Alam Semesta dalam Buddhisme
========================
Sumber halaman Be Happy.
Para ilmuwan dewasa ini menyatakan bahwa alam semesta merupakan serangkaian pengembangan, penciutan, pengerutan dan penghancuran berupa ledakan besar (Big Bang) yang berlangsung secara terus menerus tanpa akhir). Sang Buddha telah mengajarkan hal yang sama 2500 tahun yang lalu, berikut adalah apa yg beliau ungkapkan di dalam Bhayaberava Sutta: "Ketika pikiranku yang terkonsentrasi dengan demikian termurnikan, tidak tercela, mengatasi semua kekotoran, dapat diarahkan, mudak diarahkan, serta tenang, Aku memusatkannya pada kelahiran-kelahiran yang lampau, satu, dua, ...ratusan, ribuan, banyak kalpa dari penyusutan dunia, banyak kalpa pengembangan dan penyusutan dunia".
1 kalpa yg lazim dipakai adalah 139.600.000 tahun.
Alam Semesta
Menurut pandangan Buddhis, alam semesta ini luas sekali. Dalam alam semesta terdapat banyak tata surya yang jumlahnya tidak dapat dihitung. Hal ini diterangkan oleh Sang Buddha sebagai jawaban atas pertanyaan bhikkhu Ananda dalam Anguttara Nikaya sebagai berikut :
Ananda apakah kau pernah mendengar tentang seribu Culanika loka dhatu (tata surya kecil) ? ... Ananda, sejauh matahari dan bulan berotasi pada garis orbitnya, dan sejauh pancaran sinar matahari dan bulan di angkasa, sejauh itulah luas seribu tata surya. Di dalam seribu tata surya terdapat seribu matahari, seribu bulan, seribu Sineru, seribu jambudipa, seribu Aparayojana, seribu Uttarakuru, seribu Pubbavidehana ... Inilah, Ananda, yang dinamakan seribu tata surya kecil (sahassi culanika lokadhatu). *
Ananda, seribu kali sahassi culanika lokadhatu dinamakan "Dvisahassi majjhimanika lokadhatu". Ananda, seribu kali Dvisahassi majjhimanika lokadhatu dinamakan "Tisahassi Mahasahassi Lokadhatu".
Ananda, bilamana Sang Tathagata mau, maka ia dapat memperdengarkan suara-Nya sampai terdengar di Tisahassi mahasahassi lokadhatu, ataupun melebihi itu lagi.
Sesuai dengan kutipan di atas dalam sebuah Dvisahassi Majjhimanika lokadhatu terdapat 1.000 x 1.000 = 1.000.000 tata surya. Sedangkan dalam Tisahassi Mahasahassi lokadhatu terdapat 1.000.000 x 1.000 = 1.000.000.000 tata surya. Alam semesta bukan hanya terbatas pada satu milyard tata surya saja, tetapi masih melampauinya lagi. Ajaran ini benar-benar sesuai dengan kosmologi modern.
Buddha juga telah mengajarkan aneka bentuk galaksi yang ada di alam semesta ini sebagaimana yang ada pada Avatamsaka Sutra bab 4:
" Putra-putra Buddha, sistem-sistem dunia tersebut memiliki aneka bentuk dan sifat-sifat yang berbeda. Jelasnya, beberapa diantaranya bulat bentuknya, beberapa diantaranya tidak bulat dan tidak pula segi empat. Ada perbendaan yang tak terhitung. Beberapa bentuknya seperti pusaran, beberapa seperti gunung kilatan cahaya, beberapa seperti pohon, beberapa seperti bunga, beberapa seperti istana, beberapa seperti makhluk hidup, beberapa seperti Buddha..."
Galaksi yang berbentuk seperti pusaran termasuk galaksi kita sendiri, bima sakti, dan galaksi terdekat yaitu Andromeda. Galaksi yang berbentuk seperti makhluk hidup termasuk di antaranya galaksi Nebula Kepala Kuda (horse head nebula). Hal yg paling mengagumkan adalah Sang Buddha telah mengetahui berbagai bentuk galaksi yang keberadaan galaksi-galaksi tersebut baru bisa diketahui para ilmuwan dewasa ini dgn teleskop yang paling canggih.
Sebuah bait dari Salistamba Sutra ayat 37 : "Lebih jauh lagi Sariputra, hal tersebut bagaikan rembulan pada langit yang indah, yang berjarak 42.000 yojana dari bumi".
