Wednesday, 10 April 2019

BIJAKSANA DALAM BERBAGAI SITUASI

BIJAKSANA DALAM BERBAGAI SITUASI

Oleh : Ven. Ajahn Sumedho

Terkadang kebijaksanaan (insight) timbul pada saat yg tak terduga. Peristiwa ini terjadi pada diri saya manakala saya tinggal di Wat Pah Pong. Daerah timur laut Thailand dengan semak-belukar serta dataran-rendahnya bukanlah tempat yg terindah dan disukai di dunia; dan daerah ini menjadi sangat terik di musim panas. Kita mesti keluar di tengah terik siang pada tiap hari Uposatha dan menyapu dedaunan di jalan.


Daerah yg harus disapu sangat luas. Kami akan menghabiskan siang itu di bawah jerangan matahari, berkeringat dan menyapu dedaunan hingga menjadi tumpukan dengan sapu-lidi biasa; inilah salah satu tugas kami. Saya tidak suka melakukan ini.
Saya kerap berpikir, ‘Saya tidak mau melakukannya. [Jauh-jauh] saya ke sini bukanlah buat menyapu dedaunan; Saya ke sini untuk mencapai pencerahan — dan mereka malah menyuruh saya menyapu rontokan daun. Lagipula, cuaca di luar sangat panas, saya berkulit putih; Saya bisa kena kanker kulit.’
Saya berdiri di luar sana di suatu siang, merasa sangat malang, dan berpikir, ‘Duhh, apa yg kulakukan di sini? Kenapa aku ke sini? Mengapa aku tinggal di sini?’
Di sana, saya berdiri dengan sapu bergagang panjang, lunglai, menyesali diri sendiri dan membenci semuanya.

Kemudian Ajahn Chah datang, tersenyum kepada saya serta berkata,‘Wat Pah Pong ternyata penuh penderitaan, ya `kan ?’ seraya melangkah pergi.
Saya lalu berpikir, ‘Mengapa ia berkata demikian?’ dan, ‘Sesungguhnya, kamu juga tahu, semuanya toh tidak begitu buruk.’ — Ia membuat saya merenung: Apakah menyapu  dedaunan benar mengesalkan? … Tidak, tidak demikian. Perbuatan ini termasuk netral; anda menyapu dedaunan, dan bukan soal di sini ataupun di sana … Apakah keringatan ini begitu menyengsarakan? Apakah pengalaman ini sungguh celaka dan memalukan? Apakah ini benar-benar seburuk anggapan saya? …. Tidak, — berkeringat itu oke oke saja, sesuatu yg alami sekali. Dan saya juga tidak mendapat kanker kulit, lagian orang-orang di Wat Pah Pong sangatlah baik. Gurunya amat bijak dan ramah. Para bhikkhu memperlakukan saya dengan baik. Para umat awam datang serta memberi makanan, dan ….. Apa yg saya gerutukan?’

Dengan merefleksikan pengalaman nyata di sana, saya pun berpikir, ‘Saya baik-baik saja. Orang-orang menghargai saya. Saya diperlakukan dengan baik. Saya diajari oleh orang yg menyenangkan di negeri yg sangat menyenangkan. Tak ada apa pun yg salah, kecuali saya ; saya membuatnya jadi masalah karena saya tidak mau keringatan dan menyapu dedaunan.’
Kemudian saya memiliki pengetahuan-kebijaksanaan yg sangat jelas. Tiba-tiba saya menangkap sesuatu dalam diri saya yg selalu menggerutu dan mencela, serta yg menghambat saya untuk membaktikan diri pada apapun atau mempersembahkan diri pada situasi manapun.
Pelajaran lain dari pengalaman saya berasal dari adat-kebiasaan mencuci kaki para bhikkhu senior ketika mereka pulang dari keliling pindapata. Setelah mereka berjalan telanjang kaki melalui desa-desa dan sawah, kaki mereka akan berlumpur. Di luar ruang makan terdapat tempat mencuci kaki. Ketika Ajahn Chah datang, semua bhikkhu — sekitar 20 atau 30 orang — akan menghambur keluar dan mencuci kaki beliau.

Tatkala pertama kali melihatnya, saya berpikir, ‘Saya tidak akan melakukan itu. Tidak akan!’ Keesokan harinya, kembali tiga puluh bhikkhu terburuburu keluar ketika Ajahn Chah muncul dan mencuci kaki beliau — saya berpikir, ‘Sungguh perbuatan yg bodoh —tiga puluh bhikkhu mencuci kaki satu orang. Saya tidak bakal melakukan itu.’
Keesokan harinya lagi, reaksi saya bertambah keras… tiga puluh bhikkhu menghambur dan mencuci kaki Ajahn Chah dan….’ Saya benar-benar marah. Saya muak! Saya merasa itu adalah hal terbodoh yg pernah saya lihat — tiga puluh orang pergi mencuci kaki satu orang!
Mungkin Ajahn Chah mengira bahwa ia patut menerimanya, tahukah anda — kebiasaan ini benar-benar mengelembungkan egonya.

