Tuesday 20 November 2018

KERJASAMA BUDDHISME & ILMU PENGETAHUAN DUNIA BARAT

Mengali fenomena Sains & Buddhism....

KERJASAMA BUDDHISME & ILMU PENGETAHUAN DUNIA BARAT

Buddhism and Science, bukanlah sebuah topik baru di era saat ini, sudah banyak tulisan dari para intelektual terkemuka di bumi ini yang mencoba menggali hubungan Buddhisme dan ilmu pengetahuan.

Serangkaian percakapan antara para ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu dengan para .pemimpin dan cendikiawan agama Buddha telah banyak dilakukan dan akan selalu diagendakan setiap tahunnya.

Diskusi-diskusi yang dilakukan tersebut
telah menemukan sebuah keharmonisan antara Buddhisme dengan prinsip-prinsip dasar ilmu pengetahuan.


Selain itu mereka menyadari bahwa Buddhime memiliki daya tarik khusus.....!!!

Ilmu pengetahuan mengajarkan kita membangun rumah, gedung, jalan dan kota dengan lebih baik, teknologi berkembang dengan pesat untuk memudahkan hidup manusia.

Namun, ....
ilmu pengetahuan tidak mengajarkan kita cara membangun orang yang lebih baik...!!!
Karena alasan inilah, orang-orang zaman sekarang kembali pada Buddhisme, sebuah filosofi kuno yang mempunyai banyak kesamaan dengan tradisi ilmu pengetahuan Barat,.....
tetapi melaju melebihi materialisme Barat, melebihi batas-batas praktik ilmu pengetahuan yang telah kita kenal sejauh ini.

Gelombang besar ketertarikan peradaban Barat terhadap Buddhisme mencapai puncaknya pada abad 20..... dengan adanya kesesuaian yang mengejutkan dengan
Teori Relativitas dan Fisika Kuantum,.....
dua teori yang mewakili kemajuan paling akhir dalam ilmu pengetahuan teoritis dan terapan.

Kesesuaian juga meliputi beberapa kesimpulan yang paling spesifik tentang sifat dasar manusia dan dunia.

Albert Einstein yang dipandang sebagai bapak ilmu pengetahuan modern Barat bukanlah orang yang beragama,...!!! namun dia mengisyaratkan jika dia harus memilih, dia akan menjadi seorang Buddhis.

Apresiasi Einstein terhadap ajaran Buddha disampaikan pada saat ceramahnya tentang
“Science and Religion”
di Princetown, New Jersey, Amerika Serikat pada tanggal 19 Mei 1939.

Einstein memiliki pemikiran bahwa ajaran Buddha melampaui dualisme baik-buruk, sehat-sakit, mati-hidup dan dari ajaran dengan dasar pengetahuan sederhana
hingga ajaran dengan pengetahuan tertinggi yang tidak bisa dicerna dengan pemikiran biasa, tetapi melalui ‘inspirasi dan pengalaman’ "meditasi".....!!!

“The religion of the future will be a cosmic religion. It should transcend a personal God and avoid dogmas and theology. Convergiveng both the natural and the spiritual. It should be based on a religious sense arising from the experience of all things, natural and spiritual as a meaningful unity. Buddhism answers this description…If there is any religion that could cope with modern scientific needs, it would be Buddhism.”

“Agama masa depan adalah suatu agama semesta, yaitu agama yang melampui konsep/doktrin tentang Tuhan sebagai pribadi,......
serta menghindari dogma dan teologi.
Agama haruslah berdasarkan pengertian keagamaan yang muncul dari pengalaman
akan segala hal, baik yang bersifat $alami atau batiniah,_
yang merupakan satu kesatuan yang sangat berarti.

Buddhisme menjawab gambaran tersebut…!!! Seandainya ada agama yang dapat memenuhi kebutuhan ilmu pengetahuan modern, maka hal itu adalah agama Buddha.”

Sebelumnya, pada tahun 1905, Einsten juga menyatakan:

 ”Rasa keagamaan kosmik merupakan dorongan
paling kuat dan paling mulia terhadap penelitian ilmiah.
Agama Buddha, seperti yang kita pelajari dari tulisan Schopenhauer yang mengagumkan, mengandung unsur tersebut jauh lebih kuat dibanding agama lainnya.”

Tidak terlalu berlebihan jika dikatakan Buddhisme dengan cepat telah menjadi pilihan favorit orang Barat, termasuk di kalangan elit dalam bidang ilmu pengetahuan, seni maupun politik.

Saya tidak akan membahas apa dan bagaimana Buddhisme kok oleh kalangan ilmuwan di dunia di pandang serupa dengan ilmu pengetahuan, bahkan melampaui ilmu pengetahuan itu sendiri.

Telah dilakukan kajian yang cukup sukses yang membandingkan filosofi analisis Bertrand Russell dengan Buddhisme.

