Monday 13 August 2018

Mengapa berdana uang kepada Bhikkhu adalah perbuatan KAMMA BURUK?

Mengapa berdana uang kepada Bhikkhu adalah perbuatan KAMMA BURUK?

1.    Artikel Adhamma Dana

        Ini adalah terjemahan bebas dari artikel Dhamma yang berjudul ‘Adhamma Dana’ karya Bhikkhu Pesala. Dalam artikel ini, beliau berusaha menjelaskan bahwa pemberian uang kepada bhikkhu adalah hal yang salah dan sangat merugikan. Penjelasan yang beliau berikan bukan hanya berasal dari sudut pandang Vinaya tetapi juga dari Sutta. Perlu diketahui bahwa catatan kaki dan kata dalam [ ] pada terjemahan artikel ini adalah tambahan penerjemah.

Adhamma Dana

Oleh Bhikkhu Pesala

34B Cambridge Road, Seven Kings, Ilford, EssexIG3 8LU


        Memberikan sesuatu (persembahan) kepada orang lain adalah sebuah cara untuk mengembangkan kebaikan dan kemurahan hati. Hal itu membantu melepaskan pendambaan (kemelekatan) jika dilakukan dengan niat yang baik, dan harus dikembangkan sebagai sebuah kebiasaan yang berkesinambungan oleh semua orang baik. Jika penerimanya adalah seorang bhikkhu yang bermoral dan terbebas dari pendambaan terhadap barang persembahan tersebut, maka tindakan kemurahan hati yang sederhana menjadi sebuah cara yang mulia dalam melakukan penghormatan kepada Sang Buddha.

        Namun demikian, tidak semua pemberian persembahan merupakan kebajikan (perbuatan berjasa), beberapa barang seharusnya tidak diberikan karena barang-barang tersebut mencemari moralitas penerima. Sebagai contoh, senjata, alkohol, racun, hal yang berhubungan dengan kegiatan seksual, hiburan-hiburan dan pertunjukan-pertunjukan yang bodoh, walaupun hal-hal tersebut mungkin menyenangkan bagi sebagian orang, seharusnya hal-hal tersebut tidak diberikan karena mengondisikan penerimanya melakukan karma buruk. Memberikan persembahan berupa uang kepada umat awam biasanya termasuk kebajikan, tetapi memberikan suap adalah bukan.

        Artikel ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa memberikan uang kepada para bhikkhu bukan hanya dilarang oleh Sang Buddha, tetapi juga merupakan sebuah tindakan buruk yang memberikan hasil yang buruk pula bagi pendana. Jika uang diberikan kepada seorang umat awam yang membantu bhikkhu (kappiya) sewaktu mengundang bhikkhu tersebut untuk menerima kebutuhan yang diperbolehkan, maka hal tersebut diperbolehkan dan tentu saja itu adalah sebuah tindakan berjasa.

        Jīvaka Sutta yang terdapat di Majjhima Nikāya adalah tentang makan daging oleh para bhikkhu. Di sana Sang Buddha berkata bahwa para bhikkhu boleh makan daging, bila mereka tidak melihat, mendengar, atau menduga bahwa hewan tersebut memang dibunuh untuk mempersembahkan daging pada Sangha. Jika seekor binatang telah disembelih untuk dipersembahkan, maka hal itu adalah pelanggaran tindakan salah (dukkaṭa) bagi seorang bhikkhu jika menerimanya. Pendana melakukan “banyak keburukan” (bahuṃ apuññaṃ) dalam lima hal:

1.       Dengan memerintahkan hewan tersebut untuk ditangkap, dia melakukan banyak keburukan.

2.       Ketika hewan tersebut ditangkap, dia menderita; dia melakukan banyak keburukan.

3.       Dengan memerintahkan hewan tersebut untuk disembelih, dia melakukan banyak keburukan.

4.       Ketika hewan tersebut sedang disembelih, dia menderita; dia melakukan banyak keburukan.

5.       Dengan mempersembahkan apa yang tidak diperbolehkan, dia melakukan banyak keburukan.

        Saya mengutip kalimat yang terkait dari teks Pāḷi:

“Yampi so Tathāgataṃ vātathāgatasāvakaṃ vā akappiyena āsādeti, iminā pañcamena thānena bahuṃ apuññaṃpasavati.” (Jīvaka Sutta, Majjhima Paṇṇasa, Majjhima Nikāya).

