Thursday, 6 August 2020

Āḷavaka, Si Yakkha Pemberang, Bag. 1/2

Āḷavaka, Si Yakkha Pemberang, Bag. 1/2

Dalam masa kediaman musim hujan Bhagavā yang keenam belas, terjadi suatu peristiwa penting yang menyangkut pengalihyakinan Āḷavaka, sesosok yakkha yang sangat pemberang.

Waktu itu, Kerajaan Āḷavī diperintah oleh Raja Āḷavaka. Sang raja memiliki kebiasaan bersantai dengan berburu di hutan sekali seminggu supaya pasukannya tetap prima. Suatu hari, tatkala ia tengah berburu, kijang buruannya melarikan diri dari tempatnya menunggu; menurut kebiasaan, sudah merupakan tugas sang raja untuk menangkapnya. Dengan bersenjatakan panah, raja segera mengikuti kijang itu. Setelah berlari sepanjang tiga gāvuta (satu gāvuta sama dengan seperempat yojana), kijang itu berbaring di pinggir kolam karena keletihan; karenanya, dengan mudah raja dapat membunuh, memotong tubuhnya menjadi dua, dan menggotongnya dengan galah.


Saat berjalan pulang, ia beristirahat di bawah sebatang pohon banyan yang rindang, yang merupakan kediaman dari Yakkha Āḷavaka. Yakkha ini telah diberi izin oleh Vessavana, raja para yakkha; izin itu membolehkan Yakkha Āḷavaka untuk memangsa siapa pun yang terkena bayang-bayang pohon itu. Demikianlah, ia menangkap sang raja, namun ketika raja berjanji kepadanya untuk menyediakan satu orang dan sebelanga nasi setiap harinya, Yakkha Āḷavaka melepaskannya.

Dengan bantuan para menterinya, Raja Āḷavaka mampu memenuhi janjinya dengan mengirimkan para penjahat kepada yakkha itu. Segera setelah sang korban berada dalam naungan bayang-bayang pohon banyan itu, sang yakkha akan berubah wujud menjadi sosok yang sangat mengerikan dan akan memangsa korbannya seolah menyantap akar umbi. Setelah tak ada lagi penjahat dalam penjara, raja memaksa setiap rumah untuk menyerahkan satu anak untuk dikorbankan kepada sang yakkha.

Kemudian, setelah dua belas tahun, tak ada lagi anak-anak di Āḷavī, kecuali putra raja sendiri, yang bernama Āḷavaka Kumāra. Kendatipun raja sungguh mencintai putranya, namun ia tahu bahwa tak seorang pun di dunia ini yang lebih ia cintai daripada dirinya sendiri; ia tak mau mengorbankan dirinya kepada sang yakkha. Oleh karenanya ia memakaikan busana megah pada putranya, lalu membawanya kepada sang yakkha.

Pada suatu fajar, tatkala Bhagavā tengah terserap dalam kebahagiaan Welas Asih Nirbatas di dalam Bilik Harum-Nya di Vihāra Jetavana, dan ketika Ia tengah memindai seisi dunia dengan Mata Buddha-Nya, tampak olehnya apa yang akan terjadi di Āḷavī serta kemungkinan Pangeran Āḷavaka, Yakkha Āḷavaka, dan delapan puluh ribu makhluk akan menyadari Dhamma dalam berbagai tahap.

Setelah melaksanakan tugas pagi hari-Nya, Bhagavā membawa mangkuk dan jubah luar-Nya, lalu pergi sendirian berjalan kaki menuju Āḷavī—tiga puluh yojana dari Sāvatthi. Ia sampai di kediaman Yakkha Āḷavaka saat senja tatkala Yakkha Āḷavaka sedang menghadiri pertemuan para yakkha di Himavanta. Penjaga pintunya, Yakkha Gadrabha, mendekati Bhagavā, memberi hormat pada-Nya dan bertanya: “Bhikkhu Gotama, Anda datang sesore ini?”

