Sumber
: Mattakundalini Vimana, Vimanavattu, bagian dari Tipittaka
Waktu itu Sang Buddha sedang tinggal di hutan Jeta, di daerah
Savathi. Di daerah itu ada seorang Brahmana ( Pendeta atau keturunan
pendeta ) yang kaya, tapi pelitnya minta ampun. Brahmana ini tidak
pernah memberikan sumbangan apapun kepada siapapun. Sehingga
masyarakat menjulukinya “ Si Pelit “
Bahkan untuk kebutuhan keluarganya sendiri, kalau bisa dibuat atau
dikerjakan sendiri, tidak perlu membeli. Misalnya untuk perhiasan
istrinya, dibuat sendiri, kalau sakit obatnya diramu sendiri. Bukan
cuma itu, sebisa mungkin tamu yang datang juga hanya boleh sampai di
teras, kalau bisa jangan sampai masuk ke dalam rumah. Supaya para
tamu tidak melihat harta bendanya, takut kecolongan.
Orang ini punya anak yang bernama Mattakundalin. Anaknya ini
dilarang mendekati Buddha dan muridNya., karena ayahnya khawatir
kalau anaknya memberi persembahan pada Buddha, bisa-bisa menguras
harta keluarga.
Suatu hari anaknya jatuh sakit. Si Brahmana mencoba mengobati
sendiri, tetapi penyakit anaknya malah bertambah parah. Akhirnya
Brahmana ini terpaksa memanggil dokter, setelah diperiksa dokter
mengatakan bahwa anaknya akan meninggal.
Kemudian Brahmana ini meletakkan anaknya di teras dengan harapan ada
yang bisa menolong, dan jika ada yang menolong atau menjenguk, orang
itu tidak perlu sampai masuk ke dalam rumah ( dasar orang gila !
).
Pada pagi hari, Sang Buddha sedang
bermeditasi mengamati dengan mata batin, siapa yang bisa ditolong
pada hari itu. Tampak ayah dan anak itu dengan segala persoalannya,
dan Beliau melihat bahwa mereka bisa ditolong. ( Sudah
merupakan kegiatan harian Buddha. Di pagi hari buta, Beliau mencari
tahu – dengan mata batin - siapa saja yang bisa ditolong pada hari
itu. Yaitu mahluk-mahluk yang karma baiknya memungkinkan. Sungguh
suatu keberuntungan yang luar biasa besar untuk bisa diselamatkan
langsung oleh Buddha, dan ini membutuhkan karma baik yang luar biasa
besar pula.)
Kemudian Buddha berjalan menuju rumah anak itu, dan berdiri di dekat
rumahnya. Anak itu sedang berbaring sekarat. Ia tidak melihat Buddha
karena kepalanya menghadap ke arah lain. Untuk menarik perhatiannya
Buddha menggunakan kesaktian. Tubuh Beliau mengeluarkan cahaya yang
sangat terang. Anak itu melihat cahaya ini, kemudian ia menoleh untuk
mencari tahu darimana asal cahaya.
Ketika melihat cahaya itu berasal dari tubuh Buddha, ia merasa
senang. Anak itu berpikir bahwa yang berdiri di dekatnya pastilah
orang suci. Muncul keyakinan dalam dirinya bahwa memang benar Beliau
orang suci. Sambil berbaring, anak itu memberi hormat dengan
merangkapkan kedua telapak tangannya.
Setelah menyelesaikan tugasNya
( menanamkan keyakinan pada anak itu, yang menjadi modal
untuk kebahagiaannya di masa datang ),
Buddha melangkah pergi.
Tak lama kemudian, anak itu
meninggal, dan muncul kembali sebagai dewa di surga Tavatimsa ( surga
tingkat 2 ). Di sana ia tinggal di sebuah istana ( tidak
perlu diceritakan lagi kalau bangunannya besar dan indah ).
Dewa baru itu melihat ( bekas) ayahnya sedang menangis di tempat
pembakaran jenazah. Ia mau menolong ayahnya. Pertama, ia mau
menghilangkan kesedihan ayahnya, kedua, ia mau ayahnya memiliki
keyakinan pada Buddha.
