Friday 7 August 2020

Āḷavaka, Si Yakkha Pemberang. Bag. 2/2

Āḷavaka, Si Yakkha Pemberang. Bag. 2/2

Setelah gagal berkali-kali, ia memutuskan untuk menyerang dengan meluncurkan senjatanya yang paling mematikan, yaitu mantel putih sakti (dussāvudha). Seraya melayang-layang di sekitar Bhagavā, ia melontarkan senjatanya ke arah Bhagavā. Senjata itu menimbulkan bunyi yang menakutkan di udara laksana senjata halilintar Dewa Indra; senjata itu menimbulkan asap dan bara api yang besar.


Mantel itu terbang ke arah Bhagavā. Namun sebelum menyentuh diri-Nya, senjata maut itu berubah menjadi keset kaki dan terkulai di kaki Bhagavā. Banyak makhluk surgawi yang tengah berkumpul menyaksikan pertarungan itu bersorai gembira, sementara Āḷavaka merasa bahwa ia telah kehilangan semua harga dirinya.

Āḷavaka lalu merenungkan mengapa Bhagavā tak bisa terkalahkan. Ia akhirnya menyadari bahwa ini adalah berkat kekuatan cinta kasih-Nya yang tanpa batas (mettā). Ia berpikir bahwa hanya jika ia mampu membuat Bhagavā marah dan kehilangan kesabaran, maka ia akan mampu mengalahkan-Nya. Karena itulah ia mendekati Bhagavā dan memberi perintah: “Keluarlah Engkau, Bhikkhu!” Bhagavā menerima perintahnya dan menjawab lembut: “Baiklah, Sahabat,” lalu keluar.

“Masuklah Engkau, Bhikkhu!” perintah Āḷavaka. “Baiklah, Sahabat,” Bhagavā masuk kembali.

Āḷavaka berpikir: “Alangkah mudahnya memerintah Bhikkhu Gotama ini. Mengapa aku harus menyerangnya sepanjang malam? Nah, akan kubuat Ia letih dengan cara ini sepanjang malam, dan setelah itu akan kulemparkan Ia keluar.” Demikianlah, hati Āḷavaka mulai melunak. Karena itu ia memberikan perintahnya yang kedua pada Bhagavā: “Keluarlah Engkau, Bhikkhu!” Bhagavā keluar dan berkata: “Baiklah, Sahabat.”

“Masuklah Engkau, Bhikkhu!” perintah Āḷavaka kembali. “Baiklah, Sahabat,” Bhagavā masuk kembali.

Yang Terberkahi memahami fenomena alami bahwa permusuhan tidak dapat diredakan dengan permusuhan, namun dengan kelemahlembutan. Seperti halnya anak kecil yang nakal dan menangis akan menjadi tenang ketika permintaannya terkabulkan, demikian pula dengan kesabaran mendalam Bhagavā menaklukkan sang yakkha dengan mengikuti perintahnya. Dan malahan, hati Āḷavaka menjadi semakin lunak.

Lalu, tatkala Āḷavaka kembali memberikan perintah untuk yang keempat kalinya: “Keluarlah Engkau, Bhikkhu!” Bhagavā menjawab: “Sahabat, Saya tak akan keluar. Engkau boleh berbuat sesuka hatimu.”

“O Bhikkhu Agung Gotama, aku akan lontarkan beberapa pertanyaan kepada-Mu. Jika Engkau tak mampu menjawabnya dengan baik, akan kubuat Engkau menjadi gila, atau kurobek hati-Mu, atau kucengkeram kaki-Mu dan kulemparkan diri-Mu ke Sungai Gaṅgā.”

Orangtua Āḷavaka telah mempelajari delapan tanya-jawab dari Buddha Kassapa yang mereka puja. Mereka mengajarkan semua tanya-jawab ini kepada Āḷavaka ketika ia masih kecil.

Seiring berlalunya waktu, Āḷavaka lupa terhadap semua jawabannya, namun ia telah menuliskan semua pertanyaan itu pada sehelai daun emas dengan cat merah, yang disimpan di dalam wismanya.

Bhagavā berkata: “Sahabat Āḷavaka, di seluruh jagat raya ini, termasuk dunia para makhluk surgawi, seperti para dewa, māra, dan brahmā, Saya tak melihat seorang pun yang mampu membuat Saya menjadi gila, atau merobek hati Saya, atau mencengkeram kaki Saya dan melemparkan Saya ke Sungai Gaṅgā.

Namun, Sahabat, engkau boleh melontarkan pertanyaan apa pun sesuka hatimu.”

Lalu Āḷavaka bertanya kepada Bhagavā dalam syair berikut:

“Apa kekayaan yang paling terpuji bagi manusia di dunia ini?

Apa, yang jika dijalankan dengan baik, akan membawa kebahagiaan?

Apa sesungguhnya rasa yang paling manis?

Bagaimana hidup seseorang bisa dianggap sebagai hidup yang paling mulia?”

Bhagavā menjawab dalam syair:

“Keyakinan (saddhā) adalah kekayaan yang paling terpuji bagi manusia di dunia ini.