“Benar, Gadrabha, Saya telah datang. Jika tidak memberatkanmu, Saya ingin bermalam di kediaman Āḷavaka.”

“Bhikkhu Gotama, ini tidak memberatkan saya, namun ketahuilah bahwa yakkha ini sungguh bengis dan kejam; ia tidak menunjukkan hormat pada orangtuanya sekalipun. Karena itu, janganlah Bhagavā tinggal di sini!”

“Benar, Gadrabha, Saya mengetahui perangai Āḷavaka yang bengis dan kejam itu. Tak akan ada bahaya bagi Saya. Jadi, seandainya tidak memberatkanmu, Saya ingin bermalam di sini.”

Untuk kedua kalinya Gadrabha memperingatkan Bhagavā dengan berkata: “Bhikkhu Gotama, Āḷavaka ini bagaikan belanga yang berisi besi membara. Ia tidak menggubris siapa pun dan apa pun: orangtuanya sendiri, para bhikkhu, para brahmin, ataupun Dhamma. Ia bisa membuat gila orang yang datang ke mari; ia bisa merobek hati mereka, atau melemparkan mereka ke lautan jauh, ataupun ke dunia lain nun jauh, dengan mencengkeram kaki mereka.”

Untuk kedua kalinya Bhagavā berkata: “Benar, Gadrabha, Saya tahu semuanya ini. Namun seandainya tidak memberatkanmu, Saya ingin bermalam di sini.”

Untuk ketiga kalinya, Gadrabha mencoba mencegah Bhagavā supaya tidak tinggal di sana. Dan lagi-lagi untuk yang ketiga kalinya Bhagavā tidak menarik kembali keinginan-Nya. Karena itu, Gadrabha akhirnya berkata: “Bhikkhu Gotama, ini tidaklah memberatkan saya, namun Āḷavaka bisa membunuh saya jika Anda saya perbolehkan tinggal di sini tanpa seizinnya. Karena itu, Bhikkhu Gotama, saya akan pergi dan memberitahukannya mengenai hal ini.”

“Gadrabha, engkau boleh pergi dan memberitahukannya sesukamu.”

“Bhikkhu Gotama, jika demikian Anda sendirilah yang bertanggung jawab terhadap apa pun yang mungkin terjadi pada diri Anda.” Setelah berkata demikian, Gadrabha memberi hormat pada Bhagavā dan berangkat ke Himavanta.

Bhagavā memasuki wisma itu dan duduk di tahta permata milik Āḷavaka. Beliau memancarkan lingkaran cahaya keemasan dari tubuh-Nya ke segala penjuru. Melihat hal ini, para dayang Āḷavaka berkumpul dan memberikan sembah hormat pada-Nya. Bhagavā membabarkan pelbagai khotbah Dhamma, yang mengilhami mereka dengan manfaat berdana, menjalankan moralitas, dan mengembangkan batin. Setelah mendengar khotbah yang indah itu, mereka tetap bersimpuh dengan penuh hormat mengelilingi Bhagavā.

Sementara itu Gadrabha, yang telah tiba di Himavanta, memberitahukan kepada Āḷavaka mengenai kedatangan Bhagavā di wismanya. Pikiran Āḷavaka segera memanas dan ia mengisyaratkan pada Gadrabha untuk diam. Ia akan segera pulang untuk mengambil tindakan yang diperlukan.

Terdapat dua yakkha yang mulia, yaitu Sātāgira dan Hemavata, yang tengah melintas di angkasa hendak menuju ke tempat pertemuan itu. Mereka sadar akan kehadiran Bhagavā karena tidak mampu terbang di atas sesosok Buddha.

Mereka turun ke wisma Āḷavaka dan memberikan sembah hormat pada Bhagavā sebelum melanjutkan perjalanannya.