“Demikian juga, siapapun yang mempersembahkan kepada Sang Buddha atau siswaNya apa yang tidak diperbolehkan, dalam kasus kelima ini dia melakukan banyak keburukan.”
Arti dari kata “āsādeti” adalah “mengundang untuk menerima”, bukan “memberikan”, maka seseorang melakukan banyak keburukan bahkan jika seorang bhikkhu yang baik menolak persembahan tersebut. Menerima persembahan daging yang tidak diperbolehkan adalah termasuk pelanggaran kecil/minor berupa “tindakan salah” untuk para bhikkhu; tetapi untuk menerima uang adalah sebuah pelanggaran yang relatif besar berupa “Nissaggiya Pācittiya.” [1] Maka, mempersembahkan uang kepada para bhikkhu adalah hal yang lebih buruk daripada mempersembahkan daging yang tidak diperbolehkan.

        Sebagian orang mungkin berkata, “Bagaimana mungkin pendana melakukan keburukan, karena mempersembahkan uang hasil kerja kerasnya adalah sebuah tindakan kemurahan hati.” Tetapi, dengan alasan yang sama, memberikan daging miliknya juga adalah tindakan kemurahan hati. Tolong coba renungkan untuk sesaat bagaimana perasaan bhikkhu yang bermoral (berbudi luhur) ketika diundang untuk menerima uang. Ia mungkin merasa terhina atau setidaknya malu, karena bila dia menolak dana yang dipersembahkan, dia mungkin akan menyakiti si pendana. Situasi tersebut sangatlah sulit [bila terjadi] di tengah kumpulan para bhikkhu (Sangha). Jika semua bhikkhu menerima uang tersebut kecuali dia, dia benar-benar akan berada pada posisi yang sulit. Jika dia menerimanya, dia akan melakukan pelanggaran; jika dia menolaknya, semua bhikkhu yang lainnya dan si pendana akan malu. Apakah hal tersebut merupakan suatu perbuatan berjasa untuk membuat para bhikkhu yang bermoral malu dan melanggar silanya? Pastinya TIDAK!

        Coba pikir kembali apa yang harus terjadi setelah uang tersebut diterima. Jika kemudian seorang bhikkhu yang bermoral menyadari kesalahannya, dia harus melepaskan uang tersebut. Uang tersebut harus dilepaskan kepada Sangha,[2] bukan kepada seseorang. Maka dia setidaknya akan merepotkan empat orang bhikkhu. Jika saat itu ada umat awam, bhikkhu yang menerima uang tersebut harus memberikannya kepadanya; dia kemudian dapat melakukan apapun yang dia suka, tetapi dia tidak boleh menggunakannya untuk keuntungan bhikkhu yang melakukan pelanggaran. Jika tidak ada umat awam, Sangha harus menunjuk seorang “pembuang uang” yang netral/tidak berpihak. Dia kemudian harus membuangnya ke luar lingkungan vihara, tanpa memperhatikan di mana uang tersebut jatuh. Uang tersebut kemudian mungkin dimakan cacing, tertiup angin, atau diambil orang yang beruntung yang kebetulan lewat di sana. Semua kesulitan ini terjadi bahkan hanya gara-gara uang sebesar 5 dolar.

        Beberapa orang berkata bahwa jika pendana mempersembahkan uang, bhikkhu harus memberitahu pendana untuk memberikannya kepada seorang kappiya, tetapi hal tersebut juga merupakan suatu pelanggaran.“Bhikkhu apapun yang menerima uang, membuat orang lain menerimanya untuknya,atau menyetujui disimpannya uang tersebut untuk keperluannya, dia bersalah atas sebuah pelanggaran yang memerlukan pengakuan dengan disertai pelepasan kepemilikan dari barang/benda yang diterimanya. Dia hanya dapat berkata, “Kami tidak menerima uang, kami hanya menerima keperluan bhikkhu yang diperbolehkan dan pada saat yang tepat.” Jika kemudian pendana bertanya bila ada kappiya yang mengurus keperluannya, sang bhikkhu dapat memberitahukannya. Kemudian, pendana dapat memberikan uang tersebut kepada sang kappiya. Namun demikian,uang tersebut tetap milik si pendana; bukan milik sang bhikkhu ataupun kappiya. Jika kappiya tersebut tidak menyediakan kebutuhan sang bhikkhu, bhikkhu tersebut dapat memberitahu pendana tentang hal ini, tetapi dia tidak boleh memaksa kappiya-nya untuk membelikan apa yang diinginkannya. Jika bhikkhu tersebut melakukannya, dia akan terkena pelanggaran yang memerlukan pengakuan dan pelepasan (barang yang didapat dengan cara yang tidak benar). Jika pendana bertanya apa yang seharusnya dia lakukan dengan uang tersebut setelah sang bhikkhu menolaknya, bhikkhu tersebut dapat menjelaskan peraturan Vinaya, tetapi dia tidak boleh memberitahu pendana apa yang harus dilakukannya dengan uang tersebut.