Mungkin ia jadi punya ego raksasa, dengan banyaknya orang yg mencuci kakinya setiap hari. Saya takkan pernah melakukannya!’
Saat itu saya mulai membangun reaksi yg kuat, reaksi yg berlebihan. Saya akan duduk di sana dan merasa sangat sengsara dan marah. Saya akan melihat para bhikkhu dan berpikir, ‘Mereka semua tampak dungu di mata saya. Saya tak tahu lagi apa gunanya saya di sini.’

Tetapi saya mulai mendengar pemikiran saya dan berpikir, ‘Sungguh cara berpikir yg tak menyenangkan. Apa sih yg benar perlu untuk di buat kesal? Mereka toh tidak meminta saya untuk melakukannya. Tidak apa-apa – [sebenarnya] tidak ada yg salah dengan tiga puluh orang mencuci kaki satu orang. Perbuatan itu tidaklah tak-bermoral atau jahat, mungkin mereka memang menikmatinya; barangkali mereka memang ingin melakukannya — mungkin tak apa-apa untuk melakukannya…. Mungkin saya harus melakukannya!’ Maka keesokan paginya, tiga-puluh-satu bhikkhu tergopoh-gopoh mencuci kaki Ajahn Chah.

Selanjutnya tiada masalah lagi.
Saya merasa sangat baik: hal buruk dalam diri saya telah berhenti. Kita dapat berefleksi dengan hal-hal yg menimbulkan kekesalan dan kemarahan dalam diri kita: apa sungguh ada yg salah dengan mereka atau justru kita sendiri yg menciptakan dukkha darinya? Kemudian kita pun mulai memahami masalah-masalah yg kita ciptakan dalam hidup kita sendiri dan pada hidup orang lain di sekitar kita. Dengan perhatian-penuh (mindfulness) kita akan sanggup menanggung keseluruhan hidup ini — beserta kegairahan dan kebosanannya, harapan dan keputusasaannya, kenikmatan dan kesakitannya, takjub dan kelelahannya, awal serta akhirnya, lahir dan matinya.

Kita sanggup menerima keseluruhannya dalam benak kita daripada hanya menyerap yg menyenangkan serta menekan yg tidak menyenangkan.
Proses insight adalah: menyongsong dukkha, melihat dukkha, mengakui dukkha, mengenali dukkha dalam segala bentuknya. Sehingga anda tak lagi latah bereaksi seperti kebiasaan lama, larut menimang hawa-nafsu atau menekan.
Oleh karena itu anda jadi mampu menanggung penderitaan, anda bisa lebih sabar dalam menghadapinya. Ajaran ini tidaklah berada di luar pengalaman kita. Sebaliknya, ajaran ini merupakan refleksi pengalaman nyata kita — bukan permasalahan intelektual yg rumit. Jadi berusahalah sunguh-sungguh dalam pengembangan-diri daripada terjebak dalam rutinitas. Seberapa sering anda merasa bersalah atas kegagalan dan kesalahan anda di masa lampau? Apakah anda harus menghabiskan seluruh waktu anda memuntahkan kembali semua yg telah terjadi dalam hidup anda dan tengelam dalam spekulasi dan analisis tanpa henti? Beberapa orang membentuk dirinya menjadi kepribadian yg begitu rumitnya.

Bila anda terus hanyut tenggelam dalam ingatan, pandangan serta opini anda sendiri, maka anda akan terus terjebak di dalam dunia ini dan takkan pernah melampauinya.
Anda dapat melepas beban ini bila anda bersedia menggunakan ajaran dengan terampil. Katakan pada diri sendiri: ‘Saya tidak akan terjebak lagi; saya menolak untuk ikut dalam permainan ini. Saya takkan menyerah pada gejolak suasana hati ini.’
Mulailah menempatkan diri anda pada posisi yg mengetahui: ‘Saya mengetahui ini adalah dukkha; itu adalah dukkha.’ Adalah sangat penting untuk bertekad bersedia menyongsong dimana ada penderitaan dan mau tinggal bersamanya. Sebab hanya dengan mengamati dan mehadapi-langsung penderitaan dengan cara demikian maka seseorang boleh berharap untuk mendapatkan pengetahuan yg mendalam: ‘Penderitaan ini telah dimengerti.’ Jadi inilah ketiga aspek dari Kebenaran Ariya Pertama.

Inilah formula yg musti kita gunakan dan aplikasikan dalam refleksi hidup kita. Bilamana anda merasakan penderitaan, pertama-tama buatlah pengenalan: ‘Itu adalah penderitaan’, kemudian: ‘Penderitaan harus dipahami’, dan akhirnya: ‘Penderitaan telah dipahami.’ Pemahaman dukkha ini adalah pengetahuan-kebijaksanaan dari Kebenaran Ariya Pertama.

Sumber : Vidyasena Production - Vihara Vidyaloka

No comments:

Post a Comment