Saturday, 31 December 2016

ZAMAN WADAH TUNGGAL WALUBI

Buddhisme di Indonesia Zaman Wadah Tunggal
ZAMAN WADAH TUNGGAL WALUBI

Buddhisme di Indonesia Zaman Wadah Tunggal
Polemik Politisasi Ketuhanan
Menjelang Negara Indonesia berdiri, para Pendiri Bangsa telah menetapkan Pancasila sebagai landasan dasar negara yang menjadi pondasi bagi bangsa Indonesia dalam berbangsa dan bernegara. Meskipun berbeda isi dengan Pancasila Buddhis, nampaknya pemikiran dasar dari terbentuknya Pancasila Dasar Negara Republik Indonesia ini merujuk pada Pancasila Buddhis sebagai inspirasinya.


Salah satu sila dari Pancasila Negara Kesatuan Republik Indonesia yaitu sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Mayoritas orang mengartikannya sebagai pengakuan bangsa Indonesia atas keberadaan tuhan yang hanya satu. Padahal, ditinjau dari sudut etimologi bahasa khususnya bahasa Sanskerta yang merupakan bahasa yang digunakan dalam pembentukkan kalimat pada sila pertama tersebut, Ketuhanan Yang Maha Esa tidaklah mengacu pada keberadaan tuhan yang satu (Sanskerta: eka). Juga istilah “ketuhanan” (kata sifat) tidaklah sama dengan kata “tuhan” itu sendiri. Ketuhanan Yang Maha Esa lebih mengacu pada nilai-nilai atau sifat-sifat luhur yang tinggi yang mutlak ada.[1]

Kesalahan dengan menganggap bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa berarti pengakuan atas adanya tuhan yang hanya satu, dan tuhan tersebut diidentikkan dengan tuhan yang berpersonal, maka mempengaruhi peraturan-peraturan pemerintahan khususnya mengenai syarat suatu kepercayaan untuk menjadi agama yang resmi yang diakui oleh Pemerintah. Hal ini tentu saja menimbulkan polemik dalam agama yang tidak menganut ajaran monoteis ataupun tuhan yang berpersonal, termasuk agama Hindu yang menganut politeis dan Agama Buddha yang nonteis.

Masih adanya kalangan yang mempertanyakan apakah ajaran Agama Buddha mengakui adanya Tuhan Yang Maha Esa, membuat pemerintah pada masa Orde Baru merasa ragu untuk menjadikan Agama Buddha sebagai agama resmi. Kemudian, Y.M. Bhikkhu Ashin Jinarakkhita mengusulkan nama Adi Buddha (Sanghyang Adi Buddha) yang diambil dari Kitab Sang Hyang Kamahayanikan karya Mpu Sendok yang bercorak mazab/tradisi Tantrayana/Vajrayana, sebagai nama dari tuhan dalam ajaran Agama Buddha. Hal ini kemudian disampaikan kepada Menteri Agama dan akhirnya pemerintah menerima Agama Buddha sebagai agama resmi negara pada tahun 1978. Hal ini tercantum dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1978, Kepres R.I No. 30 Tahun 1978, serta Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No.477/74054/1978 (18 November 1978).

Meskipun Agama Buddha telah resmi menjadi agama negara, namun penggunaan istilah Sanghyang Adi Buddha sebagai tuhan menjadi polemik dan kontroversi tersendiri di kalangan umat Buddha Indonesia sampai sekarang. Hal ini dikarenakan konsep Adi Buddha (Sanghyang Adi Buddha) yang hanya ada dalam Agama Buddha mazhab/tradisi Tantrayana/Vajrayana bukanlah tuhan dalam pengertian tuhan berpersonal seperti pengertian dalam agama monoteis (seperti Agama Abrahamik). Politisasi dengan menggunakan dan sekaligus menyandingkan istilah Sanghyang Adi Buddha sebagai tuhan personal sangat bertentangan dengan ajaran Agama Buddha yang pada da UIsarnya adalah nonteis. Dengan adanya
politisasi ini, menjadikan Agama Buddha di Indonesia menjadi sedikit berbeda dengan Agama Buddha di dunia. Selain itu, hal ini menambah jumlah sikap kontroversi yang ada pada diri Y.M. Bhikkhu Ashin Jinarakkhita sebagai pencetus penggunaan istilah Sanghyang Adi Buddha sebagai tuhan dalam Agama Buddha.

