Tuesday 21 August 2018

Gods (Dewa)

Gods (Dewa)

Ada seorang pemuda Amerika yang selalu suka menjadi sukarelawan di panti-panti jompo atau di wihara. Sampai pada suatu hari dia berkata kepada temannya bahwa dia ingin menjadi seorang bhikkhu dan bertanya kepadanya bagaimana caranya? Temannya menasihatinya untuk bertanya kepada bhikkhu ketika ia pergi berdana.

Kemudian pemuda itu pergi ke wihara dan berjumpa dengan seorang bhikkhu, yang kebetulan juga berkebangsaan Amerika padahal pada tahun 70-an masih sedikit bhikkhu dari orang berkulit putih.

Bhikkhu ini bertanya ada yang dapat ia bantu dan pemuda itu berkata, “Saya kesini karena ingin berdana dan mau menjadi bhikkhu, bagaimanakah caranya?


Bhikkhu itu tersentak tetapi dia tahu bahwa pemuda itu ikhlas.
Bhikkhu itu kemudian menasihatinya untuk pergi ke Thailand. Disana ada Monastery Internasional yang menerima orang-orang asing untuk berlatih.

Jadi, berangkatlah pemuda ini ke Thailand walaupun dia tidak mempunyai alamat yang jelas dari Monastery itu. Setibanya di lapangan terbang Bangkok, waktu baru menunjukkan jam 2 pagi dan pemuda itu langsung menuju Monastery tersebut dengan menggunakan taksi. Setelah perjalanan yang cukup jauh, sampailah ia di depan Monastery tersebut dan taksi yang ditumpanginya langsung pergi begitu pemuda itu turun.

Ternyata Monestary itu belum buka, semuanya masih gelap gulita karena waktu baru menunjukkan jam 3 lebih dini hari.

Ketika dia mengamati pintunya, tiba-tiba tercium harum wangi. Ia kemudian membalikkan badannya dan melihat seorang bapak tua dengan pakaian adat Thai berdiri di belakangnya.

Bapak itu bertanya dengan bahasa Inggris yang fasih mengenai ada yang bisa ia bantu?

Pemuda ini sangat gembira sekali, karena untuk pertama kalinya di sini dia berjumpa dengan orang yang bisa berbahasa Inggris.

Pemuda ini menjawab, “Saya ke sini mau berdana dan menjadi bhikkhu”. Bapak itu tersenyum dan menjawab, “Hari masih dini, belum ada yang bangun, mari saya antar kamu masuk ke dalam”.
Bapak itu meraba kantongnya mengeluarkan kunci yang sudah usang dan membuka pintu samping monastery itu.

Kemudian dia membawa pemuda itu ke sebuah ruang besar, menghidupkan lampu-lampu di ruang itu. Di sana terdapat patung-patung Buddha dan beberapa lukisan yang kelihatan sudah tua.

Bapak itu menceritakan tentang sejarah lukisan-lukisan yang berada di ruang itu kepada pemuda tersebut dengan bahasa Inggris yang fasih sekali. Tidak terasa subuh sudah sampai, bapak itu berkata pada pemuda itu: “Mari saya antar kamu ke ruang tempat para bhikkhu menerima dana makanan”.

Setelah sampai di sana, bapak itu berkata, “Tunggulah di sini karena kepala biara akan segera keluar”. Setelah berkata demikian bapak itu berjalan keluar.

Begitu kepala biara itu keluar, dia terperanjat melihat pemuda ini. Karena dia tidak bisa berbahasa Inggris, dia segera mencari murid yang berkulit putih lainnya. Pemuda itu menjelaskan bagaimana dia bisa masuk ke wihara dan menunggu di sana.

Kepala biara terperanjat, karena di dalam biara mereka tidak pernah ada bapak seperti yang diceritakan pemuda itu, lagipula hanya kepala biara dan wakilnya yang memiliki kunci pintu samping tersebut.

Kepala biara lebih terperanjat lagi karena pemuda itu tahu sejarah lukisan-lukisan tadi, sementara orang-orang yang bermukim lama di sana saja sudah tidak tahu menahu tentang sejarah itu.

Setelah pemuda itu menjelaskan ciri-ciri khas orang itu, ternyata baju adat itu seperti baju Raja Thailand yang dulu.
Segera mereka membawa pemuda itu untuk melihat sebuah lukisan seseorang.

