Happiness Starts Within
Oleh: Bhikkhu Sri Pannyavaro Mahathera
Dilihat dalam kacamata Dhamma, "happiness starts within" jika diterjemahkan dengan lebih jeli, lebih tepat adalah kebahagiaan mulai dari dalam. Bukan kita yang memulai, tapi kebahagiaan yang memulai untuk muncul sendiri dari dalam diri kita. Apakah yang membuat kita tidak bahagia? Tidak lain adalah karena adanya ganjalan yang mengganjal di pikiran kita. Selama ada ganjalan di pikiran kita, tidak ada kebahagiaan yang dirasakan. Pada saat ganjalan itu kita eliminir, dilenyapkan, kebahagiaan tidak perlu dicari, tidak perlu ditunggu, kebahagiaan dengan sendirinya akan turun.
Pernah ada yang bertanya. Jika kita mengunjungi Candi Borobudur, biasanya dikenakan Rp 35.000,- sekali masuk. Untuk turis-turis luar negeri bahkan harus membayar Rp 330.000,-. Banyak umat luar negeri berkunjung ke sana, namun mereka harus bayar.
"Bukankah candi itu candi kita? Itu bukan tempat rekreasi, tapi tempat ziarah, tempat untuk puja. Apakah harus membayar?"
Ada yang mengganjal. Tidak nyaman, tidak bahagia, bahkan ada yang marah-marah.
"Memang, kita sebetulnya tidak perlu membayar, seperti saat kita masuk ke Vihara Mendut, tidak perlu bayar. Sebab Candi Borobudur adalah tempat ibadah kita, tempat melakukan puja. Tapi bukankah umat Buddha itu suka berdana? Kita sudah datang, pujabakti, ziarah ke Candi Borobudur, cobalah berdana."
Maka hatinya lega.
Ada baiknya di loket Candi Borobudur itu dibuat tulisan "Domestik Rp 35.000,-", "Foreigner $ 35", "Umat Buddha silahkan berdana yang sebanyak-banyaknya".
Dalam cerita ini, ada yang mengganjal, membuat orang itu marah, jengkel. Pada saat yang mengganjal itu kita ubah, habislah ganjalan itu, tidak ada marah, tidak ada jengkel, tidak ada protes.
Ada seorang ibu merasa risau, galau. Itu adalah ganjalan. Dulu suaminya sangat cakep, yang mana kalau di Jawa itu dikatakan sebagai Arjuna. Tapi sekarang suaminya gemuk, mukanya bulat, perutnya buncit. Ibu ini malu kalau pergi berduaan dengan suaminya. Tidak nyaman, tidak senang ditemani suaminya sehingga timbul kecurigaan suaminya. Wanita itu sampai mengungkapkan kegalauannya. Bagaimana menghilangkan ganjalan itu supaya istrinya bahagia? Apakah suaminya harus operasi besar-besaran? Tentu tidak. Caranya sederhana. Ada seseorang yang memberi nasehat kepada wanita ini.
"Kenapa galau? Perut besar, gemuk, itu hoki besar. Muka bulat dan perut buncit itu seperti angka delapan. Fisik seseorang itu mencerminkan rejeki."
Hilanglah kegalauan itu. Wanita itu pun menggandeng suaminya dengan percaya diri.
Dari cerita ini kita sudah bisa mengambil maknanya, apa yang membuat galau, jengkel, marah, dan ingin menyingkirkan. Tidak ada kebahagiaan, kenyamanan. Ada ganjalan, ada pandangan tertentu yang dipegang, yang membuat menderita. Pikiran kita sendiri yang membuat kita menderita. Kalau kita ubah, kita akan bahagia. Pikiran itu adalah sumber penderitaan, juga sumber kebahagiaan.
Ada seseorang yang tinggal jauh, tidak tinggal di kota itu. Ia memiliki pilihan calon pilkada, namun pilihannya kalah. Padahal dia bukan pnduduk kota itu. Ia marah, tidak senang, sampai tidak bisa tidur.
