Friday, 5 July 2019

Mengapa Beberapa Kaya dengan Perbuatan Buruk dan beberapa Miskin meskipun Berbuat Baik

Mengapa Beberapa Kaya dengan Perbuatan Buruk dan beberapa Miskin meskipun Berbuat Baik

Pada saat ini banyak orang yang kaya dengan perbuatan buruk dan juga banyak orang miskin meskipun melakukan perbuatan baik.

Di salah satu bagian dari kota kami Bapak Na Khet melakukan usaha dengan cara tidak bermoral. Toh dia sangat kaya dengan sebuah rumah yang besar dan mobil yang bagus. Di lain pihak Bapak Hla Aung adalah seorang guru SMA. Dia mendapatkan banyak kesulitan mengajar muridnya meskipun dengan kehendak yang baik. Dia menjaga peraturan moralitas sabat. Toh dia tetap hanya menjadi penyewa dan hanya hidup dengan satu penghasilan. Bagaimana kita menjelaskan masalah ini?


Mereka bisa dijelaskan dengan mudah menggunakan prinsip ekonomi. Jika Bapak Ba Khet berdagang, dengan bermoral atau tidak bermoral, yang menghasilkan banyak untung, dia akan kaya. Sedangkan Bapak Kla Aung, gaji sebagai guru rendah dan dia tidak melakukan pekerjaan lain untuk menghasilkan uang tambahan, sehingga dia akan miskin. Jika dia bekerja keras menjadi guru les yang terkenal, memberi les pada banyak murid, dia akan segera menjadi kaya.

Tetapi dari sudut pandang karma, Bapak Ba Khet mengumpulkan banyak karma buruk yang akan mengirimkannya pada alam sengsara. Masa hidup manusia sangat pendek. Setelah menikmati hidup sebagai orang kaya untuk beberapa tahun, tetapi jika di kehidupan berikutnya seseorang harus menderita di alam sengsara berkalpa-kalpa, ini benar-benar tidak berharga dan tidak bermanfaat dan ini seharusnya tidak dilakukan. Bagi Bapak Hla Aung, dia mengumpulkan karma baik yang akan membuahkan hasil menyenangkan di banyak kehidupan yang akan datang. Kita tidak boleh berpandangan pendek, hanya melihat kesejahteraan saat ini; kita harus berpandangan jauh, merencanakan banyak kehidupan- kehidupan berikutnya yang berbahagia.

Kita sudah melihat dalam Jataka Nirada bagaimana anehnya karma membuahkan hasil. Orang miskin Bijaka, di kehidupan lampaunya dulu, mencari sapi jantan yang hilang ketika seorang bhikkhu menanyakan arah jalan yang benar. Ketika bhikkhu itu menanyakannya lagi, dia dengan marah mengatakan;

”Apakah kamu anak laki-laki seorang budak?” Kamu berbicara begitu kasar. Kamu pasti anak laki-laki seorang budak,” Jadi dia melakukan perbuatan buruk yang serius dengan ucapan.

Tetapi karma buruk ini tinggal tidak aktif di arus batinnya seperti bara api yang ditutupi abu, sedangkan karma baik lainnya membuahkan hasil, menghasilkan kehidupan berbahagia. Hanya ketika orang kaya Bhàva meninggal, karma buruk itu mempunyai kesempatan mengakibatkan suatu kehidupan baru, membuat kehidupan miskin Bijaka terjadi, sebagai anak laki-laki seorang budak perempuan.

Di kota Ràjagraha tukang jagal babi Cunda tinggal dekat Vihara Veluvanà. Pada saat panen tiba, dia pergi dari satu desa ke desa lainnya dengan kereta barang, menukar padi dengan anak babi. Dia membiarkan anak babi berkeliaran di tanah besar di belakang rumahnya. Dia memberi mereka makanan yang cukup. Dia membunuh babi yang sudah dewasa dengan jahat setiap harinya. Dia mengikat kaki babi pada empat tiang yang dipancangkan ke tanah. Dia menyumpal mulut babi dengan menyanggahkan sebuah tongkat yang tajam di kedua ujungnya. Dia memukul seluruh badan babi itu dengan pentungan besi yang berat untuk membuat dagingnya empuk.

Kemudian dia menuangkan air mendidih ke dalam mulut babi itu hingga airnya keluar melalui anus. Sekali lagi dia menuang air mendidih ke seluruh badan babi dan menguliti kulit luarnya. Kemudian dia memotong tenggorokan babi itu dan menampung darahnya dengan sebuah ember. Dia memberikan daging babi itu pada istrinya agar dimasak untuk seluruh keluarga. Dia menjual sisa dagingnya di pasar.

Begitulah Cunda hidup senang dengan cara ini hingga lima puluh tahun. Kemudian dia jatuh sakit. Karma buruk yang dia kumpulkan begitu banyak sehingga karma baik lampaunya tidak bisa menghentikan karma buruk itu membuahkan hasil. Api neraka Avici menyambar dan membakar isi perutnya. Ini beberapa kali lebih panas dan lebih sakit daripada babi yang menderita ketika disiram air mendidih ke dalam perutnya.

Begitu sakitnya sehingga dia menjerit seperti seekor babi dan merangkak di lantai rumahnya dengan tangan dan kakinya dari satu sisi ke sisi yang lainnya terus menerus. Anak laki- laki dan perempuannya merasa malu dan bertanya padanya,” Ayah, jangan menangis. Ini memalukan.”
Mereka tidak bisa menghentikannya dan mereka tidak bisa mengaturnya. Dia tidak bisa diam. Dia terus menerus merangkak dan menjerit seperti seekor babi selama tujuh hari.