Akhirnya, pada tahun yang sama, Ditjen Bimas Hindu-Buddha (Gde Puja, MA.) mengeluarkan keputusan bahwa seluruh mazhab/tradisi Agama Buddha berkeyakinan terhadap adanya Tuhan Yang Maha Esa dan masing-masing sekte memberikan nama yang berbeda-beda, tetapi pada hakekatnya adalah sama.

Dengan demikian, maka secara tidak langsung timbul pemaksaan doktrin oleh pemerintah dimana seluruh mazhab/tradisi Agama Buddha wajib meyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan bagi mazhab/tradisi yang tidak meyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa, maka akan dibubarkan. Hal ini pernah terjadi pada mazhab/tradisi Buddha Mahayana yang diperkenalkan oleh Bhiksu Surya Karma Chandra. Karena Mazhab/tradisi ini tidak menerima doktrin Tuhan Yang Maha Esa, maka akhirnya mazhab/tradisi ini dilarang keberadaannya pada tanggal 21 Juli 1978.

Pembentukan WALUBI
Setelah mengadakan petemuan dengan Menteri Agama, Alamsyah Ratu Perwiranegara, atas prakarsa pemerintah, para pemimpin umat Buddha Indonesia sepakat untuk membentuk wadah tunggal yang akan mewakili seluruh umat Buddha Indonesia.

Pada tanggal 7 sampai 8 Mei 1978 dilangsungkan Kongres Umat Buddha di Yogyakarta. Dalam kongres ini terbentuklah Perwalian Umat Buddha Indonesia (WALUBI) sebagai wadah tunggal umat Buddha di Indonesia yang berbentuk Federasi.[2] Nama Perwalian Umat Buddha Indonesia sendiri di berikan oleh Menteri Agama, Alamsyah Ratu Perwiranegara. Saat itu dalam keanggotaan pengurus WALUBI terpilih:

Suparto Hs. dari Majelis Pandita Buddha Dharma Indonesia sebagai ketua (Sekretaris Jenderal).

DPP WALUBI adalah :
1. Suwarto Kolopaking, SH. (MUABI)
2. Ir. T. Soekarno (Nichiren Shoshu Indonesia)
3. Gunawan Sindhumarto, SH. ( Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia )
4. Drs. Oka Diputhera (Majelis Dharmaduta Kasogatan Indonesia)
5. Bhaggadewa Siddharta (Majelis Rohaniawan Tridharma Seluruh Indonesia)
6. Herman S. Endro, SH. (Majelis Pandita Buddha Dharma Indonesia)
7. Ir. Hartanto Kulle (Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia)

Dewan Kehormatan adalah :
1. Soemantri MS. (MUABI-MBI)
2. Sumeda Widyadharma ( Majelis Pandita Buddha Dharma Indonesia)
3. Giriputra Soemarsono (Majelis Dharmaduta Kasogatan Indonesia)
4. IS. Susilo (Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesi)
5. Zen Dharma (Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia)
6. Sasanaputera ( Majelis Rohaniawan Tridharma Seluruh Indonesia)
7. Seno Soenoto (Nichiren Shoshu Indonesia)

Berdirinya Sangha Mahayana Indonesia
Pada menjelang akhir tahun 1978, sebagian bhiksu Mahayana memisahkan diri dari Sangha Agung Indonesia (SAI/SAGIN). Kemudian, untuk menyatukan para bhiksu dan bhiksuni Mahayana dalam satu wadah kesatuan, mereka mendirikan Sangha Mahayana Indonesia pada tanggal 10 September 1978 di Vihara Buddha Murni, Medan, Sumatera Utara.

Para pemrakarsa dari berdirinya Sangha Mahayana Indonesia yaitu Bhiksu Dharmabatama Mahasthavira (Suhu Huat Sien), Bhiksu Heng Sin, Bhiksu Sakyaputra Mahasthavira (Suhu Seng Hiong), Bhiksu Dharmasagaro Sthavira (Suhu Ting Hay), Bhiksu Mioa Kai, Bhiksu Ru Kong, Bhiksu Dharmasetya Sthavira (Suhu Xing Xiu), Bhiksu Miao Huat, Bhiksu Cong Gie, Bhiksuni Ti Yao, Bhiksuni Beng Kie, dan Bhiksuni Tuan Sin.