        Apakah anda masih berpikir bahwa memberikan uang kepada para bhikkhu adalah suatu perbuatan berjasa? Jika ia, maka tentulah hal tersebut harus didukung. Namun demikian, jika hal tersebut adalah hal yang tidak baik, maka praktik tersebut tidak boleh dibiarkan, seperti tidak diperbolehkannya pemberian alkohol, ayam hidup, atau persembahan yang tidak layak/pantas lainnya.   - 22Oktober 2012 -.

2.     Jīvaka Sutta (Majjhima Nikāya 55)
        Ini adalah Sutta yang dijadikan referensi utama sebagai acuan dari pernyataan bahwa memberikan (berdana) uang kepada bhikkhu atau Sangha adalah perbuatan karma buruk. Agar para pembaca mendapatkan pengertian yang lebih jelas mengenai isi dan pemicu munculnya Sutta ini, maka penulis sengaja melampirkan terjemahan Suttaini secara lengkap.

Jīvaka Sutta (Kepada Jīvaka)

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang menetap di Rājagaha di Hutan Mangga milik Jīvaka Komārabhacca. Kemudian Jīvaka Komārabhacca pergi menemui Sang Buddha, dan setelah memberikan penghormatan kepada Beliau, dia duduk di satu sisi dan berkata kepada Sang Buddha, “Yang Mulia, saya telah mendengar ini, ‘Mereka menyembelih makhluk hidup untuk petapa Gotama; petapa Gotama secara sadar memakan daging yang dipersiapkan untuk Nya dari binatang-binatang yang dibunuh demi Beliau.’ Yang Mulia, apakah mereka yang mengatakan demikian mengatakan apa yang telah diucapkan oleh Yang Terberkahi; dan tidak salah memahami Yang Terberkahi dengan apa yang berlawanan dengan fakta? Apakah mereka menjelaskan sesuai dengan Dhamma sedemikian rupa sehingga tidak memberikan peluang bagi celaan yang dapat disimpulkan dengan benar dari pernyataan mereka?”

“Jīvaka, mereka yang mengatakan demikian tidak mengatakan apa yang telah Kukatakan, tetapi salah memahamiKu dengan apa yang tidak benar dan berlawanan dengan fakta.

“Jīvaka, Saya katakan bahwa ada tiga kasus di mana daging seharusnya tidak dimakan; jika terlihat, terdengar, atau diduga [bahwa makhluk hidup tersebut disembelih untuknya]. Saya katakan bahwa dalam ketiga kasus tersebut daging seharusnya tidak dimakan. Saya katakan bahwa ada tiga kasus di mana daging boleh dimakan; jika tidak terlihat, tidak terdengar, dan tidak diduga [bahwa makhluk hidup tersebut disembelih untuknya]. Saya katakan bahwa daging boleh dimakan dalam ketiga kasus ini.