Setibanya mereka di pertemuan itu, Sātāgira dan Hemavata memberitahukan Āḷavaka: “Sahabat Āḷavaka, betapa beruntungnya dirimu! Bhagavā telah singgah ke wismamu dan masih duduk di sana. Pergilah, Āḷavaka, layanilah Bhagavā!”

Bukannya merasa senang, Āḷavaka menjadi naik pitam. Hatinya terbakar murka mendengar kedua temannya memberikan pujian yang tinggi pada Bhagavā. Lantas, ia bangkit dari duduknya dan berteriak: “Apakah majikan kalian, Buddha, lebih perkasa? Ataukah aku yang lebih perkasa? Sekarang kalian akan lihat sendiri!” Disertai amukan tak terkendali, dengan congkak ia menyerukan namanya dengan lantang: “Aku Āḷavaka!” Lalu, ia bergegas pulang.

Selanjutnya, Yakkha Āḷavaka menyerang Bhagavā dengan sembilan macam senjata maut. Pertama, ia menciptakan angin topan dahsyat (vātamaṇḍalaṁ) yang mampu memporakporandakan desa dan kota di daerah sekitarnya. Namun, ketika mendekati Bhagavā, angin ribut itu tak mampu menggoyang ujung jubah-Nya sekalipun.

Menyadari bahwa senjatanya tak berpengaruh apa pun, Āḷavaka semakin murka dan menciptakan hujan lebat (mahāvassaṁ) yang bisa mengikis bumi membentuk kawah, meluapi daerah itu dan menenggelamkan Bhagavā. Namun hujan yang sangat lebat ini berubah menjadi butir-butir embun kecil yang menguap sebelum jatuh ke tanah.

Dalam kemarahannya yang menjadi-jadi, Āḷavaka mencurahkan ribuan batu cadas besar yang membara (pāsāṇavassaṁ). Sebelum menyentuh Bhagavā, batu-batu tersebut berubah menjadi untaian bunga surgawi yang harum. Karena masih belum mampu mengalahkan Bhagavā, Āḷavaka yang pemberang itu melancarkan kembali serangannya dengan mencurahkan hujan senjata panas (paharaṇavassaṁ), seperti pedang, tombak, kapak, pisau, anak panah, dan sebagainya. Namun semuanya berguguran sebagai bunga surgawi beraneka ragam.

Sekali lagi usahanya gagal. Āḷavaka kembali menghujani tubuh Bhagavā dengan batu bara yang berkobar (aṅgāravassaṁ), namun semuanya juga berubah menjadi bunga surgawi nan semerbak. Āḷavaka melanjutkan serangannya; ia mencurahkan dari langit segumpal besar debu yang sangat panas laksana api (kukkuḷavassaṁ); namun semuanya berubah menjadi bubuk cendana yang harum, seakan tengah memuja Bhagavā.

Kembali ia menciptakan hujan pasir panas (vālukāvassaṁ) yang jatuh dari langit; namun semuanya berubah menjadi curahan pernik bunga surgawi. Selanjutnya, dari langit ia menumpahkan lumpur yang panas membara (kalalavassaṁ); namun semuanya berubah menjadi balsam wangi surgawi.

Setelah gagal dengan kedelapan macam hujannya, Āḷavaka merasa terguncang. Akan tetapi, ia kembali melancarkan senjatanya yang kesembilan, yang disebut andhakāraṁ. Ia menciptakan kegelapan maut untuk menyelubungi tempat kediamannya; namun saat mencapai Bhagavā, kegelapan itu sirna seperti kegelapan yang dihalau cahaya mentari. Sang yakkha sangat terpukul bahwa kesembilan senjata mautnya terbukti tidak berpengaruh dan tak mampu menggeser Bhagavā dari duduk-Nya. Selanjutnya ia merangsak maju ke arah Bhagavā dengan memimpin pasukan berlapis empat yang menyeramkan, yang terdiri atas berbagai bentuk hantu bersenjata. Āḷavaka dan gerombolannya menyerang Bhagavā selama separuh malam tanpa berani mendekati-Nya.

