Tuesday, 22 December 2020

sseorang Bhikkhu yang menghidupi ibunya

 GIJJHA-JĀTAKA

Sumber : Indonesia Tipitaka Center

“Seekor burung hering bisa melihat bangkai,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan Sang Guru tentang seorang bhikkhu yang menghidupi ibunya.

Cerita pembukanya akan dikemukakan di dalam Sāma-Jātaka 38 . Sang Guru bertanya kepadanya apakah dia, seorang bhikkhu, benar menghidupi umat awam yang masih hidup di dunia ini. Bhikkhu ini mengiyakannya. “Apakah hubungan dirinya denganmu?” Sang Guru melanjutkan. “Mereka adalah orang tua saya, Bhante.” “Bagus, bagus,” kata Sang Guru; dan meminta para bhikkhu untuk tidak marah kepada bhikkhu ini. “Orang bijak di masa lampau,“ katanya, “telah melayani orang-orang yang bahkan bukan sanak saudaranya, kewajiban orang ini adalah menghidupi orang tuanya sendiri.” Berbicara tentang ini, Beliau kemudian menceritakan sebuah kisah masa lampau.

Dahulu kala ketika Brahmadatta adalah Raja Benares, Bodhisatta dilahirkan sebagai seekor burung hering di puncak Gunung Burung Hering, dan menghidupi ibu dan ayahnya.

Suatu saat terjadi angin kencang dan hujan lebat. Burung-burung hering ini tidak dapat menghadapinya; sebagian dari mereka membeku, mereka terbang ke Benares, dan di sana dekat tembok dan sebuah parit mereka duduk, gemetar kedinginan.


Seorang pedagang dari Benares sedang keluar dari kota dalam perjalanan untuk mandi ketika dia melihat burung-burung hering yang menyedihkan ini. Dia meletakkan mereka di suatu tempat yang kering, membuat perapian, dan memberikan mereka beberapa potong daging lembu dari tempat pembakaran ternak, dan menyuruh seseorang untuk menjaga mereka.


Ketika badai reda, [51] burung-burung hering ini baik-baik saja dan terbang bersama, pergi ke daerah pegunungan. Tanpa menyia-nyiakan waktu, mereka bertemu dan kemudian berunding bersama. “Seorang pedagang Benares telah menolong kita; dan sebuah kebaikan patut dibalas dengan kebaikan lain; mulai sekarang kalau ada dari kita yang menemukan sehelai pakaian atau perhiasan maka kita harus membawanya ke halaman rumah pedagang itu. Maka sejak itu, jika mereka melihat ada orang yang menjemur pakaian atau perhiasan di bawah matahari, menunggu saat mereka lengah, mereka menyambarnya dengan cepat, seperti seekor elang menyambar sepotong daging, dan menjatuhkannya di halaman pedagang itu. Tetapi setiap kali melihat burung-burung ini membawakannya sesuatu, pedagang itu selalu menyisihkannya.


Mereka memberitahukan kepada raja tentang bagaimana burung–burung hering melakukan penjarahan di kota. “Tangkaplah seekor burung hering untukku,” kata raja, “dan saya akan membuat mereka mengembalikan semuanya.” Maka jebakan dan perangkap diletakkan di mana–mana; burung hering yang patuh ini pun tertangkap. Mereka menangkapnya dengan tujuan membawanya kepada raja. Pedagang tersebut, dalam perjalanannya untuk menghadap raja, melihat orang-orang ini sedang berjalan dengan seekor burung hering. Dia bergabung dengan mereka, takut mereka akan menyakiti burung hering itu.


Mereka memberikan burung hering itu kepada raja, yang kemudian memeriksanya.


“Anda menjarah kota kami, dan membawa pergi pakaian–pakaian dan berbagai jenis barang,” mulainya.—“Ya, Paduka“—“Kepada siapakah kalian berikan semua itu?” “Seorang pedagang dari Benares.“ “Mengapa?” “Karena dia telah menyelamatkan nyawa kami, dan konon satu kebaikan pantas dibalas dengan kebaikan lainnya; itulah sebabnya kami memberikan kepadanya.” “Burung–burung hering, konon,“ raja berkata, ”dapat menemukan bangkai dalam jarak yang jauhnya seratus yojana; dan apakah Anda tidak dapat melihat serangkaian perangkap yang sudah tersedia untukmu?” Dan dengan kata–kata ini, dia mengulangi bait pertama:


Seekor burung hering bisa melihat bangkai

yang terletak sejauh seratus yojana:

Ketika Anda hinggap di atas sebuah perangkap,

tidakkah Anda melihatnya, jujurlah?


[52] Burung hering tersebut mendengarkan, kemudian mengulangi bait kedua:—

Ketika kehidupan sudah sampai pada ajalnya,

dan waktu maut menghampiri,

walaupun Anda telah mendekatinya,

tidak ada perangkap dan jebakan yang bisa Anda lihat.

Setelah mendengar balasan dari burung hering tersebut, raja berpaling ke pedagang tersebut. “Apakah benar semua barang–barang ini telah dibawanya untuk Anda, oleh burung-burung hering tersebut?” “Ya, Paduka.” “Di manakah semuanya?” ”Paduka, semuanya saya sisihkan; masing-masing penduduk bisa mendapatkan kembali kepunyaan mereka:— lepaskanlah burung hering ini!” Dia mempunyai hidupnya sendiri; Burung hering itu dibebaskan, dan pedagang tersebut mengembalikan semua barang kepada pemiliknya.

Uraian ini berakhir, Sang Guru memaklumkan kebenaran-kebenaran dan mempertautkan kisah kelahiran mereka:—Di akhir kebenaran-kebenaran, bhikkhu yang menghidupi ibunya itu mencapai tingkat kesucian Sotāpanna:— “Pada masa itu, Ānanda adalah raja, Sāriputta adalah pedagang, dan Aku sendiri adalah burung hering yang menghidupi orang tuanya.”

https://samaggi-phala.or.id/tipitaka/gijjha-jataka/

No comments:

Post a Comment