku, tenanglah. Kau tahu apa ini?”, katanya sambil mengangkat telunjuknya.
Si murid menjawab, “Itu adalah jari telunjukmu.”

Master Hui Neng menunjuk bulan sambil bertanya, “Kalau itu apa?”
Jawab si murid, “Itu adalah bulan.”

Master Hui Neng berkata lagi, “Kalau tidak kutunjuk dengan telunjukku, apakah kau bisa melihat bulan?”

Si murid merasa bingung.
Lanjut Hui Neng, “Telunjuk adalah diibaratkan sebuah kitab dan semua ajaran di dunia.

Rembulan adalah kebenaran mulia. Muridku, aku sudah bisa melihat rembulan tanpa bantuan telunjuk,

bagaimana denganmu?”
Si murid menjadi tersadar dan memohon maaf.

Catatan :
Kebanyakan orang lebih meributkan keotentikan kata-kata,

tetapi jarang sekali memahami makna dibalik kata-kata. Perdebatan kitab suci yang mana paling benar ibarat meributkan jari belaka.

Mau sampai kapan melihat bulan kalau yang dilihat dan di pahami cuma seputar jari.
==========(((🙏🏻)))==========

PATUT UNTUK DI RENUNGI
DAN MENUNTUT UNTUK DI PAHAMI.

TIDAK SEKEDAR INDRA MATA MEMBACA,NAMUN HARUS DI SERTAI DG HATI,AGAR TIDAK GAGAL MENGERTI.

BAGAIKAN GELAS YG KOSONG
SANGAT MUDAH MENYERAP DHAMMA(((🙏🏻)))😊

1 comment: