DEWA-DEWA
(Dalam Agama Buddha) .
Dalam pandangan Agama Buddha, alam surga di mana para Dewata dan makhluk surgawi tinggal, sekalipun dalam kurun waktu yang berbatas namun tetaplah bukan keberadaan yang kekal serta bukanlah menjadi tujuan Akhir dari Ajaran Buddha.
Alam Surga terbagi menjadi enam alam, yaitu:
1. Câtumahârâjikâ,
2. Tâvatimsa,
3. Yâmâ,
4. Tusita,
5. Nimmânaratî,
6. Para-nimmitavasavattî.
Saturday, 8 August 2020
Friday, 7 August 2020
Āḷavaka, Si Yakkha Pemberang. Bag. 2/2
Āḷavaka, Si Yakkha Pemberang. Bag. 2/2
Setelah gagal berkali-kali, ia memutuskan untuk menyerang dengan meluncurkan senjatanya yang paling mematikan, yaitu mantel putih sakti (dussāvudha). Seraya melayang-layang di sekitar Bhagavā, ia melontarkan senjatanya ke arah Bhagavā. Senjata itu menimbulkan bunyi yang menakutkan di udara laksana senjata halilintar Dewa Indra; senjata itu menimbulkan asap dan bara api yang besar.
Setelah gagal berkali-kali, ia memutuskan untuk menyerang dengan meluncurkan senjatanya yang paling mematikan, yaitu mantel putih sakti (dussāvudha). Seraya melayang-layang di sekitar Bhagavā, ia melontarkan senjatanya ke arah Bhagavā. Senjata itu menimbulkan bunyi yang menakutkan di udara laksana senjata halilintar Dewa Indra; senjata itu menimbulkan asap dan bara api yang besar.
Thursday, 6 August 2020
Āḷavaka, Si Yakkha Pemberang, Bag. 1/2
Āḷavaka, Si Yakkha Pemberang, Bag. 1/2
Dalam masa kediaman musim hujan Bhagavā yang keenam belas, terjadi suatu peristiwa penting yang menyangkut pengalihyakinan Āḷavaka, sesosok yakkha yang sangat pemberang.
Waktu itu, Kerajaan Āḷavī diperintah oleh Raja Āḷavaka. Sang raja memiliki kebiasaan bersantai dengan berburu di hutan sekali seminggu supaya pasukannya tetap prima. Suatu hari, tatkala ia tengah berburu, kijang buruannya melarikan diri dari tempatnya menunggu; menurut kebiasaan, sudah merupakan tugas sang raja untuk menangkapnya. Dengan bersenjatakan panah, raja segera mengikuti kijang itu. Setelah berlari sepanjang tiga gāvuta (satu gāvuta sama dengan seperempat yojana), kijang itu berbaring di pinggir kolam karena keletihan; karenanya, dengan mudah raja dapat membunuh, memotong tubuhnya menjadi dua, dan menggotongnya dengan galah.
Dalam masa kediaman musim hujan Bhagavā yang keenam belas, terjadi suatu peristiwa penting yang menyangkut pengalihyakinan Āḷavaka, sesosok yakkha yang sangat pemberang.
Waktu itu, Kerajaan Āḷavī diperintah oleh Raja Āḷavaka. Sang raja memiliki kebiasaan bersantai dengan berburu di hutan sekali seminggu supaya pasukannya tetap prima. Suatu hari, tatkala ia tengah berburu, kijang buruannya melarikan diri dari tempatnya menunggu; menurut kebiasaan, sudah merupakan tugas sang raja untuk menangkapnya. Dengan bersenjatakan panah, raja segera mengikuti kijang itu. Setelah berlari sepanjang tiga gāvuta (satu gāvuta sama dengan seperempat yojana), kijang itu berbaring di pinggir kolam karena keletihan; karenanya, dengan mudah raja dapat membunuh, memotong tubuhnya menjadi dua, dan menggotongnya dengan galah.
Kisah Mahakala Thera
Cerita terjadinya syair Dhammapada 7 & 8.
(TIPITAKA: Sutta Pitaka - Khuddaka Nikāya)
Kisah Mahakala Thera
Mahakala dan Culakala adalah dua saudagar bersaudara dari kota Setabya. Suatu ketika dalam perjalanan membawa barang-barang dagangannya, mereka berkesempatan untuk mendengarkan khotbah Dhamma yang diberikan oleh Sang Buddha. Setelah mendengarkan khotbah tersebut, Mahakala memohon kepada Sang Buddha untuk diterima sebagai salah satu anggota pasamuan bhikkhu. Culakala juga ikut bergabung dalam anggota Sangha, tetapi dengan tujuan berkenalan dengan para bhikkhu dan menjaga saudaranya.