Dengan berdirinya Sangha Mahayana Indonesia, maka di Indonesia terdapat tiga Sangha, yaitu, Sangha Agung Indonesia, Sangha Theravada Indonesia dan Sangha Mahayana Indonesia.[3]

Lokakarya Pemantapan Ajaran Agama Buddha
Pada akhir tahun 1978, diadakan pertemuan para pemuka agama dan organisasi Buddhis dengan pihak pemerintah. Pertemuan ini membahas dan menyepakati mengenai pelaksanaan Lokakarya Pemantapan Ajaran Agama Buddha dengan Kepribadian Nasional Indonesia sebelum bulan Februari 1979 sebagai dasar untuk mengadakan Kongres Umat Buddha Indonesia yang juga akan dilaksanakan pada tahun 1979.

Dalam pertemuan pembahasan mengenai Lokakarya, keikutsertaan Nichiren Shoshu Indonesia (NSI) diprotes oleh anggota MUABI dan Sangha Agung Indonesia karena ajaran NSI yang dianggap menyimpang dari ajaran Agama Buddha. Aliran NSI yang berasal dari Jepang ini tetap menjadi kontroversi pada sampai sekarang, baik dari segi sejarah maupun dari segi ajarannya. Dalam ajarannya terdapat penyimpangan yaitu pengangkatan Nichiren Daishonin sebagai Buddha pada masa sekarang yang menggantikan Buddha Gotama. Aliran ini juga memperbolehkan para bhiksunya untuk menikah, suatu tindakan yang tidak sesuai dengan. vinaya (peraturan ke-bhikshu-an) manapun.

Namun, dengan ikut campurnya pihak pemerintah dalam berkeagamaan umat Buddha Indonesia, akhirnya NSI diperkenankan untuk mengikuti Lokakarya yang akan diselenggarakan bulan Februari 1979.

Lokakarya yang merupakan Prakongres Umat Buddha Indonesia, dilaksanakan pada tanggal 20 Februari 1978 di Jakarta dan menghasilkan dokumen “Lokakarya Pemantapan Ajaran Agama Buddha dalam kepribadian Nasional Indonesia”. Hasil lokakarya ini merupakan dasar untuk mengadakan Kongres Umat Buddha Indonesia.

Berdirinya Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia
Sebelum Kongres Umat Buddha Indonesia diadakan pada bulan Mei 1979, berdirilah Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia (MAJABUMI) dimana seluruh Umat Mahayana dan Sangha Mahayana Indonesia bergabung menjadi satu kesatuan yang utuh.

Kongres Umat Buddha Indonesia
Setelah diadakan prakongres, Kongres Umat Buddha Indonesia diselenggarakan pada tanggal 8 Mei 1979 di Yogyakarta. Hasil kongres itu antara lain Kode Etik, Kriteria Agama Buddha, Ikrar Umat Buddha Indoensia dan pengukuhan Hasil Keputusan Lokakarya Pemantapan Ajaran Agama Buddha Dengan Kepribadian Nasional Indonesia.

Ikrar Umat Buddha yang isinya antara lain akan melaksanakan dengan sepenuh hati dan sebaik- baiknya semua Ketetapan dan Keputusan Kongres Umat Buddha Indonesia, dinyatakan dalam forum terbuka dihadapan Menteri Agama Alamsyah Ratu Perwiranegara dalam Upacara Waisak Nasional pada tanggal 10 Mei 1979 di Candi Mendut dan ditandatangani oleh semua Sangha dan Majelis Agama Buddha, termasuk NSI yang pada waktu itu mengakui sebagai Agama Buddha yang sama dengan Majelis-majelis lainnya.

Hasil Kongres Umat Buddha tersebut merupakan dasar dan besar artinya untuk mewujudkan kerukunan, persatuan dan kesatuan umat Buddha di Indonesia. Oleh sebab itu, akan dikukuhkan dalam Kongres I WALUBI yang dilaksanakan pada 8 sampai 11 Juli 1986 di Jakarta. Dengan adanya hasil Kongres yang merupakan dasar kerukunan, persatuan dan kesatuan umat Buddha bukanlah berarti kerukunan itu dapat segera tercipta. Tidaklah mudah untuk melaksanakan program Walubi pada tahun-tahun pertama terbentuknya.

Berdirinya Majelis Buddhayana Indonesia (MBI)
Pada tahun 1979 juga diadakan Kongres MUABI yang kemudian menghasilkan perubahan nama organisasi menjadi Majelis Buddhayana Indonesia.