Bahkan saat tidur pun bermimpi bahwa calon pilihannya menang. Tidak semua keinginan bisa tercapai. Orang ini sampai kirim kembang. Sebenarnya kepada siapa, untuk siapa ia mengirim kembang? Sebetulnya ia kirim untuk kepuasan pikirannya sendiri, bukan untuk calonnya yang kalah itu. Kenapa? Sebab pikirannya tidak bisa menerima, sulit melepas.
Temannya pun mengatakan, "Jika dia kalah, mungkin saja nanti ia bisa menjadi menteri."
Ia langsung senang, ganjalannya pun hilang. Padahal temannya itu hanya mengatakan "mungkin". Sekali lagi, selama ada ganjalan, kita tidak akan bahagia. Buanglah ganjalan itu.
Hidup ini adalah permainan pikiran kita, kalau kita bisa adjust, mengubah pikiran, kita akan bahagia. Pikiran itu sumber penderitaan, juga sumber kebahagiaan. Siapakah musuh paling hebat, paling kejam, yang mengikuti sampai kita tidur? Pikiran kita. Siapakah sahabat paling setia, ke mana pun pergi, ia akan ikut? Pikiran kita. Kebahagiaan akan mulai tumbuh dari dalam diri. Apapun terjadi di luar, jika kita bisa mengelola pikiran, kenapa tidak bahagia? Tugas kita untuk kita sendiri adalah bagaiman me-manage pikiran kita.
Ada seorang raja yang matanya sakit. Dikatakan matanya akan pulih kalau sering-sering melihat yang hijau-hijau. Ia pun memerintahkan agar semua dibuat hijau, karpet hijau, furniture hijau, dinding hijau. Penasehat raja pun bertanya, mengapa demikian? Sang raja menjawab karena dengan melihat yang hijau-hijau, matanya akan pulih, kembali sehat. Penasehatnya kembali bertanya, kenapa tidak menggunakan kacamata hijau saja? Dengan demikian, semuanya yang terlihat akan menjadi hijau.
Apa pesan cerita ini? Mari kita mengubah diri kita dulu, jangan mengubah yang di luar supaya cocok dengan selera kita. Selera kita tidak akan mengenal puas. Kita bisa mengubah yang di luar, dengan niat baik, tapi tidak semua bisa kita ubah yang di luar itu. Di saat kita sudah mentok, ketika kita tidak bisa mengubah yang di dalam, kita akan kecewa.
Bagaimana mengubah pikiran kita? Dengan meditasi. Ada 2 macam manfaat, memberikan ketenangan, dan memperkuat kesadaran kita untuk menerima segala sesuatu sebagaimana adanya.
Meditasi samatha itu sama dengan kita memegang kain, beratnya ringan. Tapi kalau sedang dipegang semakin lama, benda yang ringan akan terasa sangat berat. Tangan akan sakit. Letakkanlah sebentar. Rileks. Ketika rasa sakit hilang, kemudian ambil lagi. Kehidupan kita seperti membawa beban itu, tapi kita pegang terus, kita bawa-bawa sampai mimpi. Lepaskanlah sejenak, meditasilah. Kita akan rileks. Itulah samatha. Memberikan ketenangan dan semangat yang baru.
Vipassana seperti kita ditanya dan menjawab. Kalau kita menyadari apa yang kita lakukan, itulah vipassana. Kalau kita tidak tahu sekarang sedang apa, pikiran kita akan jalan terus. Ketika kita menyadari kita sedang apa, itulah vipassana.
Selera yang tidak bisa menerima, itulah sebab penderitaan. Kalau kita menyadari selera itu, membuang selera itu, apakah ditipu, dicarikan alasan, atau dengan meditasi, kalau selera mengganjal itu bisa hilang itulah kebahagiaan. Lenyapnya itu ada di dalam diri kita, bukan di buku-buku Dhamma. Marilah kita mengubah ke dalam, karena dengan demikian, kebahagiaan akan mulai muncul.
No comments:
Post a Comment