Monday 3 February 2020

Melekat Pada Milikku

Melekat Pada Milikku
Ven YM. BHante Sri Pannavaro Mahathera.

Dengan mengerti sesuatu sebagaimana adanya, kita tidak akan melekat terlalu erat pada segala sesuatu yang kita anggap menjadi milik kita. Dengan bersikap seperti itu, maka kalau suatu saat milik kita rusak, peristiwa itu tidak akan menghancurkan pikiran kita🤔, tidak akan menghancurkan batin kita. Kita melihat rusaknya milik kita sebagai suatu proses. Karena kita melihat segala sesuatu di alam semesta ini tidak kekal😌.

Misalnya kita melihat sesuatu yang menjadi milik seseorang yang tidak kita kenal, jatuh dan pecah. Tidak ada konflik yang muncul dalma pikiran kita. Apalagi kita sama sekali tidak mengenal orang yang memiliki benda ini. Mungkin bertemu saja tidak pernah. Kita hanya melihat bahwa barangnya jatuh pecah. Oleh karena itu, tidak ada persoalan bagi diri kita😶.

Tetapi, kalau benda itu milik teman, atau keluarga kita, yang kita kenal dengan baik, kemudian benda yang dia miliki satu-satunya, yang sangat berharga itu, jatuh dan rusak, maka akan timbul problem dalam diri kita, meskipun tidak besar; "Aduh, sayang amat benda berharga itu pecah. Saya ikut sedih."😥

Jika sebelum pecah, benda milik teman kita itu dinyatakan olehnya, "Benda ini sekarang saya berikan kepada Anda, benda ini sekarang menjadi milik Anda.☺" Bendanya sama saja, tidak bertambah dan juga tidak berkurang, hanya benda ini dinyatakan menjadi milik kita. Sekarang akan timbul satu masalah besar kalau benda ini jatuh dan pecah; akan menjadi problem bagi pikiran kita, menjadi beban bagi batin kita. Karena sekarang kita sudah mempunyai konsep, "Ini sekarang milikku."Dan itulah permulaan, bibit timbulnya problem, awal timbulnya problem. Begitu kita sudah merasa, "Ini milikku sekarang,' kita sudah mulai menanamkan problem.🙂

Kita tidak diharuskan untuk tidak memiliki sesuatu atau tidak punya apa-apa. Tidak diharamkan untuk memiliki sesuatu. Dan memiliki sesuatu itu bukan kotor, bukan dosa, bukan salah. Kita boleh saja memiliki. Tetapi, kita harus sadar bahwa apa yang dikatakan milikku itu hanyalah sebuah konsep. Kita tidak bisa memiliki dalam arti yang sesungguhnya. Sehingga kalau benda ini suatu ketika jatuh, rusak, pecah, kita harus siap menerima itu sebagai suatu proses yang wajar.🤔

Suatu ketika di dalam kehidupan berumah tangga , seseorang istrinya meninggal atau suaminya meninggal, anaknya meninggal. Orang menamakan itu suatu musibah, marabahaya, maut. Kemudian akan timbul suatu problem, timbullah penderitaan😭, timbullah kekecewaan. Tetapi, kalau kita berusaha menerima peristiwa kematian itu sebagia suatu proses yang sangat wajar, yang pasti terjadi dalam kehidupan ini, peristiwa kematian itu tidak akan menggoncangkan pikiran kita.😧

Jadi bukan berarti jangan punya istri atau jangan berumah tangga; Karena kalau kita tidak punya istri, maka kita tidak akan sedih karena kehilangan istri. Kalau kita tidak punya suami, kita tidak akan sedih karena kehilangan suami. Boleh punya istri, boleh punya suami, boleh punya anak. Tidak dilarang. Tetapi, pada saat terjadi perubahan pada suami, pada istri atau anak, kita harus menganggapnya itu sebagai suatu proses yang wajar🙄. Oleh karena sifat segala sesuatu adalah berubah. Kita boleh saja mengatakan, suami saya meninggal, istri saya meninggal, anak saya meninggal. Tetapi, kita harus mengerti bahwa meninggal, atau mati itu adalah suatu proses. Proses perubahan yang sudah sangat wajar dan pasti terjadi dalam kehidupan ini. Pengertian ini yang akan menjaga pikiran kita untuk tidak hancur.🙂

Rumah bisa hancur, terbakar habis, tetapi pikiran tidak akan ikut hancur. Sekarang bagaimana melindungi pikiran supaya tidak ikut hancur?😌 Pikiran dilindungi dengan pengertian bahwa rumah terbakar adalah wajar. Itu adalah proses dari alam semesta ini. Perubahan wajar. Perubahan adalah sifat yang paling jelas dari kehidupan ini. Kalau kita mengerti ini, maka kita akan bisa melihat segala sesuatu sebagaimana sewajarnya terjadi.🤗

No comments:

Post a Comment