Jadi, dalam ilmu pengetahuan dan filosofi Barat kita menemukan hubungan paralel yang sangat dekat dengan metode analisis yang diajarkan tradisi Buddhis....!!!

Bertrand Russell pun lalu berkomentar:

“Agama Buddha merangkul filosofi dalam sistem kebenaran, sejalan dengan ilmu pengetahuan. Agama Buddha mendukung metode dari ilmu pengetahuan dan dapat terus mencakup metode-metode tersebut hingga yang paling mutakhir sekalipun.
Jadi dapat diterangkan bahwa agama Buddha dapat ditemukan jawaban yang memuaskan mengenai apakah pikiran itu dan apakah material itu....????

Mana yang lebih penting antara pikiran dan material...???”

Buddhisme telah lama dikenal atas pendekatan analitisnya dalam bidang filosofi dan psikologi.

Serangkaian diskusi yang telah dilakukan, seperti di bidang psikologi oleh Daniel Goleman dikembangkan menjadi apa yang kita kenal dengan Kecerdasan Emosional.....!!!

Telah kita ketahui Buddhisme sangat menghargai penggunaan secara ketat logika dan definisi yang tepat dari istilah-istilah,
ajaran didasarkan pada observasi dan praktik.....!!!

Buddhisme menentang "dogmatisme".....!!!
Dalam Buddhisme dikenal adanya kasunyataan/kebenaran yang bersifat empiris/relative (Samvrti-Satya).
Samvrti adalah kebenaran yang menutupi realitas yang sesungguhnya.

Namun begitu, Samvrti merupakan petunjuk terhadap adanya realitas yang sesungguhnya yang merupakan dasar dari Samvrti itu sendiri yaitu Sunyata atau Paramatha-Satya. Paramatha-Satya atau kebenaran yang mutlak, absolut merupakan pengetahuan langsung sedangkan Samvrti merupakan pengatahuan tidak langsung atau pengetahuan turunan.

Semua bentuk verbal, semua lambang-lambang, semua konsep-konsep itu hanya dapat membahas kebenaran didalam sifatnya yang relative atau empiris saja. Para ilmuwan sangat menyadari bahwa pengetahuan yang paling tinggi, yang dapat mereka harapkan untuk diperoleh adalah pengetahuan yang bersifat relative atau empiris. Baik Buddhisme maupun ilmu pengatahuan memandang konsep-konsep dan angka-angka serta logika sebagai sarana yang berguna untuk melaksanakan tugas-tugas yang penting, dan bukan sebagai tujuan itu sendiri. Karena itu, Buddhisme bisa menerima validitasnya ilmu pengetahuan. Hal ini dimungkinkan sebab ilmu pengetahuan yang kita kenal saat ini yang dikembangkan oleh Dunia Barat dengan sangat gemilang dan sukses merupakan pengetahuan empiris yang bersifat kasunyataan relative (Samvrti-Satya).

Dan inilah sumbangsih Buddhisme terhadap ilmu pengetahuan yang telah diakui oleh para ilmuwan terkemuka di dunia, bahwa Buddhisme tidak hanya mengenal kasunyataan relative tetapi lebih dari itu kasunyataan relative merupakan sarana untuk mencapai kasunyataan yang bersifat hakiki atau yang paling tinggi yaitu Sunyata atau Paramatha-Satya atau Asankhata-Dhamma atau Nibbana/Nirvana.

Sunyata atau Nirvana bukanlah sesuatu yang bersifat mistik, Buddhisme muncul sebagai reaksi atas ajaran Hinduisme yang bersifat metaphysis yang menerangkan bahwa kasunyataan tertinggi (ultimate truth) berada diluar pengalaman keindriaan. Bahwa pengalaman keindriaan itu bersifat illusi, bersifat palsu, dan dipercayai pula bahwa yang riil, adalah Ke-Aku-an yang tidak tampak (invisible Self), yang berada dibelakang dunia yang tampak ini. Oleh karenanya dunia tersebut lebih riil dibandingkan pengalaman keindriaan. Sebuah pandangan yang juga diimani oleh 3 agama samawi.

Sebagai jawaban yang radikal atas ajaran Hinduisme tersebut Buddha mengemukakan ajaran Anatta atau Sunyata. Bahwa Sunyata bukanlah dunia yang bersifat metafisika, tidak misterius, atau kabur, dan bukanlah suatu pengertian atau konsep yang sama sekali abstrak.