“Di sini, Jīvaka, seorang bhikkhu hidup bergantung pada suatu desa atau kota-pasar. Dia berdiam dengan menebarkan pikiran penuh cinta-kasih ke satu area, demikian pula dengan area kedua, demikian pula dengan area ketiga, demikian pula dengan area keempat. Demikian pula ke atas, ke bawah, ke sekeliling, dan kesegala arah, dan kepada semua makhluk seperti kepada dirinya sendiri, dia berdiam dengan meliputi seluruh penjuru dunia dengan pikiran penuh cinta-kasih,berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa permusuhan, dan tanpa niat buruk. Kemudian  seorang perumah-tangga atau putra perumah-tangga mendatanginya dan mengundangnya untuk makan keesokan harinya. Bhikkhu itu dapat menerimanya,jika dia menginginkannya. Ketika malam telah berlalu, pagi harinya dia mengenakan jubah, membawa mangkuk dan jubah luarnya, pergi ke rumah perumah-tangga atau putra perumah-tangga tersebut dan duduk di tempat yang telah dipersiapkan. Kemudian perumah-tangga atau putra perumah-tangga tersebut melayaninya dengan makanan yang baik. Dia tidak berpikir, ‘Betapa baiknya bahwa perumah-tangga atau putra perumah-tangga tersebut melayaniku dengan makanan yang baik! Seandainya seorang perumah-tangga atau putra perumah-tangga tersebut dapat melayaniku dengan makanan yang baik dimasa depan!’ Dia tidak berpikir demikian. Dia memakan makanan tersebut tanpa terikat padanya, tanpa tergila-gila padanya, dan tanpa terbelenggu padanya, karena melihat bahaya di dalamnya dan memahami jalan pembebasannya. Bagaimana menurutmu, Jīvaka? Apakah bhikkhu tersebut pada kesempatan itu berpikir untuk membuat dirinya menderita,atau membuat orang lain menderita, atau membuat keduanya menderita?” – “Tidak,Yang Mulia.” – “Apakah bhikkhu tersebut menopang dirinya dengan makanan-tanpa-cela pada kesempatan itu?”
“Ya, Yang Mulia. Saya telah mendengar hal ini, Yang Mulia, ‘Brahmā berdiam dalam cinta-kasih universal (mettā).’ Yang Mulia, saya melihatnya sendiri hal itu pada diri Yang Terbekahi; karena Yang Terbekahi berdiam dalam cinta-kasih universal.” “Jīvaka, semua nafsu, semua kebencian, semua kebodohan yang karenanya niat buruk dapat muncul telah dieliminasi oleh Sang Tathāgata, telah dicabut sampai keakar-akarnya, dibuat seperti tunggul pohon palem yang telah disingkirkan sehingga tidak mungkin muncul kembali di kemudian hari.  Jika apa yang kau katakan mengacu pada hal itu, maka Saya menyetujuinya.” “Yang Mulia, apa yang kukatakan tepat mengacu  pada hal itu.”

“Di sini, Jīvaka, seorang bhikkhu hidup bergantung pada suatu desa atau kota-pasar. Dia berdiam dengan menebarkan pikiran penuh welasasih (karuṇā) ke satu area ... dengan menebarkan pikiran penuh kegembiraan altruistik (muditā) ...dengan menebarkan pikiran penuh keseimbangan (upekkhā), demikian pula dengan area kedua, demikian pula dengan area ketiga, demikian pula dengan area keempat. Demikian pula ke atas, kebawah, ke sekeliling, dan ke segala arah, dan kepada semua makhluk seperti kepada dirinya sendiri, dia berdiam dengan meliputi seluruh penjuru dunia dengan pikiran penuh keseimbangan, berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa permusuhan, dan tanpa niat buruk. Kemudian  seorang perumah-tangga atau putra perumah-tangga mendatanginya dan mengundangnya untuk makan keesokan harinya. Bhikkhu itu dapat menerimanya, jika dia menginginkannya.... Bagaimana menurutmu, Jīvaka? Apakah bhikkhu tersebut pada kesempatan itu berpikir untukmembuat dirinya menderita, atau membuat orang lain menderita, atau membuat keduanya menderita?” – “Tidak, Yang Mulia.” – “Apakah bhikkhu tersebut menopang dirinya dengan makanan-tanpa-cela pada kesempatan itu?”.
“Ya, Yang Mulia. Saya telah mendengar ini, Yang Mulia,‘Brahmā berdiam dalam keseimbangan.’ Yang Mulia, saya melihatnya sendiri hal itu pada diri Yang Terbekahi; karena Yang Terbekahi berdiam dalam keseimbangan.” “Jīvaka, semua nafsu, semua kebencian, semua kebodohan yang karenanya niat buruk dapat muncul telah dieliminasi oleh Sang Tathāgata, telah dicabut sampai ke akar-akarnya, dibuat seperti tunggul pohon palem yang telah disingkirkan sehingga tidak mungkin muncul kembali di kemudian hari.  Jika apa yang kau katakan mengacu  pada hal itu, maka Saya menyetujuinya.” “Yang Mulia, apa yang kukatakan tepat mengacu  pada hal itu.”