Ketika para bhikkhu lewat, mereka mendengar tangisan seperti seekor babi, sehingga mereka memberi tahu Sang Buddha,
” Yang Mulia, Cunda, tukang jagal, menutup pintu rumahnya dan membunuh babi hingga tujuh hari. Dia mungkin akan mengadakan pesta khusus di rumahnya. Tetapi sangatlah jahat membunuh babi siang dan malam.”

”Oh bhikkhu, Cunda tidak membunuh babi. Dia menderita dengan cara sebagaimana dia melakukan karma buruknya. Api neraka Avici telah membakar isi perutnya selama tujuh hari. Dikarenakan dia tidak bisa menahan sakit, dia menangis seperti seekor babi. Hari ini dia akan mati dan terlahir di Avici.”

Karma Buruk tidak pernah Membuahkan Hasil Baik

Ketika saya memberi ceramah tentang karma, saya biasanya memberikan suatu cerita. Di sebuah desa ada dua sahabat bernama Bapak Ba dan Bapak Hla. Bapak Ba mengadakan adu ayam dan adu sapi, meminum alkohol dan bermain kartu. Dia melakukan semua perbuatan buruk. Bapak Hla orang saleh. Dia pergi ke pagoda dan vihara, melaksanakan peraturan moralitas sabat dan memberikan pelayanan pada para bhikkhu.

Pada suatu hari yang terik mereka naik gunung untuk mengumpulkan jamur. Pada suatu tempat yang curam keduanya terpeleset dan jatuh. Bapak Hla jatuh dengan posisi tiarap dan terluka mengeluarkan darah di dahinya. Bapak Ba terguling beberapa kali dan berhenti di bawah pohon bambu. Ketika dia membuka matanya, dia melihat tiga potong emas dan mengambilnya.

Bapak Hla tidak puas. Ketika dia bertemu dengan seorang bhikkhu yang tenang, dia melakukan penghormatan pada bhikkhu itu dan berkata; ”Yang Mulia, saya melakukan banyak perbuatan baik seperti mengunjungi pagoda dan vihara, menjaga moralitas dan melayani bhikkhu. Tetapi ketika saya terjatuh dari tempat curam di pinggir bukit, saya terluka di dahi. Teman saya Bapak Ba melakukan banyak perbuatan buruk, mengadu ayam dan sapi jantan, bermain kartu dan minum alkohol. Tetapi ketika dia terjatuh, dia mendapatkan tiga potong emas. Saya tidak puas, Yang Mulia.”

Bhikkhu itu melihat dengan kekuatan supranaturalnya dan berkata;
”Umat awam, pada kehidupanmu yang lampau kamu bertengkar dengan seseorang dan membunuhnya. Karma tak-bermoral itu membuahkan hasil pada saat kamu terjatuh. Kamu seharusnya mati, tetapi perbuatan baikmu melindungimu. Jadi kamu hanya menderita luka. Di lain pihak, Bapak Ba mendirikan gubuk bambu dan memberikannya pada seorang bhikkhu. Pada saat dia terjatuh, dia seharusnya mendapatkan tiga pot emas sebagai hasil perbuatan baiknya, tetapi karena perbuatan buruknya pada saat ini, dia hanya mendapatkan tiga potong emas.”

Bapak Hla puas. Tanpa mengetahui karma lampau, kita tidak bisa memutuskan hanya berdasarkan bukti kehidupan saat ini.

• Perbuatan buruk tidak pernah membuahkan hasil yang baik. Mereka hanya membuahkan hasil yang buruk.

• Perbuatan baik tidak pernah membuahkan hasil yang buruk. Mereka hanya membuahkan hasil yang baik.

• Jangan mengabaikan kejahatan, dengan mengatakan, ” Ini tidak akan datang menghampiri saya,” setetes demi setetes bahkan toples air akan penuh; begitu pula orang bodoh, mengumpulkan sedikit demi sedikit, mengisi dirinya dengan kejahatan. (Dhammapàdà 121)

• Jangan mengabaikan perbuatan baik, dengan mengatakan,” Ini tidak akan datang menghampiri saya,”; setetes demi setetes bahkan toples air akan penuh; begitu pula orang bijaksana, mengumpulkan sedikit demi sedikit, mengisi dirinya dengan kebaikan. (Dhammapàdà 122)

• Bahkan pelaku kejahatan melihatnya baik selama kejahatan belum matang; tetapi ketika membuahkan hasil, maka dia akan melihat hasil yang buruk. (Dhammapàdà 119)

• Bahkan pelaku kebaikan melihatnya buruk selama kebaikan belum matang, tetapi ketika membuahkan hasil, maka dia akan melihat hasil yang baik (Dhammapàdà 120)

• Semanis madu suatu perbuatan jahat, begitu pikir si bodoh selama belum matang; tetapi ketika matang, maka dia akan mengalami kesedihan. (Dhammapàdà 69)

Oleh: DR. Mehm Tin Mon B.Sc.Hons.(Ygn), M.Sc., Ph.D.(USA)
Mahàsaddhamma Jotikadaja Penasihat pada Kementerian Urusan Agama
Profesor di Universitas Misionaris Agama Buddha Theràvàdà, Yangon

1 comment:

  1. mari gabung bersama kami di Aj0QQ*c0M
    BONUS CASHBACK 0.3% setiap senin
    BONUS REFERAL 20% seumur hidup.

    ReplyDelete