Perbuatan baik (dhamma), jika dijalankan dengan baik, akan membawa kebahagiaan.

Kebenaran (sacca) sesungguhnya merupakan rasa yang paling manis.

Hidup dengan kebijaksanaan (paññājīviṁ) merupakan hidup yang paling mulia.”

Mendengar jawaban dari Bhagavā, Āḷavaka sangat gembira dan terus menanyakan keempat pertanyaan lainnya dengan mengucapkan syair:

“Bagaimana seseorang menyeberangi banjir?

Bagaimana seseorang menyeberangi lautan?

Bagaimana seseorang mengatasi derita?

Bagaimana seseorang menjadi murni sepenuhnya?”

Bhagavā menjawab dengan syair:

“Melalui keyakinan (saddhā), seseorang menyeberangi banjir (keserakahan, kebencian, dan kekelirutahuan).

Melalui kewaspadaan (appamāda), seseorang menyeberangi lautan (saṁsāra).

Melalui usaha (viriya), seseorang mengatasi derita (kehidupan duniawi).

Melalui kebijaksanaan (paññā), seseorang menjadi murni sepenuhnya.”

Pada akhir tanya-jawab tersebut, Āḷavaka mencapai Buah Kesucian Sotāpatti. Demikianlah, Āḷavaka, yang sebelumnya dikenal bengis dan haus darah, ditundukkan bukan dengan pedang, tongkat, ataupun gada, namun melalui kesabaran mendalam yang mengalir dari penguasaan diri tiada tara dari Bhagavā.

Karenanya, Āḷavaka, yang terkesan dengan kata “kebijaksanaan” (paññā), menjadi ingin bertanya lebih lanjut:

“Bagaimana cara mendapatkan kebijaksanaan?

Bagaimana cara memperoleh kekayaan?

Bagaimana cara mendapatkan ketenaran?

Bagaimana cara memperoleh sahabat?

Setelah meninggal di dunia ini dan terlahir ke dunia lain, bagaimana cara supaya seseorang tidak berduka?”

Bhagavā memberikan jawaban yang agak panjang lebar, dengan berkata:

“Ia yang memiliki keyakinan teguh (saddhā) dalam Dhamma dari Yang Sempurna yang menuntun pada Nibbāna, yang memperhatikan para bijaksana (sussūsaṁ), yang berperhatian murni dan sungguh-sungguh (appamatta), serta yang berperenungan bijak (vicakkhaṇa), akan mendapatkan kebijaksanaan (paññā). Seseorang, yang melakukan hal yang tepat, yang tekun dan penuh semangat, akan memperoleh kekayaan (dhana). Dengan kebenaran, seseorang akan mendapatkan ketenaran (kitti). Dan dengan kedermawanan, seseorang akan memperoleh sahabat (mitta).

Perumah tangga yang berkeyakinan, yang memiliki keempat sifat spiritual ini: kebenaran (sacca), kebajikan (dhamma), keberanian (dhiti), dan kedermawanan (cāga), tak akan berduka dalam hidup di dunia berikutnya (pecca na socati).”

Dan lagi, demi kepuasan spiritual Āḷavaka, Bhagavā mendorongnya untuk bertanya kembali:

“Mari! Tanyakanlah kepada para petapa dan brahmin lainnya jika di dunia ini ada yang lebih agung dari ini: kebenaran (sacca), kendali diri (dama), kedermawanan (cāga), dan kesabaran (khanti)!”

Sang yakkha menjawab dengan mantap:

“Mengapa saya harus bertanya kepada banyak petapa dan brahmin? Sesungguhnya, hari ini saya pribadi akhirnya mengetahui kesejahteraan sejati yang akan saya peroleh untuk hidup di dunia berikutnya.”

“Sesungguhnya, demi kebaikan saya sendiri, Bhagavā datang ke Kota Āḷavī. Dan hari ini, saya sendiri mengetahui di mana pemberian dapat menghasilkan buah yang terbesar.”

Dan setelah mengetahui cara mengembangkan kesejahteraan bagi dirinya sendiri, Āḷavaka akhirnya menyatakan keinginannya untuk berbuat baik demi kesejahteraan makhluk lain:

“Untuk inilah, dari desa ke desa dan kota ke kota saya akan melakukan perjalanan untuk menghormati Yang Tercerahkan Sempurna, Ajaran Luhur-Nya, dan Persamuhan Suci-Nya.”

Pada fajar hari itu, para utusan Raja Āḷavaka mempersembahkan Pangeran Āḷavaka Kumāra yang masih belia kepada Yakkha Āḷavaka sebagai korban. Karena Yakkha Āḷavaka telah menjadi Sotāpanna, ia merasa sangat malu. Dengan lembut ia membawa pangeran kecil itu dengan kedua tangannya dan menyerahkannya kepada Bhagavā. Bhagavā memberkahi anak itu dan menyerahkannya kembali kepada para utusan raja. Demikianlah, berkat kejadian ini, sang pangeran kemudian dikenal sebagai Hatthaka Āḷavaka, yang berarti “dari tangan Āḷavaka”.

Kronologi Hidup Buddha
Ashin Kusaladhamma

No comments:

Post a Comment