Kemudian dewa muda itu turun ke alam manusia dan berubah wujud
menjadi pemuda ( yang sebaya pada waktu dia meninggal ). Dia muncul
di dekat ayahnya. Kemudian dia (bersandiwara) menangis sambil meratap
“ oh bulan, oh matahari.”. Ayahnya terkejut karena seingatnya ia
cuma sendirian disana. Sejak kapan orang ini ada di dekatnya ? Begitu
pikirnya.
Kemudian Brahmana ini bertanya :
Brahmana ( B) : “ Anak muda, kenapa sedih ? “
Dewa ( D ) : “ Saya punya kereta mewah, tapi rodanya hilang.
Saya sedih sekali. Rasanya mau mati saja. “
(B) : “ Tenang. Saya orang kaya.
Biar roda keretamu terbuat dari emas sekalipun. Bisa saya belikan.
Jangan sedih. “ ( Aneh, dia kan pelit, kenapa bisa jadi
baik ? Mungkin karena dia sudah merasakan sedihnya kehilangan.
Sekarang jadi bisa lebih bisa ber-empati )
(D) : “ Tapi rodanya harus sebesar bulan atau matahari. “
(B) : “ Dasar gila ! Ya udah mendingan kamu mati saja. ! “
(D) : “ Mana yang lebih gila ? Saya menangisi yang masih ada (
bulan dan matahari ) atau bapak yang menangisi yang sudah tidak ada (
anaknya yang meninggal ).
Mendengar
ini, kesedihan si Brahmana berangsur-angsur menghilang.
(B)
: “ Siapakah anda sebenarnya ? “ (
Si Brahmana sadar bahwa anak muda ini bukan orang biasa )
(D) : “ Saya adalah anak bapak yang mayatnya baru saja bapak bakar.
Sekaranag saya jadi dewa di surga Tavatimsa. “
(B) : “ Tapi keluarga kita belum pernah melakukan perbuatan baik.
Belum pernah menyumbang, belum pernah berpuasa atau yang semacam itu.
Apa sebabnya kamu bisa menjadi dewa ? “
( Nah, ini fenomena menarik, orang pelit atau yang jahat
sekalipun, ada yang hapal teori kebaikan. Kalau di sekolah ulangan
agamanya dapat 100. Tapi kenapa dia masih pelit atau jahat ? Karena
kebaikan yang dia tahu cuma sebatas teori. Belum disadari.)
(D) : “ Sesaat sebelum meninggal. Saya melihat Buddha, kemudian
saya memiliki keyakinan pada Beliau ( Bahwa Beliau benar orang suci
). Lalu sya memberi hormat pada Buddha dengan merangkapkan kedua
telapak tangan. Itulah sebabnya saya bisa menjadi dewa.. “
(
Menurut Tripitaka, para dewa pada umumnya punya kemampuan untuk
mencari tahu perbuatan baik apa yang menyebabkan mereka bisa menjadi
dewa. Beda dengan manusia, pada umumnya tidak tahu kenapa mereka
terlahir di keluarga kaya / miskin, kenapa terlahir bahagia /
menderita )
(B) : “ Sungguh luar biasa ! Cuma begitu saja bisa jadi dewa (
masuk surga ). Bapak juga mau. “
Akhirnya brahmana ini menyatakan diri sebagai pengikut Buddha (
Masuk agama Buddha)
--------------===============--------------
Catatan :
Di kitab Vimanavattu, cerita berakhir sampai disini, tapi di kitab
lain cerita ini masih ada kelanjutannya. Tapi sayangnya saya lupa ada
di kitab mana dan cerita persisnya bagaimana ^_^
Seingat saya, kira-kira seperti ini :
“.............Ketika Buddha sedang berkhotbah, Beliau menyinggung
tentang Mattakundalin, anak brahmana yang bapaknya pelit, sekarang
sudah masuk surga. Para hadirin pun jadi heboh. Mereka
bertanya-tanya, perbuatan baik apa yang pernah dilakukannya ?
Kemudian Sang Buddha mengundang dewa Mattakundalin untuk datang di
depan hadirin. Dewa ini muncul dalam wujud aslinya, sangat ganteng
dan bersinar. Kemudian Buddha meminta dewa ini untuk
bersaksi..............( dan seterusnya).....”
No comments:
Post a Comment