Pemuda itu berkata: “Ya! Inilah bapak yang menolongku tadi pagi.” Segera mereka mengerti bahwa bapak itu ternyata Raja Thailand dulu yang sudah meninggal dunia dan menjadi Dewa.
Karena keikhlasan dan kesucian hati dari pemuda ini, dewapun menolongnya.

Cerita kedua tentang Dewa adalah dari pengalaman senior saya di Thailand. Pada masa saya dulu, bhikkhu-bhikkhu banyak yang berniat ke India, tempat asal usul agama Buddha. Mereka berjalan dari Thailand ke India, perlu waktu satu tahun. Banyak yang tidak berhasil, atau meninggal karena perjalanan yang berbahaya dalam hutan liar, ataupun tersesat.

Senior saya, seorang bhikkhu yang sangat saleh bercerita tentang pengalamannya. Dia sudah berhasil sampai ke India. Tetapi dalam perjalanan pulangnya sekitar empat hari sebelum mencapai Thailand dia sudah kehabisan tenaga, karena sudah hampir seminggu dia belum menemukan makanan untuk mengisi perutnya.

Akhirnya dia terjatuh di jalan, dan dari kejauhan dia melihat seseorang yang berpakaian rapi dan bersih seperti orang kota yang membawa rantang makanan berjalan ke arahnya.

Orang itu menderma makanannya kepada senior saya itu. Senior saya heran bagaimana orang ini bisa tahu kalau ada bhikkhu yang menunggu dana makanan.
Karena bhikkhu tidak boleh bertanya asal usul makanan dari seorang pemberi, senior saya hanya menerima dan makan makanan itu.

Tetapi begitu dia membuka rantang makanan tersebut, dia terperanjat dengan isi makanannya karena semuanya berisi sayuran yang bagus-bagus adat Thai seperti yang dijual di restoran.

Senior saya tidak tahan untuk tidak bertanya. Sehingga dia berkata kepada orang itu: “Maafkanlah saya untuk bertanya, dari manakah kamu berasal sehingga kamu tahu kalau di sini ada seorang bhikkhu yang sedang menunggu dana makan?” Orang itu hanya tersenyum dan menunjuk ke atas langit.

Cerita lain tentang dewa adalah pengalaman saya sendiri. Sewaktu saya berada di Thailand, sudah biasa seorang bhikkhu berjalan kaki dari suatu tempat ke tempat lain.

Suatu waktu, karena saya berjalan melewati banyak hutan yang tidak ada penduduknya, saya tidak menerima makanan maupun minuman. Sebagai seorang bhikkhu, sudah menjadi peraturan untuk hanya makan atau minum dari pemberian orang, tidak boleh meminta.

Pada saat itu matahari terik sekali dan sudah 2 hari saya berjalan, tidak makan ataupun minum. Kemudian tibalah saya di sebuah desa. Sewaktu saya berjalan di pintu gerbang memasuki desa, dari kejauhan saya sudah melihat ada warung dimana beberapa orang duduk sambil mengobrol.

Saya melihat ada iklan Coca-Cola. Sewaktu saya melewati warung itu, sebagai seorang bhikkhu saya tidak boleh melihat kesana kemari, apalagi meminta minuman kepada mereka, jadi pandangan mata saya tetap menunduk ke bawah.

Mereka sepertinya tidak menghiraukan saya. Kemudian saya berpikir dan berkata dalam hati, kalau benar ada DEWA yang menolong bhikkhu yang baik seperti yang tertulis dalam Sutta Pitaka, tunjukkanlah kepadaku sekarang juga keberadaan dewa itu.

Kemudian saya berusaha berkonsentrasi dengan langkah kaki saya. Sampai kira-kira setelah 9 meter saya berjalan, saya mendengar ada orang berlari-lari ke arah saya dan berteriak dengan bahasa Thai yang artinya persembahan dana makan untuk bhikkhu. Ternyata seorang wanita membawa Coca-Cola untuk saya, kemudian diikuti teman-temannya yang lain.

Setelah menerima dana minuman tersebut, saya duduk di bangku yang ada di tepi jalan dan minum Coca-Cola yang diletakkan disampingku, 9 botol! Dan Saya berpikir, Wah! DEWA benar ada, dan bukan hanya satu, mereka benar-benar mau menunjukkan bahwa DEWA itu ada!

= Ajahn Brahm =

No comments:

Post a Comment