HIJRAH KE BUDDHISME
"Saya terlanjur mencintainya pak ustadz", ujar Rina dalam dialog panjang via WA semalam. "Bagaimana nanti ibadah saya?Saya bingung pak.Apa ada ayat yang membolehkan pernikahan ini?", lanjutnya.
Ya, itu sebagian dialog
semalam yang kami lakukan.
Ceritanya, Rina ini muslimah. Pacaran dengan Rifan, laki-laki muslim. Sudah lebih 3 tahun hubungan mereka. Pacaran LDR, karena Ifan kerja di Korea. Orang tua Rina belum tahu hubungan mereka.
Nama Ifan sendiri tak terekam dalam memori saya. Mungkin pernah datang konsultasi ke ICRP. Dia nyimpan no WA saya. Karena ternyata, saat semalan nyapa saya, jejak komunikasi tahun berlalu muncul. Misalnya, ia pernah bertanya tentang "Boleh tidak shalat jamaah jarak jauh. Imamnya di Korea,
makmumnya di Indonesia. Pakai headset handphone; tanya dia saat itu. Semalam itu pula saya "interogasi" hal konversi agama yang dia lakukan.
Sebagai teolog, rutin saya menerima konsultasi. Mulai urusan pergulatan iman, pendidikan agama kaum urban, urusan taarruf beda agama, sekaligus advokasi & fasilitasi nikah beda agama. Label penghulu swasta melekat pada saya.
Seingat saya, pergulatan & pencarian kendaraan menuju Tuhan juga rutin saya hadapi. Beberapa non muslim, bule & pribumi pernah saya dampingi. Sharing pemahaman & pengalaman beragama. Sebagian jadi muallaf. Hijrah, melanjutkan dari agama non Islam ke tauhid. Ikrar syahadatain. Saya sering merasakan getaran jiwa non muslim saat baca syahadatain itu. Air matanya tumpah di hadapan saya.
Nah, dalam bentang waktu panjang sebagai konsultan, baru kali seorang muslim hijrah ke Buddhisme. Karena itu semalam saya kepo berat. Pernah ada yang semodel Ifan. Tapi, awalnya non muslim.
David, bule asal Inggris. Sekian tahun bergulat, mencari din al haq (agama yang benar) dalam keyakinannya. Beberapa bulan dialog & diskusi di Indonesia. Ujungnya dia memutuskan jadi Buddhis.
Mengapa Ifan tertarik & memutuskan hijrah ke Buddhisme?Kenapa bukan ke agama non Islam lainnya?Apa yang terjadi?Bagaimana kondisi hatinya setelah ikut Buddhisme?
Ifan berdarah Jawa. Lahir & tumbuh di Jakarta. Orang tuanya muslim yang taat, moderat, disiplin & konsern dengan ibadah & ajaran Islam. Mereka paham agama & pendidikan disiplin. Karena itu Ifan disekolah di sekolah Katolik. Sejak tingkat SMP-SMA di Marsudirini. Sementara adik ceweknya di Santa Ursula. "Adik saya pakai jilbab pasca lulus Ursula pak", kisahnya.
"Saya sering pak ustadz ikut teman2 ke gereja. Ikut ibadah & mendengarkan khutbah para romo", cerita Ifan. Dia pergi bareng teman2nya yang Hindu & Katolik. "Saya nyaman2 saja di sekolah. Mereka menghormati agama saya", katanya.
Ada satu hal yang Ifan terkesan saat mendengar khutbah para romo. "Doa mereka tidak kasar, lembut dan nyaman di hati", kenangnya. "Mereka kalau doa untuk seluruh umat manusia.Tidak rasis, tidak ada benci kaum kafir. Tidak ada doa celaka, sengsara bagi non Katolik", kenangnya. "Mengapa beda dengan umat Islam ya ustadz?"
Hal itu menanamkan tanda tanya besar dalam diri Ifan. Tidak terima, menolak keras. Tapi ia tak kuasa berbuat apa2 selain gejolak hatinya.
Karena tidak mendapat pengajaran agama Islam di sekolah, orang tuanya mendatang ustadz. Bimbel baca al-Qur'an, shalat & ibadah lainnya.
Pengajaran & pendidikan Islam di rumahnya berbekas kuat dalam dirinya. Ifan mampu baca al-Qur'an dengan baik. Shalat 5 waktu pun berjamaah ke masjid.