Bersambung...

Kronologi Hidup Buddha
Ashin Kusaladhamma

Dalam masa kediaman musim hujan Bhagavā yang keenam belas, terjadi suatu peristiwa penting yang menyangkut pengalihyakinan Āḷavaka, sesosok yakkha yang sangat pemberang.

Waktu itu, Kerajaan Āḷavī diperintah oleh Raja Āḷavaka. Sang raja memiliki kebiasaan bersantai dengan berburu di hutan sekali seminggu supaya pasukannya tetap prima. Suatu hari, tatkala ia tengah berburu, kijang buruannya melarikan diri dari tempatnya menunggu; menurut kebiasaan, sudah merupakan tugas sang raja untuk menangkapnya. Dengan bersenjatakan panah, raja segera mengikuti kijang itu. Setelah berlari sepanjang tiga gāvuta (satu gāvuta sama dengan seperempat yojana), kijang itu berbaring di pinggir kolam karena keletihan; karenanya, dengan mudah raja dapat membunuh, memotong tubuhnya menjadi dua, dan menggotongnya dengan galah.

Saat berjalan pulang, ia beristirahat di bawah sebatang pohon banyan yang rindang, yang merupakan kediaman dari Yakkha Āḷavaka. Yakkha ini telah diberi izin oleh Vessavana, raja para yakkha; izin itu membolehkan Yakkha Āḷavaka untuk memangsa siapa pun yang terkena bayang-bayang pohon itu. Demikianlah, ia menangkap sang raja, namun ketika raja berjanji kepadanya untuk menyediakan satu orang dan sebelanga nasi setiap harinya, Yakkha Āḷavaka melepaskannya.

Dengan bantuan para menterinya, Raja Āḷavaka mampu memenuhi janjinya dengan mengirimkan para penjahat kepada yakkha itu. Segera setelah sang korban berada dalam naungan bayang-bayang pohon banyan itu, sang yakkha akan berubah wujud menjadi sosok yang sangat mengerikan dan akan memangsa korbannya seolah menyantap akar umbi. Setelah tak ada lagi penjahat dalam penjara, raja memaksa setiap rumah untuk menyerahkan satu anak untuk dikorbankan kepada sang yakkha.

Kemudian, setelah dua belas tahun, tak ada lagi anak-anak di Āḷavī, kecuali putra raja sendiri, yang bernama Āḷavaka Kumāra. Kendatipun raja sungguh mencintai putranya, namun ia tahu bahwa tak seorang pun di dunia ini yang lebih ia cintai daripada dirinya sendiri; ia tak mau mengorbankan dirinya kepada sang yakkha. Oleh karenanya ia memakaikan busana megah pada putranya, lalu membawanya kepada sang yakkha.

Pada suatu fajar, tatkala Bhagavā tengah terserap dalam kebahagiaan Welas Asih Nirbatas di dalam Bilik Harum-Nya di Vihāra Jetavana, dan ketika Ia tengah memindai seisi dunia dengan Mata Buddha-Nya, tampak olehnya apa yang akan terjadi di Āḷavī serta kemungkinan Pangeran Āḷavaka, Yakkha Āḷavaka, dan delapan puluh ribu makhluk akan menyadari Dhamma dalam berbagai tahap.

Setelah melaksanakan tugas pagi hari-Nya, Bhagavā membawa mangkuk dan jubah luar-Nya, lalu pergi sendirian berjalan kaki menuju Āḷavī—tiga puluh yojana dari Sāvatthi. Ia sampai di kediaman Yakkha Āḷavaka saat senja tatkala Yakkha Āḷavaka sedang menghadiri pertemuan para yakkha di Himavanta. Penjaga pintunya, Yakkha Gadrabha, mendekati Bhagavā, memberi hormat pada-Nya dan bertanya: “Bhikkhu Gotama, Anda datang sesore ini?”

“Benar, Gadrabha, Saya telah datang. Jika tidak memberatkanmu, Saya ingin bermalam di kediaman Āḷavaka.”

