Friday 12 May 2017

Buddha Difitnah Oleh Seorang Petapa Pengembara Perempuan Bernama Cincamànavikà

Buddha Difitnah Oleh Seorang Petapa Pengembara Perempuan Bernama Cincamànavikà

Seperti telah disebutkan sebelumnya, Tathàgata, setelah membebaskan lima ratus siswa Yang Mulia Sàriputta dan tiga puluh crore (300.000.000) dewa dan manusia melalui penembusan Empat Kebenaran Mulia, melakukan perjalanan ke Sàvatthi dan berdiam di Vihàra Jetavana dan melanjutkan tugas-Nya membabarkan Dhamma kepada makhluk-makhluk berakal budi yang datang ke sana.
Pada waktu itu, seorang petapa pengembara perempuan yang licik bernama Cincamànavikà
melakukan fitnahan keji terhadap Buddha. Berikut ini adalah kisah sehubungan dengan peristiwa pemfitnahan tersebut. Jumlah siswa Tathàgata melambung tinggi, bagaikan ombak, selama dua puluh tahun pertama masa pengajaran-Nya, yang disebut Pañhama Bodhi atau Periode Pertama Pencerahan Sempurna. Dan jumlah manusia, dewa, dan brahmà yang berhasil mencapai Empat Tingkat Buah (Ariya bhumi) juga semakin lama semakin meningkat; keagungan Tathàgata seperti Araham menjulang tinggi mencapai atap dunia; jumlah persembahan kepada Tathàgata dan Sangha bertambah begitu banyak sedangkan kekuasaan aliran-aliran lain meredup dan persembahan kepada mereka berkurang hingga mencapai titik terendah bagaikan kerlip kunang-kunang yang lenyap ditelan sinar matahari pagi.
Para penganut pandangan salah berdiri di persimpangan jalan dan mencoba untuk membujuk para penduduk agar berdana kepada mereka, dengan berkata:
“Umat-umat awam… Bhikkhu Gotama bukanlah satu-satunya orang yang telah mencapai Kebuddhaan; kami juga telah mecapai Kebuddhaan! Apakah jasa hanya diperoleh dengan memberi dàna kepada Petapa Gotama saja? Kalian juga akan memperoleh jasa dengan memberi dàna kepada kami. Karena itu, kalian harus memberi dàna kepada kami juga.”
Seruan mereka tidak berhasil, dan oleh karena itu mereka mengadakan pertemuan rahasia “merencanakan cara untuk memfitnah Gotama, sehingga para penduduk tidak lagi berdana kepada Petapa Gotama karena tidak adanya penghormatan dan penghargaan.”
Pada waktu itu, di Sàvatthi, ada seorang petapa pengembara perempuan bernama Cincamànavika. Ia diberi nama demikian karena terlahir dari pohon asam; demikianlah ia dikenal dengan sebutan ‘gadis yang dikandung oleh pohon asam, Cincamànavikà.’ Disebutkan bahwa ia sangat cantik bagaikan seorang bidadari surga dan tubuhnya memancarkan sinar yang mengelilingi tubuhnya.
Dalam pertemuan itu, seorang petapa yang jahat dan bodoh mengajukan rencana untuk memfitnah Tathàgata dan menghancurkannya dengan menggunakan Cincamànavikà sebagai alat untuk mencapai tujuan mereka. Rencana itu disetujui dan diterima sebagai suatu alat yang efektif untuk memotong aliran persembahan kepada Petapa Gotama.
Ketika si petapa pengembara perempuan, Cincamànavikà mengunjungi tempat mereka dan berdiri di hadapan mereka memberi hormat, ia diabaikan oleh para petapa itu. Ia merasa cemas memikirkan apa yang akan terjadi kepadanya. Ia berkata kepada mereka, “Tuan,… aku memberi hormat tiga kali kepada kalian, apakah kesalahanku dan pelanggaran apa yang kulakukan? Mengapa kalian diam saja?”
Mereka menjawab, “Adik Cincamànavikà… tidak tahukan engkau bahwa Petapa Gotama telah berkeliling dan mencelakakan kita dengan menghilangkan persembahan kepada kita?”
Selanjutnya, Cincamànavikà berkata, “Aku tidak mengetahui hal ini; apa yang dapat kulakukan untuk kalian mengenai hal ini?” Mereka menjawab dengan singkat, “Cincamànavikà… jika engkau memikirkan kesejahteraan kami, engkau harus memfitnah Petapa Gotama dangan menggunakan kecantikanmu sebagai alat untuk menghancurkan kemasyhuran, kehormatan-Nya serta persembahan yang Ia terima.” Demikianlah ia diberi tugas melaksanakan perkerjaan kotor itu.

