Oleh YM. Bhante Sri Pannavaro Mahathera
Perasaan yang tidak senang adalah penderitaan. Perasaan yang senang adalah kebahagiaan. Perasaan senang atau tidak senang itu kedua-duanya berbahaya. Meskipun perasaan senang itu di dapat dari perbuatan baik, yang halal, yang dibenarkan oleh agama sekali pun, perasaan senang itu berbahaya juga, karena perasaan senang hasil dari perbuatan baik juga tidak kekal dan kalau ketidak-kekalan itu tidak disadari, nanti akan membuat kita kecewa. Kecewa itu penderitaan yang baru. Buntutnya adalah jengkel, marah.
Kalau merasa sedang tidak senang, disadari atau diperhatikan saja. Kalau sedang merasa senang, juga di sadari atau di awasi saja.
Saya menggunakan istilah berganti-ganti; kesadaran, perhatian, keawasan, kewaspadaan, pengamatan; karena semuanya mempunyai arti yang boleh dikatakan sama dalam hal utnuk menjelaskan tentang meditasi.
Kalau sedang tidak senang, tidak usah kebakaran jenggot. Sedang tidak senang, ya sudah, nanti juga akan hilang sendiri. Tidak perlu mencari selingan pergi ketempat-tempat yang 'buruk', tidak perlu pergi ke tempat yang remang-remang, minum-minum. Tidak perlu !
Sadari saja, perhatikan saja, awasi saja rasa tidak senang yang sedang muncul itu, nanti akan hilang sendiri. Demikian juga kalau sedang senang, sedang bahagia." Meskipun kesenangan itu tidak berasal dari kejahatan, melainkan dari kebaikan. Perhatikan saja !
Sewaktu selesai meditasi duduk misalnya, juga timbul perasaan bahagia, atau puas; itu pun harus disadari atau diamat-amati juga. Kebahagiaan orang meditasi itu juga tidak kekal. Jangan kaget kalau nanti kebahagiaan itu lalu hilang.
Oleh karena itu, tujuan yang tertinggi kita bukan mencari kebahagiaan. Memang kita tidak ingin menderita, wajar ! Orang tidak ingin menderita, ingin bahagia. Betul sekali !
Tetapi, kebahagiaan itu juga tidak abadi. Perasaan bahagia itu hanya sepintas saja, sebentar saja. Akhirnya, akan mengecewakan kita.
Maka yang tertinggi bukanlah mencari kebahagiaan, tetapi mencari kebebasan. Bebas dari perangkap. Tidak terperangkap oleh kebencian, tidak terperangkap juga oleh kebahagiaan.
Kebencian itu bagaikan pancing. Kalau kita terpancing bagaimana? Marah ! Kalau menghadapi yang tidak disenangi, akan muncul marah, jengkel. Kalau sudah jengkel, muncul ucapan dan perbuatan yang tidak bisa dikendalikan; timbullah kejahatan. Itulah pancingan yang berasal dari rasa tidak senang. Rasa senang itu sebetulnya adalah pancingan juga. Yang akan terpancing dari rasa senang itu apa? Serakah, ingin lagi, lagi dan lagi. Kalau bisa tiap orang ingin senang seperti ini terus. Itulah hasil pancingan rasa senang, akibatnya keserakahan muncul di permukaan.
Hasil pancingan atau perangkap dari yang tidak menyenangkan adalah kemarahan, kejengkelan, kebencian. Hasil pancingan dari yang menyenangkan adalah keserakahan. Dua-duanya berbahaya. Oleh karena itu, marilah kita mengasah diri kita dengan menggunakan kesadaran. Memang susah sekali, sangat susah, tetapi kita harus belajar dan berlatih.
Pendeknya, apa saja yang timbul ataupun mulai timbul perasaan dan pemikiran diketahui atau disadari dengan dilandasi pengertian bahwa tidak kekal, ini tidak abadi, ini hanya sementara.
Sangat perlu memelihara dan menjaga kesadaran, dari kita bangun pagi sampai nanti menjelang tidur kembali, meskipun tidak bisa tiap detik. Sebanyak mungkin kita harus menggunakan kesadaran, perhatian penuh atau keawasan dalam hidup keseharian kita, untuk menyadari atau mengawasi apa saja yang muncul pada perasaan dan pikiran kita.
Kalau kita bisa menyadari dengan pengertian ketidak kekalan, kita akan terbebas meskipun cuma satu detik. Itu berharga sekali. Satu saat saya merasa sedih, tetapi begitu teringat kesadaran, saya menyadarinya, "Oh, perasaan ini sedang sedih." Begitu saya menyadarinya, saya menjadi orang bebas, merasakan kebebasan mesikipun sesaat.
Saat saya merasa jengkel, tidak enak. Buru-buru harus disadari, "Oh, ini perasaan tidak senang sedang muncul". Pada saat kita menyadari hal itu, kita merasa ringan, riang, bebas, dan jengkel yang mengakibatkan rasa tidak senang itu otomatis menurun, menurun, dan akhirnya lenyap. Detik itu juga terbebas dari kejengkelan, kemarahan, dan kebencian.
Suatu ketika kita makan enak, atau angin sepoi-sepoi menyejukan, "Waduh, kalau begini rasanya enak". Eh, hati-hati ! Harus segera disadari, supaya tidak terikat atau ketagihan dengan susana romatis itu, karena susana yang menyenangkan itu pun, sekali lagi, tidak kekal !
Pada saat kita menyadari itu, kita terbebas dari keserakahan dan kebencian. Detik itu kita adalah orang yang terbebas. Kalau kita bisa mempertahankan detik-detik itu terus, itulah yang dikatakan kebebasan sempurna.
No comments:
Post a Comment