Yojana merupakan jarak yang ditempuh oleh pasukan berkuda dalam waktu sehari(kurang lebih 10km). Dengan demikian 42.000 yojana = 420.000 km. Hal ini sangat dekat jaraknya dengan penghitungan sains yang mengatakan jarak bumi ke bulan adalah kurang lebih 400.000 km. Akurasi dalam penghitungan jarak bumi ke bulan bisa dianggap luar biasa untuk zaman 2500 tahun yang lalu.
Buddha menyatakan bahwa terjadi empat fase dalam kehidupan suatu sistem dunia yaitu fase kekosongan, fase pembentukan, kediaman, dan kehancuran. Masing2 fase tersebut memakan waktu yg sangat lama, dimana di dalam bahasa Buddhis disebut memakan waktu 20 kalpa menengah. Menurut Buddhisme, pembentukan planet bumi memerlukan 20 kalpa menengah, dimana satu kalpa memakan waktu 139.600.000 tahun.
Berdasarkan rujukan ini, maka masa pembentukan planet bumi (fase pembentukan) memerlukan waktu 2.780.000.000 tahun atau hampir 3 milyar tahun lamanya. Intinya, menurut Buddhisme, pembentukan planet bumi ini memerlukan waktu milyaran tahun, bukan enam hari atau enam ribu tahun. Para ahli astrofisika dan ahli geologi setuju bahwa umur bumi bukan ribuan tahun melainkan sudah milyaran tahun.
2,78 milyar tahun belum termasuk fase kediaman (adanya makhluk yg berdiam). Fase kediaman menurut Buddhisme, sudah memasuki pertengahan kalpa ke 11.
Bila digabungkan dengan fase pembentukan, maka total umur bumi menurut Buddhisme adalah 4.38 milyar tahun (2.78 milyar +(11.5 x 139.600.000)). Adapun menurut estimasi ahli geologi, umur bumi adalah sekitar 4.55 milyar tahun. Kedekatan kedua angka tersebut benar-benar telah mencengangkan banyak orang.
Awal Kehidupan di Muka Bumi
Sudah semenjak zaman dahulu kala, manusia telah berusaha untuk mengetahui asal usulnya. Rasa ingin tahu inilah yang kemudian mendorong mereka untuk menciptakan aneka mitos mengenai penciptaan alam semesta ini. untuk memuaskan rasa ingin tahunya mereka mengarang aneka dongeng. Sayang sekali bahwa ternyata tidak ada satupun dongen tersebut yang benar.
berikut adlh sabda Sang Buddha yg ada di Aganna Sutta yg merupakan sutra ke 27 dari Digha Nikaya:
"Pada waktu itu semuanya merupakan suatu dunia yang terdiri dari air, gelap gulita. Tidak ada matahari atau bulan yang nampak, tidak ada bintang-bintang dan konstelasi-konstelasi yang kelihatan, siang maupun malam belum ada, bulan maupun pertengahan bulan belum ada, tahun-tahun maupun musim-musim belum ada, laki-laki maupun wanita belum ada. Makhluk-makhluk hanya dikenal sebagai makhluk-makhluk saja.."
Sang Buddha telah mengatakan bahwa kehidupan berawal dari air. pernyataan ini tidak bertentangan dengan sains yg mengatakan bahwa bumi pada awalnya berbentuk cair.
Pada saat bumi baru terbentuk, masih terdapat kabut yang disebabkan oleh proses pendinginan bumi. oleh karena itu adanya kabut tebal tersebut, maka matahari dan bintang belum tampak, belum tampak disini bukan berarti belum ada. Hal ini tidak bertentangan dengan sains yang mengatakan bahwa matahari lebih tua dari pada bumi. demikian juga dengan pernyataan Buddha bahwa makhluk-makhluk yang pertama tidak berjenis kelamin.
Kalau kita mempertimbangkan kondisi masyarakat pada ribuan tahun yg lalu yang masih terbelenggu oleh dongeng dan mitos, maka ajaran Buddha terlihat sudah sangat jauh ke depan.
Sang Buddha bukanlah seorang ilmuwan, Buddha menggunakan metoda intuisi dan penembusan langsung untuk memahami corak fenomena dengan kekuatan batin, lain halnya dengan pendekatan ilmiah yang memerlukan perangkat lunak dan keras dalam mencapai suatu kesimpulan.