Penyimpangan
Pada tanggal 27 sampai 28 Februari 1982, dengan dalih Anggaran Dasar WALUBI tidak sah, maka diadakan Kongres Luar Biasa WALUBI untuk membuat Anggaran Dasar baru. Hasil dari Kongres Luar Biasa tersebut adalah penggantian DPP WALUBI. Ketua umum yang baru adalah Soemantri Mohammad Saleh dari Majelis Buddhayana Indonesia dan Seno Sunoto dari Nichiren Shoshu Indonesia sebagai Sekjen.

Penggantian pimpinan WALUBI tahun 1982 tidaklah membawa peningkatan pada kerukunan intern Umat Buddha dan terlaksananya program WALUBI, tetapi sebaliknya Sambutan Hari Raya Waisak dari Seno Sutono selaku Sekjen WALUBI yang dimuat dalam surat kabar ‘Sinar Harapan’ pada tahun 1983 adalah bertentangan dengan kode etik dan hasil lokakarya pemantapan ajaran Agama Buddha. Dalam sambutannya itu Seno Sutono mengubah Hari Raya Waisak (Vesak) sebagai hari balas budi bagi umat Buddha yang berdasarkan pada filsafat dan pandangan hidup orang Jepang.

Protes-protes dalam surat kabar dapat dihentikan agar tidak menimbulkan keresahan dan mengganggu kerukunan lebih lanjut dikalangan umat Buddha. Masalah tersebut akan diselesaikan oleh DP WALUBI Pusat. Akan tetapi masalah tersebut tidak pernah diselesaikan.

Kemudian pada awal tahun 1985 timbul kembali kepermukaan keresahan dikalangan umat Buddha di Jawa Tengah, terutama di Wonogiri tentang adanya Buddha lain disamping Buddha Gotama. Dalam konsultasi pejabat Direktorat Jendral Bimas Hindu-Buddha dengan pemuka Agama Buddha, Seno Sutono mengakui bahwa Nichiren Daisyonim adalah seorang Buddha.

Permasalahan tentang adanya dua Buddha yang bertentangan dengan kriteria Agama Buddha, kode etik dan hasil lokakarya pemantapan ajaran Agama Buddha dan merusak kerukunan intern umat Buddha, tidak diselesaikan oleh DPP WALUBI hingga pada Kongres I WALUBI tahun 1986.

Fasilitas Keagamaan
Uposathagara atau gedung uposatha merupakan suatu bangunan induk dari suatu arama (padepokan) yang digunakan untuk berbagai kegiatan yang berhubungan dengan kegiatan ke-vinaya-an, salah satunya adalah kegiatan upasampada (penahbisan) para bhikkhu/bhikkhuni.

Pada tanggal 24 Agustus 1985 dilakukan pengukuhan uposathagara yang terletak di Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya, Jakarta. Upacara dipimpin oleh Somdet Phra Nyayasamvara dari Wat Bovoranives, Bangkok, Thailand yang datang bersama lebih dari sepuluh orang Bhikkhu dari Thailand. Yang juga banyak perannya dalam pembangunan uposathagara tersebut adalah Phra Sombat Pavito Thera (juga dari Thailand).

Dengan adanya uposathagara tersebut, maka para calon Bhikkhu dari Indonesia tidak perlu lagi harus ke Thailand untuk ditahbiskan. Maka, untuk pertama kalinya, tepatnya pada 6 Desember 1987, uposathagara itu dipergunakan untuk menahbiskan tiga orang Bhikkhu Indonesia dengan Y.M. Sukhemo Thera sebagai upajjhaya (penahbis). Tiga orang Bhikkhu adalah Y.M. Bhikkhu Jagaro, Y.M. Bhikkhu Gandhako (alm.), dan Y.M. Bhikkhu Khantidharo.

Kongres I WALUBI
Pada tanggal 8 sampai 11 Juli 1986, dilaksanakanlah Kongres I WALUBI yang dibuka oleh Presiden Soeharto di Istana Negara. Kongres ini mengukuhkan hasil-hasil Kongres Umat Buddha Indonesia tentang kode etik, kriteria Agama Buddha di Indonesia, Agama Buddha dengan kepribadian nasional Indonesia, ikrar umat Buddha Indonesia. Dalam Kongres I WALUBI tersebut terpilih sebagai ketua umum WALUBI adalah Y.M. Bhikkhu Girirakkhito Maha Thera dari Sangha Theravada Indonesia dan wakilnya adalah Drs. Aggi Tjetje dari Majelis Rohaniawan Tridharma Seluruh Indonesia, serta Y.M. Bhikkhu Ashin Jinarakkhita Maha Thera sebagai ketua dan Maha Pandita Sumedha Widyadharma sebagai wakil ketua.

