Sunday, 2 August 2020

Ambapāli, Wanita Penghibur yang Menjadi Arahāt

Ambapāli, Wanita Penghibur yang Menjadi Arahāt

Pada masa Buddha Gotama, ada seorang wanita penghibur di Vesālī yang menjadi siswa Buddha. Konon, ia terlahir secara spontan (opapātika). Pada suatu hari, tukang kebun yang bekerja pada seorang penguasa Licchavī di Vesālī menemukan seorang bayi perempuan yang tergeletak di kaki sebatang pohon mangga di taman milik raja. Ia lalu membawa bayi itu ke kota. Berdasarkan kelahirannya, bayi perempuan itu diberi nama Ambapālī—yang berasal dari kata “amba” yang berarti “mangga” dan “pāli” yang berarti “garis”.


Ketika beranjak dewasa, ia menjadi wanita dengan kecantikan dan keanggunan yang luar biasa. Banyak pangeran muda Licchavī bersaing untuk menikahinya, yang akhirnya menyebabkan banyak pertengkaran dan pertikaian karena setiap orang mendambakannya untuk dirinya sendiri. Setelah melalui perembukan panjang untuk mengakhiri pertikaian, akhirnya mereka memutuskan bahwa Ambapālī tidak boleh dimiliki siapa pun juga; mereka mengangkat Ambapālī sebagai wanita penghibur.

Ambapālī memiliki watak yang baik; ia mendanakan banyak sekali uang untuk kegiatan amal. Ia juga memberikan pengaruh yang meneduhkan dan bajik terhadap para pangeran Licchavī itu.

Karena itulah, boleh dikatakan ia adalah ratu tanpa mahkota di dalam republik kaum Licchavī itu. Dalam kehidupannya yang silam, semasa Buddha Phussa, Ambapālī terlahir sebagai putri dari sebuah keluarga kesatria dan pernah melakukan banyak kebajikan, yang membuahkan kerupawanan dalam kehidupannya sesudah itu. Dalam masa Buddha Sikhī, ia memasuki Persamuhan Bhikkhunī. Suatu hari, tatkala ia turut serta dalam prosesi para bhikkhunī untuk memberi sembah hormat di sebuah cetiya, seorang bhikkhunī Arahā yang berada di depannya meludah di halaman cetiya itu dengan terburu-buru. Karena ia tengah berjalan perlahan dalam barisan itu, ia melihat ludah itu. Tanpa menyadari siapa yang telah meludah, ia serta merta mengejek: “Orang yang meludah ini benar-benar seorang pelacur!” Sebagai akibat ejekan itu, ia terlahir di neraka, dan kemudian terlahir kembali sebagai wanita penghibur selama sepuluh ribu kali sampai kelahirannya yang terakhir.

Kecantikan Ambapālī terkenal ke segala penjuru; dan karena dirinyalah Vesālī menjadi sangat makmur. Mengetahui hal ini, Raja Bimbisāra di Magadha berpendapat bahwa Rājagaha pun perlu disemarakkan oleh seorang wanita penghibur yang cantik.

Seorang gadis belia yang bernama Sālavatī lalu diangkat sebagai gadis penghibur oleh raja untuk menciptakan daya tarik yang sama. Suatu ketika, Raja Bimbisāra bertemu dengan Ambapālī secara pribadi; seperti kaum pria lainnya, ia terpukau oleh kecantikan Ambapālī dan menikmati kesenangan yang bisa diberikannya. Karena hubungan ini, ia mengandung dan melahirkan seorang bayi laki-laki yang diberi nama Vimala Kondañña.

Beberapa waktu kemudian, setelah tinggal di Desa Nādika selama yang dikehendaki-Nya, Bhagavā menempuh perjalanan ke Vesālī bersama sejumlah besar bhikkhu dan tinggal di hutan mangga milik Ambapālī. Karena mengantisipasi bahwa Ambapālī akan mengunjungi-Nya Bhagavā meminta para bhikkhu muda yang mengiringi-Nya untuk berdiam dalam perhatian murni dan pemahaman jernih; Ia mengajarkan mereka Keempat Landasan Perhatian Murni (Cattāro Satipaṭṭhānā).

