MELIMPAHKAN JASA KEBAJIKAN
Oleh Ven. YM. Bhante Pannavaro Mahathera
Sejak Anda mengenal agama Buddha, jika Anda terbiasa menggunakan bacaan dalam bahasa Pali, maka Anda tidak asing dengan ungkapan 'Idam vo natinam hotu, Sukhita hontu natayo.' Ini selalu diucapkan di dalam bagian bacaan Ettavata yang dibaca pada setiap akhir upacara, maupun pada perayaan-perayaan besar atau kebaktian-kebaktian mingguan. Juga pada kebaktian-kebaktian atau puja bakti di rumah Anda masing-masing.
Kami pun mengenal ungkapan "Idam vo natinam hotu, Sukhita hontu natayo.' Sejak awal, pada waktu kami masih duduk di SMP, kurang lebih empat puluh tahun yang lalu.
Kalimat ini memang mudah diucapkan. Akan tetapi apabila tidak dimengerti dengan pengertian yang benar dan kalau tidak diucapkan dengan disertai pikiran yang sungguh-sungguh, maka kalimat yang pendek itu tentu tidak ada artinya.
Idam vo natinam hotu. Apakah artinya 'idam'? Idam artinya ini. Idam vo natinam hotu. 'Ini untuk keluargaku'. Sukhita hontu natayo. 'Semoga keluargaku bahagia'.
Apakah yang dimaksud dengan 'ini untuk keluargaku'? Siapakah 'keluarga' yang dimaksud itu? 'Keluarga' yang dimaksudkan itu adalah keluarga kita yang telah meninggal dunia, terutamanya ibu, ayah, dan semua leluhur kita.
Apakah 'ini' yang kita persembahkan kepada keluarga kita yang sudah almarhum itu? Yang dimaksud dengan 'Idam ini' adalah kebajikan yang sudah kita lakukan. Dengan mempersembahkan kebajikan ini, Sukhita hontu natayo 'Semoga keluargaku yang sudah almarhum itu berbahagia'.
Apabila kita membaca kebiasaan suku-suku bangsa, kebudayaan-kebudayaan yang kita kenal di dunia ini, semua hampir mengatakan bahwa pada saat kematian memang kita telah berpisah dengan orang tua atau keluarga kita. Baik itu dikremasi amaupun dikebumikan.
Secara fisik kita tidak mungkin bertemu kembali dengan orang tua kita. Secara fisik kita telah berpisah, tetapi secara mental kita masih berhubungan.
Guru Agung kita pernah memberikan khotbah kepada seorang pemuda yang bernama Sigala. Satu khotbah yang sangat terkenal karena berisi tuntunan untuk hidup bermasyarakat. Guru Agung kita menjelaskan bahwa meskipun ibu dan ayah telah meninggal dunia, setiap anak masih mempunyai kewajiban kepada orang tua masing-masing.
Apakah kewajiban mereka?
Berbuat bajik. Melakukan kebajikan dan mempersembahkan kebajikan itu kepada orang tua yang telah meninggal. Ini adalah kewajiban dari setiap anak kepada kedua orang tuanya. Siapa pun dia.
Memang sering timbul pertanyaan yang kadang-kadang ditanyakan terus terang, atau disimpan didalam hati kecil;
"Bhante, apakah bisa kalau kita berbuat bajik, orang tua kita yang sudah meninggal dapat menerimanya?"
"Jawabannya adalah bisa, Saudara".
Dengan syarat, persembahan kebajikan itu akan amat bermanfaat bila orang tua kita dilahirkan di alam yang kurang menguntungkan. Apabila orang tua kita dilahirkan di alam yang lebih bahagia dari alam manusia, persembahan kita memang bisa diterima, hanya saja tidak begitu bermanfaat.
Akan tetapi, jika mereka hidup dialam yang kurang menguntungkan, maka persembahan kita akan sangat bermanfaat. Laksana orang yang sudah lapar berhari-hari, kemudian mendapatkan makanan yang cukup, yang membuat mereka menjadi kenyang.
Ada syarat yang lain, yaitu pada saat sanak keluarganya melakukan kebajikan dan mempersembahkan kebajikan itu, keluarga yang telah meninggal harus mengetahui. Mengetahui bahwa kerabatnya berbuat bajik dan kemudian bermudita citta atau 'ikut bahagia' dengan kebajikan yang dilakukan.
Sebelum saya menguraikan lebih lanjut, timbullah pertanyaan yang sering ditanyakan:
"Bhante, bagaimana caranya mempersembahkan kebajikan kepada keluarga kita yang sudah meninggal?"
Untuk mempersembahkan kebajikan kepada keluarga yang telah almarhum, Anda harus berbuat bajik terlebih dulu. Pada saat melakukan kebajikan dan setelah selesai melakukan kebajikan, berpikirlah dengan sungguh-sungguh,
'Semoga kebajikan yang kulakukan ini, orang tua dan semua keluargaku yang telah almarhum mengetahuinya. Dan dengan mengetahui semoga mereka bahagia 'Sukhita hontu natayo'.
Harus ada kebajikan yang Anda lakukan. Harus ada pikiran untuk mempersembahkan kebajikan itu kepada keluarga yang sudah meninggal. Lalu keluarga yang meninggal dapat mengetahui. Dan dengan mengetahui itulah mereka itu berbahagia.
Dari uraian ini, ada satu hal yang sangat penting yang ingin saya jelaskan. Apabila keluarga kita, orang tua kita yang meninggal, dan mungkin dilahirkan di alam yang kurang menguntungkan, mereka mengetahui bahwa anak-anaknya berbuat bajik, tetapi mereka tidak bisa ikut berbahagia melihat anak-anaknya berbuat baik. Apakah mereka bisa menerima persembahan kebajikan kita?
Jawabannya adalah tidak.
Oleh karena itu, bagi keluarga kita yang akan menerima persembahan kebajikan yang akan kita persembahkan, meskipun sedikit mereka harus mempunyai kualitas Dhamma. Meskipun sedikit.
Apakah kualitas Dhamma yang harus dipunyai oleh mereka? Paling tidak, ikut merasa senang melihat keluarganya berbuat baik. Mereka menderita karena mereka kurang melakukan kebajikan selama hidupnya. Jangankan melakukan kebajikan, melihat orang berbuat bajik saja tidak bisa ikut memberikan apresiasi. Apalagi dirinya sendiri yang berbuat baik.
Dia tidak bisa ikut senang melihat orang lain yang berbuat baik. Orang seperti ini akan sulit menerima persembahan jasa kebajikan yang dilakukan oleh putra-putrinya.
🙏
No comments:
Post a Comment