Tak Terhingga
Agama Buddha juga mengemukakan tentang ketidakterbatasan waktu, berikut adalah kutipan dari pertanyaan seorang Buddhis kepada Sang Buddha di dalam Samyuta Nikaya XV:5:
'Dapatkah ia dilukiskan, O, Bhagavat (Sang Buddha), dengan sebuah perumpamaan?"
"Bisa, wahai Saudara," demikianlah yang dikatakan Bhagavat, 'bayangkanlah sebuah gunung karang curam, yang panjang, lebar, dan tingginya, masing-masing satu yojana, tanpa sedikitpun retakan, tidak berongga, suatu massa batu yang padat, dan seseorang akan datang pada akhir tiap abad, dan dengan sutera halus Kasi menggosok gunung batu tersebut aus seluruhnya, atau habis seluruhnya, masih lebih lama satu kalpa. Demikianlah lamanya satu kalpa...demikianlah banyak kalpa telah berlalu, banyak ratusan kalpa, banyak ribuan kalpa, banyak ratusan ribu kalpa telah berlalu...
Bagaimana ini? Tak terhitunglah awal mula itu, wahai Saudara,... Waktu yang paling awal tidak dapat diketahui keberadaannya..."
Menurut Buddhisme, fenomena tidak lahir secara spontan, melainkan melalui proses penyatuan dan penggabungan aneka sebab-musabab dan kondisi-kondisi tertentu.
Dalam Avatamsaka Sutra bab 37 tertera:
"Sebagaimana dengan miliaran planet, alam semesta tidaklah terbentuk hanya karena satu kondisi saja, tidak oleh satu fenomena saja, alam semesta hanya dapat terbentuk oleh aneka sebab-musabab dan kondisi-kondisi yang tak terhitung.
Kiamat
Pada suatu ketika bumi kita ini akan hancur lebur dan tidak ada. Tapi hancur leburnya bumi kita ini atau kiamat bukanlah merupakan akhir dari kehidupan kita. Karena di alam semesta ini tetap berlangsung pula evolusi terjadinya bumi. Lagi pula, bumi kehidupan manusia bukan hanya bumi kita ini saja tetapi ada banyak bumi lain yang terdapat dalam tata surya - tata surya yang tersebar di alam semesta ini.
Kiamat atau hancur leburnya bumi kita ini menurut Anguttara Nikaya, Sattakanipata diakibatkan oleh terjadinya musim kemarau yang lama sekali. Selanjutnya dengan berlangsungnya musim kemarau yang panjang ini muncullah matahari yang kedua, lalu dengan berselangnya suatu masa yang lama matahari ketiga muncul, matahari keempat, matahari kelima, matahari keenam dan akhirnya muncul matahari ketujuh. Pada waktu matahari ketujuh muncul, bumi kita terbakar hingga menjadi debu dan lenyap bertebaran di alam semesta.
Pemunculan matahari kedua, ketiga dan lain-lain bukan berarti matahari-matahari itu tiba-tiba terjadi dan muncul di angkasa, tetapi matahari-matahari tersebut telah ada di alam semesta kita ini. Dalam setiap tata surya terdapat matahari pula.
Menurut ilmu pengetahuan bahwa setiap planet, tata surya, dan galaxi beredar menurut garis orbitnya masing-masing. Tetapi kita sadari pula, karena banyaknya tata surya di alam semesta kita ini, maka pada suatu masa garis edar tata surya kita akan bersilangan dengan garis orbit tata surya lain, sehingga setelah masa yang lama ada tata surya yang lain lagi yang bersilangan orbitnya dengan tata surya kita. Akhirnya tata surya ketujuh menyilangi garis orbit tata surya kita, sehingga tujuh buah matahari menyinari bumi kita ini. Baiklah kita ikuti uraian tentang kiamat yang dikhotbahkan oleh Sang Buddha kepada para bhikkhu:
Bhikkhu, akan tiba suatu masa setelah bertahun-tahun, ratusan tahun, ribuan tahun, atau ratusan ribu tahun, tidak ada hujan. Ketika tidak ada hujan, maka semua bibit tanaman seperti bibit sayuran, pohon penghasil obat-obatan, pohon-pohon palem dan pohon-pohon besar di hutan menjadi layu, kering dan mati .....