“Bhikkhu Gotama, ini tidak memberatkan saya, namun ketahuilah bahwa yakkha ini sungguh bengis dan kejam; ia tidak menunjukkan hormat pada orangtuanya sekalipun. Karena itu, janganlah Bhagavā tinggal di sini!”

“Benar, Gadrabha, Saya mengetahui perangai Āḷavaka yang bengis dan kejam itu. Tak akan ada bahaya bagi Saya. Jadi, seandainya tidak memberatkanmu, Saya ingin bermalam di sini.”

Untuk kedua kalinya Gadrabha memperingatkan Bhagavā dengan berkata: “Bhikkhu Gotama, Āḷavaka ini bagaikan belanga yang berisi besi membara. Ia tidak menggubris siapa pun dan apa pun: orangtuanya sendiri, para bhikkhu, para brahmin, ataupun Dhamma. Ia bisa membuat gila orang yang datang ke mari; ia bisa merobek hati mereka, atau melemparkan mereka ke lautan jauh, ataupun ke dunia lain nun jauh, dengan mencengkeram kaki mereka.”

Untuk kedua kalinya Bhagavā berkata: “Benar, Gadrabha, Saya tahu semuanya ini. Namun seandainya tidak memberatkanmu, Saya ingin bermalam di sini.”

Untuk ketiga kalinya, Gadrabha mencoba mencegah Bhagavā supaya tidak tinggal di sana. Dan lagi-lagi untuk yang ketiga kalinya Bhagavā tidak menarik kembali keinginan-Nya. Karena itu, Gadrabha akhirnya berkata: “Bhikkhu Gotama, ini tidaklah memberatkan saya, namun Āḷavaka bisa membunuh saya jika Anda saya perbolehkan tinggal di sini tanpa seizinnya. Karena itu, Bhikkhu Gotama, saya akan pergi dan memberitahukannya mengenai hal ini.”

“Gadrabha, engkau boleh pergi dan memberitahukannya sesukamu.”

“Bhikkhu Gotama, jika demikian Anda sendirilah yang bertanggung jawab terhadap apa pun yang mungkin terjadi pada diri Anda.” Setelah berkata demikian, Gadrabha memberi hormat pada Bhagavā dan berangkat ke Himavanta.

Bhagavā memasuki wisma itu dan duduk di tahta permata milik Āḷavaka. Beliau memancarkan lingkaran cahaya keemasan dari tubuh-Nya ke segala penjuru. Melihat hal ini, para dayang Āḷavaka berkumpul dan memberikan sembah hormat pada-Nya. Bhagavā membabarkan pelbagai khotbah Dhamma, yang mengilhami mereka dengan manfaat berdana, menjalankan moralitas, dan mengembangkan batin. Setelah mendengar khotbah yang indah itu, mereka tetap bersimpuh dengan penuh hormat mengelilingi Bhagavā.

Sementara itu Gadrabha, yang telah tiba di Himavanta, memberitahukan kepada Āḷavaka mengenai kedatangan Bhagavā di wismanya. Pikiran Āḷavaka segera memanas dan ia mengisyaratkan pada Gadrabha untuk diam. Ia akan segera pulang untuk mengambil tindakan yang diperlukan.

Terdapat dua yakkha yang mulia, yaitu Sātāgira dan Hemavata, yang tengah melintas di angkasa hendak menuju ke tempat pertemuan itu. Mereka sadar akan kehadiran Bhagavā karena tidak mampu terbang di atas sesosok Buddha.

Mereka turun ke wisma Āḷavaka dan memberikan sembah hormat pada Bhagavā sebelum melanjutkan perjalanannya.

Setibanya mereka di pertemuan itu, Sātāgira dan Hemavata memberitahukan Āḷavaka: “Sahabat Āḷavaka, betapa beruntungnya dirimu! Bhagavā telah singgah ke wismamu dan masih duduk di sana. Pergilah, Āḷavaka, layanilah Bhagavā!”