Sidang Khusus Vidhayaka Sabha WALUBI
Kontroversi Nichiren Shoshu Indonesia yang terjadi sebelum Kongres I WALUBI akhirnya mencapai puncaknya.

Sidang Khusus Vidhayaka Sabha WALUBI pada tanggal 8 Juli 1987 dan Sidang DPP WALUBI tanggal 9-10 Juli 1987 menjadi sidang-sidang yang penting. Karena melalui sidang-sidang itu, Vidhayaka Sabha WALUBI mengambil keputusan bulat mengenai Nichiren Shoshu Indonesia (NSI) dengan tidak mengakuinya sebagai sebuah Majelis Agama Buddha di Indonesia. Dasar yang dipakai antara lain, NSI ternyata berisi ajaran dan doktrin yang menyimpang/menyeleweng dari Agama Buddha yang berpedoman pada Kitab Suci Tripitaka/Tipitaka secara utuh terpadu sebagaimana yang diajarkan oleh Sang Buddha Gotama/Sakyamuni.

Keputusan ini kemudian dilaksanakan oleh DPP WALUBI dengan mengeluarkan NSI dari keanggotaan WALUBI pada tanggal 10 Juli 1987 dengan SK No. 01/DPP/WALUBI/VII/87.

Setelah peristiwa itu, WALUBI terdiri dari 3 (tiga) Sangha dan 6 (enam) Majelis Agama Buddha.

Pengabdian
Tanggal 16 Oktober 1988 untuk pertama kali di Indonesia men-divisudhi-kan 3 (tiga) orang Sarjana Agama Buddha (jurusan Dharmacariya) lulusan Sekolah Tinggi Agama Buddha NALANDA. STAB NALANDA ini dikelola oleh Yayasan Dana Pendidikan Buddhis Nalanda dan terdaftar di Direktorat Jendral Bimas Hindu dan Buddha No. H/9/SK/1988. Bapak Mulyadi Wahono, SH adalah direktur dari STAB NALANDA, jabatan mana yang dipegangnya sejak diresmikannya Akademi Buddhis Nalanda (pandahulu dari STAB NALANDA) oleh Dirjen Bimas Hindu & Buddha, Bapak Drs. Gde Puja, SH pada tanggal 11 Juni 1979.

Pada tanggal 19 November 1988 diadakan Pasamuan III/1988 Sangha Theravada Indonesia di Vihara Mendut, Magelang, yang dihadiri 14 bhikkhu peserta, salah satu keputusannya adalah perubahan kepemimpinan Sangha Theravada Indonesia.

Pada Juli 1991 Sangha Theravada Indonesia (STI) menyerahkan upadi (tanda penghargaan) kepada tiga orang tokoh umat Buddha, bertempat di Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya, Jakarta. Ketiganya adalah Sumedha Widyadharma mendapat gelar Sasana Cariya, (alm.) Anton Haliman mendapat gelar Sasana Pala, dan Visakha Hartati Tjakra Murdaya mendapat gelar Sasana Pala. Gelar penghargaan ini merupakan gelar kehormatan tertinggi saat itu dan juga yang pertama kali diberikan oleh STI.

Setelah 16 tahun Agama Buddha menjadi agama resmi yang diakui oleh negara, pada 12 Juli 1994 untuk pertama kalinya, Presiden Soeharto (saat itu) dan (alm.) Ny. Tien Soeharto bersedia menghadiri Dharmasanti Waisak 2538/1994 di Jakarta Hilton Convention Centre bersama dengan Wakil Presiden Tri Sutrisno dan Ny. Tuti Try Sutrisno serta sejumlah menteri.

Pada 18 Agustus 1994 dibentuk satu lembaga Buddhis baru yang diberi nama Keluarga Cendekiawan Buddhis Indonesia (KCBI) dengan Siti Hartati Murdaya, MBA sebagai Ketua Umum dan Drs. Oka Diputhera sebagai Sekjen.