(TIPITAKA: Sutta Pitaka - Khuddaka Nikāya)
Kisah Mahakala Thera
Mahakala dan Culakala adalah dua saudagar bersaudara dari kota Setabya. Suatu ketika dalam perjalanan membawa barang-barang dagangannya, mereka berkesempatan untuk mendengarkan khotbah Dhamma yang diberikan oleh Sang Buddha. Setelah mendengarkan khotbah tersebut, Mahakala memohon kepada Sang Buddha untuk diterima sebagai salah satu anggota pasamuan bhikkhu. Culakala juga ikut bergabung dalam anggota Sangha, tetapi dengan tujuan berkenalan dengan para bhikkhu dan menjaga saudaranya.
Wednesday, 5 August 2020
RENUNGAN: "Tiga Kemampuan"
RENUNGAN: "Tiga Kemampuan"
👉 Kemampuan berpikir sebelum berbicara mau pun bertindak, agar yang diucapkan mau pun diperbuat tidak menjadi masalah; oleh karena itu, sebaiknya orang sebelum berucap mau pun bertindak hendaknya dipikirkan terlebih dulu.
👉 Kemampuan berbicara bukan terletak pada soal apa yang orang bicarakan, melainkan bicaranya bisa menyelesaikan persoalan tanpa menimbulkan persoalan. Sehingga apa yang dibicarakan memberi manfaat pada pendengarnya, mau pun bermakna dan berguna bagi pembicaraannya.
👉 Kemampuan perbuatan jasmani ketika apa yang dilakukan orang terukur, bisa selesai pada waktunya, dan tidak menyisakan masalah. Karena sebelum dilakukan, semua telah dipahami dengan baik, sehingga bisa diselesaikan dengan baik serta bermanfaat.
👉 Orang yang memiliki kemampuan berpikir dengan baik, kemampuan berkata benar, dan kemampuan bertindak yang tepat; sehingga hidupnya bermanfaat bagi dirinya sendiri, mau pun pada orang lain.
✍️ (Bhikkhu Saddhaviro Mahathera)
👉 Kemampuan berpikir sebelum berbicara mau pun bertindak, agar yang diucapkan mau pun diperbuat tidak menjadi masalah; oleh karena itu, sebaiknya orang sebelum berucap mau pun bertindak hendaknya dipikirkan terlebih dulu.
👉 Kemampuan berbicara bukan terletak pada soal apa yang orang bicarakan, melainkan bicaranya bisa menyelesaikan persoalan tanpa menimbulkan persoalan. Sehingga apa yang dibicarakan memberi manfaat pada pendengarnya, mau pun bermakna dan berguna bagi pembicaraannya.
👉 Kemampuan perbuatan jasmani ketika apa yang dilakukan orang terukur, bisa selesai pada waktunya, dan tidak menyisakan masalah. Karena sebelum dilakukan, semua telah dipahami dengan baik, sehingga bisa diselesaikan dengan baik serta bermanfaat.
👉 Orang yang memiliki kemampuan berpikir dengan baik, kemampuan berkata benar, dan kemampuan bertindak yang tepat; sehingga hidupnya bermanfaat bagi dirinya sendiri, mau pun pada orang lain.
✍️ (Bhikkhu Saddhaviro Mahathera)
Tuesday, 4 August 2020
Apakah kita harus menyelesaikan sebab jodoh kita atau kita bisa langsung menjadi seorang biarawan?
Dari: Ferry Liang, Yogyakarta
Namo Buddhaya,
Banthe saya mau bertanya lagi. Hidup selibat atau hidup tanpa menikah dalam arti kita membiara, bukankah menjadikan makhluk lain yang memiliki kesempatan untuk terlahir menjadi manusia menjadi hilang, dalam hal ini jika misalkan semua manusia hidup membiara. Dan bukankah Sabda Sang Buddha mengatakan bahwa semua sebab jodoh harus diselesaikan dan bila sebab jodoh itu telah muncul bukankah harus diselesaikan.
Namo Buddhaya,
Banthe saya mau bertanya lagi. Hidup selibat atau hidup tanpa menikah dalam arti kita membiara, bukankah menjadikan makhluk lain yang memiliki kesempatan untuk terlahir menjadi manusia menjadi hilang, dalam hal ini jika misalkan semua manusia hidup membiara. Dan bukankah Sabda Sang Buddha mengatakan bahwa semua sebab jodoh harus diselesaikan dan bila sebab jodoh itu telah muncul bukankah harus diselesaikan.
Sunday, 2 August 2020
Ambapāli, Wanita Penghibur yang Menjadi Arahāt
Ambapāli, Wanita Penghibur yang Menjadi Arahāt
Pada masa Buddha Gotama, ada seorang wanita penghibur di Vesālī yang menjadi siswa Buddha. Konon, ia terlahir secara spontan (opapātika). Pada suatu hari, tukang kebun yang bekerja pada seorang penguasa Licchavī di Vesālī menemukan seorang bayi perempuan yang tergeletak di kaki sebatang pohon mangga di taman milik raja. Ia lalu membawa bayi itu ke kota. Berdasarkan kelahirannya, bayi perempuan itu diberi nama Ambapālī—yang berasal dari kata “amba” yang berarti “mangga” dan “pāli” yang berarti “garis”.
