Thursday, 30 July 2020

π— π—˜π— π—”π—”π—™π—žπ—”π—‘

π— π—˜π— π—”π—”π—™π—žπ—”π—‘
(Y.M. Sri PaññÒvaro Mahāthera)

Seorang umat Buddha yang berada di seberang lautan jauh dari Indonesia pagi ini bertanya kepada saya, "Bhante, apakah ada ajaran memaafkan dalam Buddha Dhamma?"

Jawaban saya adalah: "Sangat pasti, Upāsikā!" Apabila seseorang mengerti Dhamma dengan benar, ia pasti memaafkan kepada siapa pun yang dirasakan berperilaku tidak baik. Pikiran memaafkan itu akan muncul dengan sendirinya karena pengertian Dhammanya yang baik --bukan karena diperintahkan oleh ajaran agama dengan ancaman kalau tidak memaafkan berarti berdosa berat sedangkan kalau bisa memaafkan pahalanya besar.


Seseorang yang menggunakan Dhamma pasti memaafkan kepada siapa pun dengan dilandasi pengertian benar bahwa

- Semua perilaku yang dilakukan orang lain terhadap dirinya tidak lain adalah akibat karma buruknya sendiri yang telah dilakukan pada saat lampau, sekarang ini sedang berbuah.
- Memaafkan belum tentu bisa mengubah perilaku buruk seseorang, tetapi memaafkan itu sudah membersihkan pikirannya sendiri dari penjara kebencian.

Tetapi harus waspada, harus benar-benar disadari, janganlah membiarkan timbulnya pikiran "aku merasa lega karena sudah bisa memaafkan", dengan memaafkan "aku sudah berbuat baik yang tidak mudah dilakukan". Apabila pikiran itu timbul, segera dan segeralah disadari, sebab pemikiran seperti itu adalah 'ke-aku-an' yang menjadi sumber segala kotoran batin (kilesa) penyebab penderitaan. Kesadaran terhadap pikiran sendiri adalah khas ajaran Guru Agung Buddha Gotama yang kemudian berkembang dengan banyak variasi. Apabila hanya sekadar memaafkan saja, itu hanyalah bagian praktik Dhamma yang amat awal.

Ada satu artikel pendek yang bisa melengkapi ajaran memaafkan ini, silakan menyimaknya:

π—π—”π—‘π—šπ—”π—‘ π— π—˜π— π—˜π—Ÿπ—œπ—›π—”π—₯𝗔 π—žπ—˜π—•π—˜π—‘π—–π—œπ—”π—‘

Seorang pengurus vihara sering mengadu pada saya bahwa ia sering difitnah, dibenci, dijelek-jelekkan di mana-mana; tetapi ia tetap diam saja. “Saya tidak membalas, Bhante”, katanya.

Saya menasihati dia, bahwa kalau dia masih berpikir, “Ia menghina saya, memfitnah, membenci, mejelek-jelekkan, memojokkan saya, tetapi saya sama sekali tidak membalas, saya hanya diam saja”, pikiran itu tidak baik, kebencian tidak akan pernah berakhir dalam pikirannya, bahkan bertambah terus (lihat Dhammapada syair 3 dan 4). Ia memelihara kebencian dalam pikirannya!

Namun demikian, tetap diam tidak membalas itu memang baik. Hanya saja harus berhati-hati jangan sampai karena tidak membalas itu merasa dirinya lebih baik, nanti “aku” --sumber segala kotoran batin-- bisa bertambah besar.

Selanjutnya sang pengurus ini mengatakan, “Saya akan bersikap hati-hati, bicara seperlunya saja, tidak panjang-lebar, tidak meluber ke mana-mana, supaya saya tidak dicela”. Bersikap hati-hati dan berbicara/menulis “hemat” memang terpuji. Tetapi, jangan berharap untuk tidak dicela. Nanti malah bisa kecewa berat.

Guru Agung Buddha Gotama mengingatkan bahwa mereka yang berbicara banyak atau sedikit, ataupun yang diam saja; tetap akan dicela. Di dunia ini tidak ada orang yang tidak dicela (lihat Dhammapada syair 227 dan 228).

Dari mana sebab datangnya celaan itu? Karma buruk yang lalu yang dilakukannya, sekarang sedang masak. Kalau sekarang celaan itu datang, disadari saja! Jangan dikomentari meskipun komentar itu hanya di dalam pikiran. Dengan demikian tidak menambah kotoran batin. Maka, karma buruk yang lalu jadi berkurang dan sekarang tidak membuat  karma buruk baru sekalipun hanya karma buruk pikiran.

Apalagi kalau bisa mengharapkan semua yang mencela atau memfitnah atau berbuat buruk lainnya terhadap dirinya itu berbahagia dan bebas dari penderitaan, bebas juga dari sebab-sebab penderitaan; maka kebaikannya akan bertambah.

No comments:

Post a Comment