“Siapapun juga yang menyembelih makhluk hidup untuk Sang Tathāgata atau siswaNya, dia akan mendapatkan banyak keburukan (bahuṃ apuññaṃ pasavati) dalam lima kasus. Ketika dia berkata: ‘Pergi dan tangkap makhluk hidup itu,’ ini adalah kasus pertama di mana dia mendapatkan banyak keburukan. Ketika makhluk hidup itu mengalami penderitaan mental dan jasmani karena ditarik dengan leher terikat, ini adalah kasus kedua di mana dia mendapatkan banyak keburukan. Ketika dia berkata: ‘Pergi dan sembelih makhluk hidup itu,’ ini adalah kasus ketiga di mana dia mendapatkan banyak keburukan. Ketika makhluk hidup itu mengalami penderitaan mental dan jasmani karena disembelih,ini adalah kasus keempat di mana dia mendapatkan banyak keburukan. Ketika dia mempersembahkan yang tidak diperbolehkan kepada Sang Tathāgata atau siswaNya, ini adalah kasus kelima di mana dia mendapatkan banyak keburukan. Siapapun yang menyembelih makhluk hidup untuk Sang Tathāgata atau siswaNya, dia mendapatkan banyak keburukan dalam lima kasus ini.”

Ketika hal ini dikatakan, Jīvaka Komārabhacca berkata kepada Sang Buddha: ‘”Sungguh mengagumkan, Yang Mulia, sungguh menakjubkan! Para bhikkhu menopang diri mereka dengan makanan yang diperbolehkan. Para bhikkhu menopang diri mereka dengan makanan yang tanpa-cela. Luar biasa, Yang Mulia! Luar biasa, Yang Mulia!... Mulai hari ini, semoga Yang Terberkahi mengingatku sebagai seorang umat awam yang telah mengambil perlindungan seumur hidup.”

3.    Penjelasan

        Dalam Sutta rujukan di atas, Sang Buddha tidak mengatakan karma buruk (akusala kamma) tetapi Beliau mengatakan keburukan (apuññaṃ). Apakah dalam konteks ini kedua frasa tersebut mempunyai arti yang sama?

Mari tinjau hal tersebut setidaknya dari dua sudut pandang.

1.       Puñña  adalah kebajikan, kualitas yang baik, sesuatu yang layak dipuji. Contoh penggunaanya adalah pada kata: puñña-kiriya-vatthu - landasan perbuatan berjasa. Apuñña adalah kebalikan dari puñña (a = negatif), maka berarti keburukan, kualitas yang buruk, sesuatu yang tercela. Maka hal ini dapat diartikan sebagai sesuatu yang menimbulkan penderitaan. Sesuatu yang menimbulkan penderitaan pastilah berasal dari perbuatan tidak baik atau karma buruk. Maka kata apuñña = akusalakamma.

2.       Bila ditinjau dari isi Suttanya, khususnya pada kasus ke 1-4 dari paragraf kedua dari akhir Sutta; di sana Sang Buddha menerangkan proses mendapatkan daging dengan cara menyembelih makhluk hidup. Penyembelihan (pembunuhan) jelas merupakan perbuatan (karma) buruk, makakata apuñña = akusalakamma.

        Dalam Sutta Sang Buddha menguraikan tentang daging yang tidak layak dimakan oleh seorang bhikkhu. Apakah hal ini dapat dikaitkan dengan masalah pemberian uang? Mari lihat kasus kelima dari lima kasus tersebut. Di sana dikatakan:

“Yampi so Tathāgataṃ vātathāgatasāvakaṃ vā akappiyena āsādeti, iminā pañcamena thānena bahuṃ apuññaṃ pasavati.”

“Ketika dia mempersembahkan yang tidak diperbolehkan kepada Sang Tathāgata atau siswaNya, ini adalah kasus kelima di mana dia mendapatkan banyak keburukan.”

Banyak yang mengartikan kalimat diatas, khususnya bagian yang ditebalkan sebagai “mempersembahkan makanan yang tidak diperbolehkan.”Hal ini mungkin karena dihubungkan dengan isi dari keseluruhan Sutta yang membahas masalah makan daging, seharusnya tidak demikian. Jadi, mempersembahkan apapun yang tidak diperbolehkan (tentu saja termasuk uang) akan memberikan banyak karma buruk pada pendana.

Kata “āsādeti” di sini berasal dari kata āsā = harapan/keinginan + deti = memberi, maka kurang lebih arti lengkapnya adalah harapan/keinginan untuk memberi. Sehingga, jangankan sedang atau telah memberikan, bahkan baru berharap untuk memberikan sesuatu yang tidak diperbolehkan saja, pendana akan mendapatkan banyak keburukan (karma buruk).