Sunyata adalah sebuah pengalaman akan kekosongan namun bukanlah kekosongan itu sendiri, kosong karena tidak terdapatnya segala sesuatu, tetapi juga bukan keadaan hampa dari sesuatu. Sunyata adalah kekosongan yang sempurna.
Sunyata merupakan pengalaman penembusan hakikat segala sesuatu. Sebuah pengalaman dimana segala konsep atau pandangan yang salah tentang ‘nama’  dan ‘rupa’ (batin dan materi) lenyap. Fenomena sesungguhnya hanyalah nama, konvensi. Fenomena muncul dari rangkaian kondisi yang saling bergantungan, tidak ada subtansi yang terpisah yang berdiri sendiri dan ada dengan sendirinya tanpa bergantung dengan yang lain-lainnya karena itu semua fenomena muncul semata-mata hanyalah suatu proses, suatu kejadian, suatu peristiwa bukan atas suatu kehendak. Ada sebenarnya tidak ada, karena itu tidak ada yang disebut diri, saya, milikku atau milikmu. Segala sesuatu adalah kosong, tanpa inti (anatta/anatman). Sunyata bukanlah nihilisme.

Realitas bukanlah Ada atau Tidak Ada, kedua-duanya atau bukan kedua-duanya. Sunyata merupakan pengalaman non-dualisme, suatu pengalaman yang tak terungkapkan dengan kata-kata, suatu pengalaman yang hanya dapat direalisir melalui Kebikjasanaan Tertinggi.

Sunyata diartikan bersifat di atas duniawi yang melampaui pengalaman keindriaan dan yang bersifat mutlak atau absolut atau yang tak terdifinisikan yang merupakan pencapaian Nirvana/Nibbana bukan berarti Sunyata/Nirvana/Nibbana itu sesuatu yang metafisika atau diluar pengalaman keindriaan.

Seluruh ajaran Buddhisme didasarkan atas pengalaman, Buddha menegaskan bahwa yang dinamai pengalaman itu adalah sesuatu yang dapat dilihat dan dapat didengar secara langsung,.... maka pengalaman itu lalu menjadi authoritas yang paling tinggi.....!!!

Disinilah salah satu penyebab awal terjadinya kebingungan dan prasangka negatif ilmu pengetahuan Dunia Barat terhadap Buddhisme karena adanya perbedaan dalam mendefinisikan ‘pengalaman’.

Ketika ilmu pengatahuan Dunia Barat berbicara tentang pengalaman, yang mereka maksudkan adalah pengalaman keindriaan.

Jauh sebelum ilmu psikologi Barat berkembang dan telah memperluas definisi pengalaman yaitu bahwa
emosi itu merupakan bagian dari pengalaman,..... bahwa
kata-kata dan angka-angka, serta konsep-konsep itu juga merupakan bagian dari pengalaman..

2500 tahun yang lalu Buddha Gotama telah menggunakan dan memahami makna pengalaman dalan arti yang sangat luas,....
seperti yang diterapkan oleh ilmu psikologi saat ini.

Karena itu saat Buddhisme berbicara tentang ‘spiritual’ atau kehidupan kerohanian, kehidupan religius,
maka yang dimaksudkan adalah pengalaman aktual yang bersifat total namun bukan pengalaman yang khusus, bukan berarti essensi, atau roh, atau sesuatu yang dikarenakan makhluk abadi, melainkan sebuah pemahaman langsung atas pengalaman total yang direalisasikan lewat pencapaian Nirvana/Nibbana.

Namun Nirvana/Nibbana bukanlah sesuatu yang dihasilkan atau diciptakan.

Nirvana/Nibbana adalah padamnya konsep-konsep yang berdasar sebab-sebab dan kondisi-kondisi....!!!

Namun demikian para guru Buddhis selalu menekankan bahwa .....
memegang Sunyata/Nirvana/Nibbana sebagai suatu teori adalah sangat "berbahaya"....!!!

Bagaikan memegang ular pada ekornya atau ahli sihir yang terbunuh karena sihirnya.

Sunyata/Nirvana/Nibbana adalah pengalaman total yang direalisasi melalui Kebijaksanaan Tertinggi yang "dilatih" dengan mengembangkan Sila, Samadhi, dan Panna/Prajna (Moralitas, Meditasi dan Kebijaksanaan).

Oleh karena itu antara Buddhisme dan Ilmu Pengetahuan akan saling melengkapi, sehingga ilmu pengetahuan tidak akan dipandang dangkal karena hanya bersifat materi, namun melangkah lebih jauh lagi dengan petunjuk-petunjuk dari Buddhisme dengan demikian ilmu pengetahuan yang kita kenal saat ini yang telah dikembangkan dengan sukses oleh Dunia Barat mampu membawa manusia menjadi orang yang lebih baik dan luhur.

Sesuai makna dari arti kata manusia itu sendiri yaitu manussa
(bhs. Pali) yang terdiri dari
dua kata mano (pikiran) dan ucca (luhur, tinggi) bahwa manusia adalah makhluk yang mampu menggunakan pikirannya untuk bisa mencapai keluhuran atau kesempurnaannya.

No comments:

Post a Comment