Waktu terus berjalan.Ifan menjalani hidup sebagai muslim umumnya. Hingga tiba tahun 98, era reformasi politik. Kerusuhan beraroma SARA jadi turning point perjalanan hidupnya. Kerusuhan, penjarahan & pemerkosaan pada etnis tertentu oleh kaum tertentu menghantam jiwanya.
"Saya bertanya tanya ustadz" kenapa rumah atau ruko pada ditulis "muslim" atau ada sajadah di pagar atau ruko itu?". Kenapa kalau non muslim?Kenapa mesti didzalimi oleh umat Islam?Kenapa kebencian itu muncul dari umat Islam?, pergolakan itu menyiksa dirinya.
Pergolakan jiwanya semakin menjadi jadi. Lingkungan sosial, masjid dimana tempat beribadah tambah memperparah. Ia dikepung ceramah, ujaran & taklim hujatan, caci maki & permusuhan. Ifan serasa dikepung ekstremisme. Islam yang ia imani menyesakkan jiwanya. Tak menginspirasi damai & harmonis. Aroma & bau permusuhan & perang kepada non muslim rutin ia dengar. Hujatan kafir & ahli neraka membuatnya tak nyaman & merusak hatinya.
Pengalaman pahit & buruk itu mendorong Ifan mulai memikirkan agama lain. Ia bertekad mencari jalan lain untuk memahami Tuhan, manusia & kehidupan. Ia butuh damai, tentran, sejuk & bahagia.
Jalan awal yang dilirik adalah Hindu. Ifan datang ke pure di Rawamangun. Rutin diskusi isi Veda & mencoba mencari jawaban dengan pandita di sana. Entah bagaimana situasinya, ia tidak memutuskan berlabuh di Hindu.
"Kenapa mas Ifan tidak hijrah ke Katolik yang pernah sampeyan ikuti?", tanya saya. "Saya sudah coba pak ustadz. Tapi, kok saya tak tertarik. Khutbah2 para romo tak berbekas, tidak ngaruh dalam haus jiwa saya", ungkapnya.
Ifan kemudian fokus baca Buddhisme. Ajaran Pancasila Buddha ia dalami. Salah satu ujaran suci Sidharta yang ia pelajari sebagai berikut:
“Jangan terima begitu saja apa yang kamu dengar dari laporan. Jangan terima begitu saja agama. Jangan terima begitu saja suatu pernyataan hanya karena ia ada dalam kitab kamu, atau karena ia sesuai dengan keyakinanmu, atau karena ia adalah kata-kata gurumu. Jadilah lampu yang menerangi dirimu sendiri. Siapa saja yang kini atau nanti setelah aku mati, percaya kepada diri sendiri dan tidak meminta bantuan orang lain selain dirinya sendiri"
Ifan juga merasa nyaman karena Buddhisme adalah jalan hidup nirkekerasan. Ia sumpek dengan ujaran kebencian, rasisme, intoleransi, radikalisme bahkan terorisme yang lantang di masjid & majelis taklim. Ifan jengah menyaksikan petentang petenteng ormas Islam bagai begal & pasukan perusak. Ia tak nyaman dengan gerombolan yang mudah merisak & merusak.
Ifan juga merasa cocok dengan non egoisme, tidak lobha (serakah) dalam hal membentuk penganut & follower dalam Buddhisme. Ia menikmati ujaran santun, lembut & ikhlas dalam Buddhisme. Ia hafal ujaran Buddha:
“Aku tidak ingin mencari murid, tidak ingin berharap dapat membuat orang lain lepas dari janji-janji agama mereka, juga tidak berharap orang lain meninggalkan jalan hidup mereka, tidak berharap dapat membuat anda di jalan yang salah atau membuat anda meninggalkan jalan-jalan yang baik. Tidak sama sekali”.
Bagi Ifan, Buddhisme benar2 universal, rahmatan lil alamin. Dalam amatannya; misi Buddha di dunia ini adalah tidak untuk mengumpulkan pengikut dalam jumlah besar (kuantitas) dengan sekadar meminta mereka merubah identitas agama, tetapi mengajarkan manusia tentang keinginan yang baik untuk mencapai kebahagiaan dan kedamaian batin. Kedua, Buddha tidak menginginkan penganut agama lain berubah identitas. Tujuan Buddha menawarkan cahaya diri agar jadi manusia yang baik, berderma & berdarma.
Ifan terkesima dengan jalan kemulian berunsur 8. Kebaikan & pengabdian kepada manusia. Ia serasa memperoleh cahaya, damai &,tentram sebagaimana Sidharta Gautama memperoleh Bodhisatwa.
No comments:
Post a Comment