Tatkala si wanita penghibur, Ambapālī, mendengar bahwa Bhagavā telah tiba di Vesālī dan tengah tinggal di dalam hutan mangga miliknya, ia menyiapkan sejumlah keretanya yang indah. Ia naik ke dalam salah satu kereta itu dan keluar dari Vesālī menuju ke hutan mangga miliknya. Setelah rombongan kereta itu sampai sejauh yang dimungkinkan, ia turun dan pergi menjumpai Bhagavā dengan berjalan. Ia memberi sembah hormat pada-Nya dan duduk di tempat yang sesuai.

Bhagavā kemudian mengilhaminya dengan manfaat Dhamma, membimbing dirinya dalam praktik Dhamma, serta mendorong, memberi semangat, dan membuatnya bahagia dalam praktik Dhamma. Pada akhir pembabaran itu ia sungguh terkesan dan bersukacita terhadap Dhamma, lalu mengundang Bhagavā: “Bhante, semoga Bhante bersedia menerima undangan saya untuk menerima dana makanan esok pagi bersama dengan Bhikkhu Saṅgha.” Bhagavā menerima undangannya dengan berdiam diri. Ambapālī bangkit dari duduknya, dan setelah memberi sembah hormat pada-Nya, ia pergi sambil menjaga agar Beliau tetap berada di sisi kanannya.

Setelah malam berlalu, Ambapālī sudah menyiapkan pelbagai jenis makanan lezat yang disajikan di hutan mangganya.

Ia lalu mengabarkan: “Waktunya sudah tiba, Bhante. Makanan telah siap.”

Diiringi para bhikkhu, Bhagavā menuju ke rumah Ambapālī; mereka duduk di tempat yang telah disediakan bagi mereka. Ambapālī melayani Bhagavā dan para bhikkhu, dengan mempersembahkan makanan lezat secara pribadi. Seusai jamuan itu, Ambapālī duduk di tempat yang rendah di satu sisi dan berkata: “Bhante, saya persembahkan hutan mangga ini kepada Bhikkhu Saṅgha yang dipimpin oleh Bhagavā.” Bhagavā menerima persembahan hutan mangga itu, dan setelah membabarkan Dhamma kepadanya, Ia bangkit dari duduk-Nya dan meninggalkan tempat itu.

Ketika Vimala Kondañña, putra dari Ambapālī dan Raja Bimbisāra, beranjak dewasa, ia pernah bertemu dengan Bhagavā dan terkesan dengan keagungan-Nya. Ia lalu memasuki Persamuhan dan mencapai tataran Arahatta tak lama sesudahnya. Suatu hari, mendengar putranya membabarkan Dhamma, Ambapālī meninggalkan keduniawian. Setelah memasuki Persamuhan Bhikkhunī, ia berlatih meditasi pandangan cerah dengan tekun. Ia mengambil tubuhnya yang tengah menua sebagai objek meditasi, dan merenungkan keselaluberubahan serta kerentanan tubuh terhadap penderitaan. Dengan melakukan hal ini, ia mencapai pandangan cerah, yang secara bertahap semakin mendalam, terhadap sifat kehidupan ini. Segera sesudah itu, ia mencapai tataran Arahatta.

Berkat latihan meditasi dengan tekun, Ambapālī memperoleh pengetahuan ingatan terhadap kehidupan lampau. Ia melihat bahwa dalam kehidupannya yang lampau, ia sering kali terlahir sebagai wanita cantik, namun kecantikan jasmaninya selalu memudar dan hancur oleh penuaan dan kematian. Sekarang, dalam kehidupannya yang terakhir, ia telah mencapai kecantikan yang tak akan pernah pudar, yaitu Nibbāna, dan ia menyatakan bahwa ia adalah “Putri Sejati Buddha”.

Dikutip dari
Kronologi Hidup Buddha
Ashin Kusaladhamma

No comments:

Post a Comment