        Masalah bobot pelanggaran: berdasarkan kitab komentar sehubungan dengan peraturan Nissaggiya Pācittiya 10, bila seorang bhikkhu menerima barang yang tidak diperbolehkan (salah satunya adalah daging mentah), maka dia melakukan pelanggaran dukkaṭa (tindakan salah). Seorang bhikkhu tidak boleh memakan daging yang berasal dari hewan yang sengaja dibunuh untuk dipersembahkan kepadanya. Bila dia memakannya, dia melakukan pelanggaran dukkaṭa - Mv.VI.31.14(Mv = Mahāvgga). Berdasarkan dua peraturan di atas, dapat disimpulkan bahwa seorang bhikkhu yang menerima daging yang berasal dari hewan yang sengaja dibunuh untuk dipersembahkan kepadanya, dia melakukan pelanggaran dukkaṭa.

Namun demikian, seorang bhikkhu yang menerima uang [emas dan perak] dengan tangannya sendiri atau membuat orang lain menerima uang untuknya, atau menyetujuinya diletakkan di dekatnya atau disimpan untuknya, dia telah melakukan pelanggaran  Nissaggiya Pācittiya.

Berdasarkan kitab Vibhaṅga dan komentarnya, pelanggaran dibagi menjadi 7 tingkatan:

1.       Pārājika āpatti = pelanggaran dengan akibat gugur dari kebhikkhuan.

2.       Saṅghādisesa āpatti = pelanggaran yang mengakibatkan pertemuan formal dari Sangha.

3.       Thullaccaya āpatti = pelanggaran yang signifikan.

4.       Pācittiya āpatti = pelanggaran yang mengakibatkan seorang bhikkhu harus melakukan pengakuan kesalahan dengan didahului pelepasan barang/benda yang terkait (NissaggiyaPācittiya) dan hanya melakukan pengakuan kesalahan (Suddha Pācittiya).

5.       Pāṭidesanīya āpatti = pelanggaran  yang mengakibatkan seorang bhikkhu harus menyadari dan melakukan pengakuan kesalahannya.

6.       Dukkaṭa āpatti = pelanggaran berupa tindakan salah.

7.       Dubbhāsita āpatti = pelanggaran berupa ucapan salah.

Selain bobot pelanggaran dalam menerima uang jauh lebih berat daripada menerima daging yang tidak diperbolehkan, pelanggaran penerimaan uang juga memerlukan prosedur istimewa untuk pemulihannya. Bila pelanggaran  Nissaggiya Pācittiya biasa dapat dipulihkan hanya dengan satu orang bhikkhu; tetapi untuk kasus yang berhubungan dengan uang, pemulihannya harus memerlukan empat (4) orang bhikkhu atau Sangha. Maka, akibat karma buruk bagi pendana yang memberikan uang akan jauh lebih besar daripada pendana yang memberikan daging yang tidak diperbolehkan. Untuk mengetahui lebih jelas peraturan tentang uang bagi seorang bhikkhu, silakan baca artikel “Kehidupan Tanpa Uang”.

        Informasi tambahan: barang-barang yang tidak diperbolehkan untuk bhikkhu antara lain: mutiara dan batu-batuan berharga lainnya; tujuh macam biji-bijian atau biji-bijian mentah; wanita atau gadis; budak wanita ataupun laki-laki; kambing, domba, unggas, babi, gajah, sapi, kuda; sawah, ladang, kebun buah-buahan, atau kebun bunga; senjata, racun, alkohol dan zat memabukkan lainnya; serta hal yang berhubungan dengan pornografi dan hiburan. Daging yang tidak diperbolehkan: manusia, gajah, kuda, anjing, ular (termasuk binatang sejenisnya yang berbadan panjang dan tidak berkaki, seperti belut),singa, harimau, macan kumbang/leopard/ panter, beruang, dan hyena.

Semoga penjelasan ini dapat meningkatkan pemahaman yang lebih baik kepada para penyokong apa yang boleh dan tidak boleh diberikan kepada para bhikkhu, dan juga akibat dari tindakan tersebut. Dengan demikian, penyokong akan mendapatkan manfaat dari tindakannya dalam menyokong para bhikkhu/Sangha sesuai dengan yang diharapkan.

[1] Pemulihan dari pelanggaran ini harus didahului dengan melepaskan/menyerahkan barang yang didapat kepada bhikkhu lain (individu atau grup)  dan kemudian disusul dengan pengakuan kesalahan yang dilanggarnya.

[2] Ini seharusnya melepaskan/menyerahkan uang tersebut di hadapan Sangha, bukan kepada Sangha; karena baik bhikkhu ataupun Sangha tidak boleh menyetujui penerimaan emas dan perak (uang).

No comments:

Post a Comment