Tanggal 2 April 1995 bertempat di Vihara Mendut, Mungkid, Jawa Tengah, Sangha Theravada Indonesia menganugerahkan tanda penghormatan kepada tiga orang Pengurus Pusat Majelis Pandita Buddha Dhamma Indonesia (MAPANBUDHI, sekarang MAGABUDHI). Penghargaan itu diberikan karena pengabdian terus menerus disertai dedikasi yang tinggi selama lebih dari dua puluh lima tahun dan turut aktif mengembangkan Agama Buddha Theravada di Indonesia. Mereka adalah Drs. Teja S. Mochtar Rashid (mendapat gelar Dhamma Visarada), Herman Satriyo Endro, S.H. (Dhamma Lankara), dan dr. R. Surya Widya (Sasana Dhaja).    Kemelut Dalam WALUBI
Perwalian Umat Buddha Indonesia (WALUBI) sebagai organisasi besar yang mewadahi seluruh umat Buddha, nampaknya tidak luput dari permasalahan dan kemelut yang muncul dari dalam tubuh organisasi ini. Pelanggaran kode etik, buruk sangka, kesalahpahaman sampai pada pemaksaan kepentingan pribadi mewarnai permasalahan, kemelut serta konflik internal yang berkepanjangan dalam tubuh WALUBI.

Pada tahun 1990, Wakil Ketua Umum WALUBI : Drs. Aggie Tjetje, SH. dipecat dengan tidak hormat oleh DPP WALUBI melalui Rapat Pleno DPP WALUBI karena melakukan tindakan indisipliner organisasi dan menyalahgunakan wewenang serta memecah belah kerukunan umat Buddha Indonesia.

Pada tanggal 7 Desember 1992 diadakan Kongres atau MUNAS II WALUBI yang dibuka oleh Presiden Soeharto di Istana Negara. Kemudian rapat-rapat Munas II ini dilakukan di Hotel Horison, Jakarta sampai tanggal 9 Desember 1992.

Pada tahun 1994, dalam pembentukan AD/ART WALUBI, muncullah AD/ART “kembar”. AD/ART yang pertama (AD/ART Munas) merupakan AD/ART yang disusun oleh Tim yang diangkat oleh Munas. Sedangkan AD/ART yang lainnya (AR/ARD Pleno) merupakan AD/ART yang disusun oleh Tim Perumus Kecil dari rapat Pleno yang dimotori oleh Ketua Dewan Penyantun, Siti Hartati Murdaya.

Diawali dengan adanya AD/ART “kembar” dan yang diikuti dengan pemecatan 13 pengurus DPP WALUBI yang berasal dari keanggotaan Majelis Budhayana Indonesia (MBI) dan Sangha Agung Indonesia (SAGIN), kemelut dalam tubuh WALUBI terus berlanjut dengan pembekuan keanggotaan Majelis Buddhayana Indonesia dengan SK No. 135/SK/DPP-WLB/1.8/X/94. Kemudian WALUBI mengeluarkan Surat Keputusan No. 141/SK/DPP-WLB/1.8/94 tentang Pemberhentian Sangha Agung Indonesia (SAI/SAGIN) dan Majelis Buddhayana Indonesia (MBI) dari WALUBI.[4]

Dengan dibekukannya keanggotaan SAI dan MBI oleh WALUBI, maka Ditjen Bimas Hindu-Buddha segera menerbitkan surat Nomor H/BA.01.2/1810/XII/94 tanggal 23 Desember 1994 perihal pemberhentian Organisasi SAGIN dan MBI yang antara lain berisikan bahwa SAGIN dan MBI dibina oleh Departemen Dalam Negeri dan PAKEM Kejaksaan Agung RI. Diberhentikannya Sangha Agung Indonesia dan Majelis Buddhayana Indonesia dari keanggotaan WALUBI pada 15 Oktober 1994, menandai berakhirnya kemelut dalam tubuh WALUBI untuk saat itu.

Dikeluarkannya SAI dari keanggotaan WALUBI yang didasari oleh kesalahpahaman terhadap praktik keagamaan yang dilakukan oleh beberapa anggota SAI dan MBI, menimbulkan kritik dari banyak pihak. Kesalahpahaman ini jelas tertampak dari “fatwah” WALUBI No. 001/WS-WLB/III/1995 yang menyatakan bahwa SAI dan MBI sebagai aliran Kepercayaan dan bukan organisasi. Dan bukan saja kesalahpahaman dari pengurus WALUBI yang dikritisi tetapi juga sikap yang tidak menghormati Sangha Agung Indonesia sebagai lembaga ulama (bhikkhu/bhiksu) yang telah mempelopori kebangkitan Agama Buddha Indonesia, juga mendapatkan kritikan keras.

Kemelut WALUBI dengan SAI dan MBI nampaknya tidak berhenti setelah SAI dan MBI dikeluarkan dari keanggotaan WALUBI. Kemelut terus berlanjut hingga tumbangnya Orde Baru pada tahun 1998.⁠⁠⁠⁠

No comments:

Post a Comment