PANGERAN YANG MENCABUT TANAMAN
Pada jaman dahulu, ada seorang pangeran yang tabiatnya amat buruk, ia amat keras kepala, juga kejam kepada siapapun. Setiap orang amat takut kepadanya.
Rakyat, pegawai-pegawai istana, para menteri bahkan raja di kerajaan itu sekalipun takut kepadanya.
Raja amat gelisah memikirkan hal itu.
Raja lalu mengundang seorang pertapa yang terkenal dengan kebijaksanaannya. Ia lalu menjelaskan tingkah laku Pangeran kecil yang buruk itu dan memohon bantuan untuk menyadarkannya. Pertapa itu lalu berkata kepada raja : “Yang Mulia, janganlah khawatir, saya akan memperbaiki sifatnya yang buruk itu.”
Pertapa bijaksana itu kemudian mengajak Pangeran kecil masuk ke sebuah taman. Sambil berjalan-jalan di sekitar taman, pertapa itu kemudian menunjuk ke sebuah pohon yang masih kecil. Pohon itu bernama pohon Neem.
Pertapa itu lalu meminta Pangeran untuk memetik selembar daun pohon tersebut dan mencicipi rasanya. Pangeran lalu mencicipi daun pohon Neem itu ke dalam mulutnya, ia merasakan daun pohon itu amat pahit, ia segera meludahkannya.
“Kalau daunnya saja sudah begitu pahit ketika pohon ini masih kecil, bagaimana pahit daunnya apabila pohon ini sudah benar-benar besar.” kata Pangeran kecil itu.
“Saya tidak akan membiarkan pohon ini tumbuh menjadi besar.” katanya kepada pertapa bijaksana itu.
Dengan amat marah Pangeran lalu mencabut pohon itu lalu mematah-matahkannya, ia tetap meludah karena pahitnya daun pohon itu masih terasa di lidahnya.
Pertapa bijaksana melihat tingkah lakunya itu tersenyum dan bertanya :
“Apakah daun pohon itu amat pahit, anakku?”
“Ya, pahit sekali,” jawab Pangeran.
“Mengapa kamu mencabut dan mematah-matahkan batang pohon yang kecil itu?” tanya pertapa itu lagi.
“Kalau daun saja sudah begitu pahit ketika pohon ini masih kecil, bagaimana pahitnya apabila pohon ini sudah tumbuh menjadi besar? Saya mencabutnya supaya ia tidak tumbuh menjadi pohon yang besar,” jawab Pangeran.
Pertapa bijaksana itu lalu menganggukkan kepalanya dan berkata :
“Sekarang Pangeran, kamu juga seperti pohon kecil itu. Sebagai seorang Pangeran yang masih kecil, kamu sudah begitu kejam. Apabila nanti kamu menjadi raja menggantikan ayahmu, dapatkah kamu bayangkan bagaimana kejamnya kamu ini? Orang-orang akan menghancurkanmu kalau kamu sudah kejam sejak kamu masih menjadi Pangeran kecil. Mereka akan mengatakan seperti yang kamu katakan tentang pohon kecil itu. Kalau ia sudah begitu kejam ketika ia masih kecil, bagaimana kejamnya ia apabila ia sudah menjadi seorang raja. Mengertikah anakku?”
Pangeran itu segera menyadari apa yang dimaksud oleh pertapa itu. Ia lalu mengucapkan terima kasih kepada pertapa mulia itu atas nasehatnya. Ia berjanji untuk mengubah tingkah lakunya, untuk menjadi orang yang baik dan bijaksana.
Setelah Pangeran dewasa, menggantikan ayahnya yang sudah tua, menjadi raja, ia menjadi raja yang adil dan bijaksana yang dicintai oleh seluruh rakyatnya.
Pesan moral dari cerita ini adalah kalau anak-anak mau mendengar nasehat-nasehat yang baik dari orangtuanya dan orang yang lebih tua, dan mau memperbaiki tingkah lakunya yang keliru, maka mereka akan mencapai hidup yang sukses dan bahagia di masa yang akan datang.
••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••
Hendaklah ia menjaga ucapan dan mengendalikan pikiran dengan baik, serta tidak melakukan perbuatan jahat melalui jasmani. Hendaklah ia memurnikan tiga saluran perbuatan ini, memenangkan jalan yang telah dibabarkan oleh para suci.
(Dhammapada 281)
Sabbe tasanti daṇḍassa, sabbesaṁ jīvitaṁ piyaṁ
Attānaṁ upamaṁ katvā, na haneyya na ghātaye.
Semua makhluk gemetar karena cambuk, hidup sangatlah berharga
bagi semuanya.
Dengan membandingkan orang lain dengan diri kita,
kita seharusnya tidak menyiksa atau membunuh makhluk lain.
(Dhammapada, 130)
No comments:
Post a Comment