Para bhikkhu, selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu waktu di akhir masa yang lama, matahari kedua muncul. Ketika matahari kedua muncul, maka semua sungai kecil dan danau kecil surut, kering dan tiada .....
Para bhikkhu, selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu waktu di akhir masa yanglama, matahari ketiga muncul. Ketika matahari ketiga muncul, maka semua sungai besar, yaitu sungai Gangga, Yamuna, Aciravati, Sarabhu dan Mahi surut, kering dan tiada .....
Para bhikkhu, selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu waktu di akhir masa yang lama, matahari keempat muncul. Ketika matahari keempat muncul, maka semua danau besar tempat bermuaranya sungai-sungai besar, yaitu danau Anotatta, Sihapapata, Rathakara, Kannamunda, Kunala, Chaddanta, dan Mandakini surut, kering dan tiada .....
Para bhikkhu, selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu waktu di akhir masa yang lama, matahari kelima muncul. Ketika matahari kelima muncul, maka air maha samudra surut 100 yojana*, lalu surut 200 yojana, 300 yojana, 400 yojana, 500 yojana, 600 yojana dan surut 700 yojana. Air maha samudra tersisa sedalam tujuh pohon palem, enam, lima, empat, tiga, dua pohon palem, dan hanya sedalam sebatang pohon palem. Selanjutnya, air maha samudra tersisa sedalam tinggi tujuh orang, enam, lima, empat, tiga, dua dan hanya sedalam tinggi seorang saja.
Para bhikkhu, selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu waktu di akhir masa yang lama, matahari kelima muncul. Ketika matahari kelima muncul, maka air maha samudra surut 100 yojana*, lalu surut 200 yojana, 300 yojana, 400 yojana, 500 yojana, 600 yojana dan surut 700 yojana. Air maha samudra tersisa sedalam tujuh pohon palem, enam, lima, empat, tiga, dua pohon palem, dan hanya sedalam sebatang pohon palem. Selanjutnya, air maha samudra tersisa sedalam tinggi tujuh orang, enam, lima, empat, tiga, dua dan hanya sedalam tinggi seorang saja, lalu dalam airnya setinggi pinggang, setinggi lutut, hingga airnya surut sampai sedalam tinggi mata kaki.
Para bhikkhu, bagaikan di musim rontok, ketika terjadi hujan dengan tetes air hujan yang besar, mengakibatkan ada lumpur di bekas tapak-tapak kaki sapi, demikianlah dimana-mana air yang tersisa dari maha samudra hanya bagaikan lumpur yang ada di bekas tapak-tapak kaki sapi.
Para bhikkhu, selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu waktu di akhir masa yang lama, matahari keenam muncul. Ketika matahari keenam muncul, maka bumi ini dengan gunung Sineru sebagai raja gunung-gunung, mengeluarkan, memuntahkan dan menyemburkan asap. Para bhikkhu, bagaikan tungku pembakaran periuk yang mengeluarkan, memuntahkan dan menyemburkan asap, begitulah yang terjadi dengan bumi ini.
Demikianlah, para bhikkhu, semua bentuk (sangkhara) apapun adalah tidak kekal, tidak abadi atau tidak tetap. Janganlah kamu merasa puas dengan semua bentuk itu, itu menjijikkan, bebaskanlah diri kamu dari semua hal.
Para bhikkhu, selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu waktu di akhir masa yang lama, matahari ketujuh muncul. Ketika matahari ketujuh muncul, maka bumi ini dengan gunung Sineru sebagai raja gunung-gunung terbakar, menyala berkobar-kobar, dan menjadi seperti bola api yang berpijar. Cahaya nyala kebakaran sampai terlihat di alam Brahma, demikian pula dengan debu asap dari bumi dengan gunung Sineru tertiup angin sampai ke alam Brahma.
Bagian-bagian dari puncak gunung Sineru setinggi 1, 2, 3, 4, 5 ratus yojana terbakar dan menyala ditaklukkan oleh amukan nyala yang berkobar-kobar, hancur lebur. Disebabkan oleh nyala yang berkobar-kobar bumi dengan gunung Sineru hangus total tanpa ada bara maupun abu yang tersisa. Bagaikan mentega atau minyak yang terbakar hangus tanpa sisa. Demikian pula bumi maupun debu tidak tersisa sama sekali.
TAMAT
No comments:
Post a Comment