Bukannya merasa senang, Āḷavaka menjadi naik pitam. Hatinya terbakar murka mendengar kedua temannya memberikan pujian yang tinggi pada Bhagavā. Lantas, ia bangkit dari duduknya dan berteriak: “Apakah majikan kalian, Buddha, lebih perkasa? Ataukah aku yang lebih perkasa? Sekarang kalian akan lihat sendiri!” Disertai amukan tak terkendali, dengan congkak ia menyerukan namanya dengan lantang: “Aku Āḷavaka!” Lalu, ia bergegas pulang.

Selanjutnya, Yakkha Āḷavaka menyerang Bhagavā dengan sembilan macam senjata maut. Pertama, ia menciptakan angin topan dahsyat (vātamaṇḍalaṁ) yang mampu memporakporandakan desa dan kota di daerah sekitarnya. Namun, ketika mendekati Bhagavā, angin ribut itu tak mampu menggoyang ujung jubah-Nya sekalipun.

Menyadari bahwa senjatanya tak berpengaruh apa pun, Āḷavaka semakin murka dan menciptakan hujan lebat (mahāvassaṁ) yang bisa mengikis bumi membentuk kawah, meluapi daerah itu dan menenggelamkan Bhagavā. Namun hujan yang sangat lebat ini berubah menjadi butir-butir embun kecil yang menguap sebelum jatuh ke tanah.

Dalam kemarahannya yang menjadi-jadi, Āḷavaka mencurahkan ribuan batu cadas besar yang membara (pāsāṇavassaṁ). Sebelum menyentuh Bhagavā, batu-batu tersebut berubah menjadi untaian bunga surgawi yang harum. Karena masih belum mampu mengalahkan Bhagavā, Āḷavaka yang pemberang itu melancarkan kembali serangannya dengan mencurahkan hujan senjata panas (paharaṇavassaṁ), seperti pedang, tombak, kapak, pisau, anak panah, dan sebagainya. Namun semuanya berguguran sebagai bunga surgawi beraneka ragam.

Sekali lagi usahanya gagal. Āḷavaka kembali menghujani tubuh Bhagavā dengan batu bara yang berkobar (aṅgāravassaṁ), namun semuanya juga berubah menjadi bunga surgawi nan semerbak. Āḷavaka melanjutkan serangannya; ia mencurahkan dari langit segumpal besar debu yang sangat panas laksana api (kukkuḷavassaṁ); namun semuanya berubah menjadi bubuk cendana yang harum, seakan tengah memuja Bhagavā.

Kembali ia menciptakan hujan pasir panas (vālukāvassaṁ) yang jatuh dari langit; namun semuanya berubah menjadi curahan pernik bunga surgawi. Selanjutnya, dari langit ia menumpahkan lumpur yang panas membara (kalalavassaṁ); namun semuanya berubah menjadi balsam wangi surgawi.

Setelah gagal dengan kedelapan macam hujannya, Āḷavaka merasa terguncang. Akan tetapi, ia kembali melancarkan senjatanya yang kesembilan, yang disebut andhakāraṁ. Ia menciptakan kegelapan maut untuk menyelubungi tempat kediamannya; namun saat mencapai Bhagavā, kegelapan itu sirna seperti kegelapan yang dihalau cahaya mentari. Sang yakkha sangat terpukul bahwa kesembilan senjata mautnya terbukti tidak berpengaruh dan tak mampu menggeser Bhagavā dari duduk-Nya. Selanjutnya ia merangsak maju ke arah Bhagavā dengan memimpin pasukan berlapis empat yang menyeramkan, yang terdiri atas berbagai bentuk hantu bersenjata. Āḷavaka dan gerombolannya menyerang Bhagavā selama separuh malam tanpa berani mendekati-Nya.

Bersambung...

Kronologi Hidup Buddha
Ashin Kusaladhamma

No comments:

Post a Comment