Rencana Licik Cincamànavikà

Cincamànavikà berjanji, “Baiklah, Tuanku… kalian boleh percaya bahwa aku akan melaksaanakan tugas yang dibebankan kepadaku. Jangan kalian mengkhawatirkan masalah ini lagi,” dan meninggalkan taman tempat para petapa itu. Kemudian ia mulai menjalani siasatnya. Ia memakai pakaian berwarna merah bagaikan kumbang merah dan berjalan menuju Vihàra Jetavana, dengan seikat bunga di tangannya, saat orang-orang keluar dari Vihàra Jetavana setelah mendengarkan khotbah. Orang-orang bertanya, “Hendak ke manakah engkau?,” ia menjawab “Apa yang akan engkau peroleh dengan mengetahui tempat tujuanku?” Membuat orang-orang curiga kepadanya. Sebenarnya ia mendatangi taman tempat para petapa berpandangan salah itu yang berdekatan dengan Vihàra Jetavana dan bermalam di sana. Pada saat orang-orang keluar dari Kota Sàvatthi untuk memberi hormat kepada Tathàgata, ia bersikap seolah-olah ia bermalam di Vihàra Jetavana dan sedang berjalan pulang ke Sàvatthi. Ketika ditanya di mana ia bermalam, ia memberikan jawaban yang serupa, “Apa untungnya engkau mengetahui di mana aku bermalam tadi malam?” untuk membangkitkan kecurigaan orang-orang itu.
Ia terus melakukan hal yang sama setiap hari. Setelah berlalu satu setengah bulan, ia mulai melancarkan serangannya dengan mengatakan, “Aku melewatkan malam bersama Petapa Gotama di dalam Kuti Harum-Nya.” Kata-katanya menyebabkan orang-orang biasa bertanya-tanya apakah ia mengatakan yang sebenarnya. Tiga atau empat bulan kemudian, ia mulai bersikap seolah-olah ia hamil dengan mengikatkan kain-kain ke dadanya dan mengenakan baju merah. Dan ia mulai menyebarkan berita bahwa ia dihamili oleh Petapa Gotama, sebuah tuduhan yang secara keliru dipercayai oleh orang-orang yang tidak bijaksana.

Tuduhan Keji di Depan Empat Kelompok Pendengar

Setelah berlalu delapan atau sembilan bulan, Cincamànavikà mengikat sebuah kepingan kayu yang berbentuk setengah telur di bagian perutnya dan memakai pakaian merah, meniru seorang perempuan hamil. Ia mengetuk-ngetukkan tangan dan kakinya menggunakan tulang jari sapi seperti seorang ibu yang letih menunggu kelahiran bayinya. Kemudian pada suatu malam ia berjalan menuju tempat di mana Tathàgata sedang duduk di atas singgasana Dhamma dan membabarkan Dhamma kepada empat jenis pendengar. Ia berdiri di depan Tathàgata dan mengucapkan tuduhan berikut:
“Petapa besar… Engkau dengan tenang berkhotbah kepada orang-orang ini dengan bibir terkatup. Sedangkan aku, aku sebentar lagi akan menjadi ibu karena bergaul dengan-Mu. Engkau sampai hati tidak melakukan persiapan menjelang kelahiran atau mengumpulkan minyak keju. Jika Engkau begitu tidak peduli akan hal-hal seperti itu, Engkau harus menyuruh Raja Kosala, atau Anàthapindika, atau Visakhà, penyumbang vihàra agar melakukan hal-hal yang kuperlukan. Engkau tidak bertanggung jawab dan tidak mempunyai perasaan, tetapi Engkau tahu bagaimana menyenangkan diri-Mu dengan kenikmatan indria.”
Demikianlah Cincamànavikà melancarkan tuduhan keji terhadap Tathàgata di hadapan kerumunan besar itu bagaikan seorang perempuan dungu yang mencoba menghancurkan bulan dengan seonggok kotoran di tangannya! Kemudian, Tathàgata menunda khotbah-Nya dan bagaikan seekor raja singa, membantah tuduhan itu dengan suara lantang:
“Saudari Cincamànavikà… hanya engkau dan Aku yang tahu apakah yang engkau katakan itu benar atau salah.”
Cincamànavikà tidak menyerah… ia melancarkan serangan berikutnya dengan kata-kata, “Benar sekali, Petapa Besar… ini adalah masalah antara Engkau dan aku saja—kehamilanku ini.”

Sakka Turun dan Memecahkan Masalah

Pada saat itu, singgasana zamrud Sakka mulai menghangat yang membuat Sakka segera menyelidiki apa penyebabnya; Sakka melihat bahwa “Cincamànavikà telah melancarkan tuduhan keji terhadap Tathàgata.” Ia berpikir, “Aku akan pergi dan memecahkan persoalan itu di depan kerumunan orang-orang itu,” ia turun disertai oleh empat dewa ke tempat di mana Tathàgata sedang menyampaikan khotbah. Empat dewa itu mengubah diri mereka menjadi empat tikus dan menggigit tali pengikat potongan kayu itu sampai putus, dan saat angin meniup baju Cincamànavikà ke atas, potongan kayu itu jatnh menimpa sepuluh jari kakinya dan melukainya dengan parah.

Cincamànavikà Ditelan Bumi

Semua hadirin di sana marah dan mengutuknya; sambil membawa batu, tongkat dan tombak, mereka menariknya keluar dari kawasan vihàra. Begitu ia lenyap dari pandangan Tathàgata, bumi terbelah menjadi dua menelan tubuhnya. Ia segera dibungkus oleh lidah-lidah api Avici yang menelannya masuk ke dalam dasar neraka terbesar, Mahà Avici.
Ketika orang-orang melihat para petapa penganut pandangan salah dalam warna sebenarnya, mereka semakin mengurangi persembahan kepada mereka, sedangkan persembahan kepada Tathàgata semakin berkembang tidak terbatas.

Membabarkan Mahà Paduma Jàtaka

No comments:

Post a Comment