Pada masa Buddha Gotama, ada seorang wanita penghibur di Vesālī yang menjadi siswa Buddha. Konon, ia terlahir secara spontan (opapātika). Pada suatu hari, tukang kebun yang bekerja pada seorang penguasa Licchavī di Vesālī menemukan seorang bayi perempuan yang tergeletak di kaki sebatang pohon mangga di taman milik raja. Ia lalu membawa bayi itu ke kota. Berdasarkan kelahirannya, bayi perempuan itu diberi nama Ambapālī—yang berasal dari kata “amba” yang berarti “mangga” dan “pāli” yang berarti “garis”.
Saturday, 1 August 2020
Ajahn menjelaskan tentang Satipaṭṭhāna?
Pertanyaan: Bisakah Ajahn menjelaskan tentang Satipaṭṭhāna?
Than Ajahn: Oke. Satipaṭṭhāna Sutta mengajarkan langkah demi langkah praktik Dhamma. Langkah pertama adalah mengembangkan perhatian dan samādhi, misalnya dengan pergi ke hutan dan duduk di bawah pohon di mana ia sunyi. Anda menggunakan perhatian bernafas untuk menenangkan pikiran Anda untuk masuk ke dalam samādhi.
Than Ajahn: Oke. Satipaṭṭhāna Sutta mengajarkan langkah demi langkah praktik Dhamma. Langkah pertama adalah mengembangkan perhatian dan samādhi, misalnya dengan pergi ke hutan dan duduk di bawah pohon di mana ia sunyi. Anda menggunakan perhatian bernafas untuk menenangkan pikiran Anda untuk masuk ke dalam samādhi.
Air di dalam Guci ~ Ajahn Chah
Air di dalam Guci ~ Ajahn Chah
Ketika tidak ada bentuk-bentuk kejahatan di dalam hati kita, semua permasalahan kita lenyap. Rasa sejuk muncul karena kita menjaga diri kita sendiri. Pikiran menjadi bajik. Ketika dia menjadi hening, dia menjadi terkonsentrasi. Ketika dia hening, dia mulai berkembang menjadi kebijaksanaan. Kita tahu bagaimana membuat pikiran jernih dan cerah. Apa pun yang jahat, kita lepaskan. Apa pun yang salah, kita kesampingkan. Kita merenungkan dan mengesampingkan hal-hal, membiarkan mereka pergi.
Ini seperti air dalam sebuah kendi. Kita mengambil gayung dan kemudian membuangnya. Mengeluarkan gayung kedua dan membuang airnya, terus ambillah airnya dan buanglah. Air di dalam kendi akhirnya akan mengering. Pikiran yang masuk ke dalam latihan adalah seperti itu.
Tetapi jika kita tidak melihat hal-hal dengan seperti ini, itu seperti menambahkan air ke dalam kendi dan kemudian mengeluarkannya, menambahkan air dan kemudian mengeluarkannya. KEBAIKAN, KEJAHATAN, KEBAIKAN, KEJAHATAN; salah, benar, salah, benar; baik, buruk, baik, buruk : MENJADI TENANG UNTUK SEJENAK, DAN KEMUDIAN KITA MENDERITA.
Sumber: In Simple Terms,
108 Perumpamaan Dhamma YM. Ajahn Chah
Diterjemahkan dari bahasa Thailand ke bahasa Inggris oleh Thanissaro Bhikkhu
Ketika tidak ada bentuk-bentuk kejahatan di dalam hati kita, semua permasalahan kita lenyap. Rasa sejuk muncul karena kita menjaga diri kita sendiri. Pikiran menjadi bajik. Ketika dia menjadi hening, dia menjadi terkonsentrasi. Ketika dia hening, dia mulai berkembang menjadi kebijaksanaan. Kita tahu bagaimana membuat pikiran jernih dan cerah. Apa pun yang jahat, kita lepaskan. Apa pun yang salah, kita kesampingkan. Kita merenungkan dan mengesampingkan hal-hal, membiarkan mereka pergi.
Ini seperti air dalam sebuah kendi. Kita mengambil gayung dan kemudian membuangnya. Mengeluarkan gayung kedua dan membuang airnya, terus ambillah airnya dan buanglah. Air di dalam kendi akhirnya akan mengering. Pikiran yang masuk ke dalam latihan adalah seperti itu.
Tetapi jika kita tidak melihat hal-hal dengan seperti ini, itu seperti menambahkan air ke dalam kendi dan kemudian mengeluarkannya, menambahkan air dan kemudian mengeluarkannya. KEBAIKAN, KEJAHATAN, KEBAIKAN, KEJAHATAN; salah, benar, salah, benar; baik, buruk, baik, buruk : MENJADI TENANG UNTUK SEJENAK, DAN KEMUDIAN KITA MENDERITA.
Sumber: In Simple Terms,
108 Perumpamaan Dhamma YM. Ajahn Chah
Diterjemahkan dari bahasa Thailand ke bahasa Inggris oleh Thanissaro Bhikkhu
Subscribe to:
Posts (Atom)