Bergaul Dengan Orang Bijak
Diambil dari Artikel Kebijaksanaan Buddhis..
Dikisahkan pada suatu waktu, ada sejumlah besar pedagang yang sedang berlayar ke samudera dengan sebuah kapal. Ditengah perjalanan, kapal mereka diterjang badai dengan amat dahsyatnya sehingga mengalami kerusakan berat. Bagian dasar kapal bocor dan air sudah mulai masuk ke dalam. Diancam bahaya seperti ini mereka menjadi sangat cemas dan ketakutan.
Masing-masing mencoba mengatasi kejadian yang menegangkan itu dengan cara sendiri-sendiri. Ada yang menangis meraung-raung meratapi 'nasib' yang sedang menimpa diri mereka.
Ada juga yang dengan gencar menyebut mantra atau aji-aji yang dipercaya dapat menangkal badai. Ada pula yang sambil berkomat-kamit mengeluarkan segala jimat, 'hu' atau pusaka yang selama ini selalu dibawa-bawa kemana pun mereka pergi. Mereka percaya benda-benda itu mampu melindungi diri mereka dari segala macam bahaya. Selain itu ada pula yang sembari menjanjikan kaul bersujud memohon ampun kepada dewa badai supaya tidak murka dan berhenti meniupkan badai. Adapula yang menengadahkan kedua telapak tanggannya ke langit, mencoba memelas kepada Sang Pencipta sekaligus pencabut nyawa bagi umat manusia. Mereka mencoba memelas dengan memperlihatkan ketaatan, kepatuhan, kesetiaan, kebaktian dan ketakwaan kepadanya supaya hari kematiannya diperpanjang lagi.
Di antara pedagang itu, ternyata ada seorang laki-laki yang bukannya sibuk mencari jalan keluar dalam mengatasi musibah tersebut, melainkan hanya duduk dengan tenangnya di atas geladak kapal. Tidak ada rasa takut atau cemas sedikit pun di wajahnya, seolah-olah kejadian itu sama sekali tidak tampak oleh matanya, jerit-jerit kekhawatiran itu tidak terdengar oleh telinganya, suasana yang menegangkan itu tidak mencekam batinnya, dan bahaya yang mengerikan itu tidak disadarinya.
Melihat pemandangan yang aneh tersebut, semua teman seperjalanannya merasa sangat heran. Mereka kemudian berbondong-bondong mendatanginya untuk menanyakan mengapa ia bersikap demikian.
Sebelum menjelaskan alasannya, laki-laki bijak itu mengungkapkan betapa sia-sianya semua upaya yang ditempuh oleh teman-temannya dalam mengatasi masalah tersebut. Kehidupan umat manusia, juga makhluk-makhluk lainnya, sesungguhnya tidaklah bergulir mengikuti guratan nasib atau takdir yang telah ditentukan sebelumnya.
Dunia ini bukanlah sebuah panggung sandiwara dimana umat manusia dipaksa memerankan adegan-adegan sebagaimana yang digubah sebelumnya. Setiap makhluk mempunyai hak dan kepercayaan yang kesahihannya tidak pernah terbuktikan.
Fenomena-fenomena alam terjadi dan berubah hanya oleh sebab-sebab yang alamiah atau ilmiah, sama sekali tidak terpengaruh oleh kepercayaan yang seharusnya sudah punah sejak kebangkitan peradaban manusia. Demikian pula dengan jimat, pusaka dan benda-benda keramat lainnya. Yang dapat menjadi pelindung sejati bagi diri seseorang bukanlah sesuatu yang berasa di luar dirinya, apalagi hanya sekedar benda mati yang tak berjiwa semacam itu.
Pada jaman dimana segala kekuatan alam sudah dapat dijelaskan serta dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan, seseorang tidaklah semestinya takut lagi pada dewa-dewa 'tertentu' yang keberadaannya tidak pasti. Sungguh memprihatinkan apabila seseorang termakan oleh promosi tentang tokoh-tokoh fiktif yang digambarkan sebagai penyelamat agung yang senantiasa menolong umat manusia. Setiap orang sesungguhnya dapat menjadi juru selamat bagi diri sendiri.
Karena itu, seseorang hendaknya bersandar pada diri sendiri, bukan kepada makhluk suci lain betapa pun luhur kedudukannya. Hukum Alam tidaklah pernah pandang bulu atau berpihak pada siapa pun, dan tidaklah dapat disuap atau dibujuk dengan berbagai permohonan.
Karena itu, tidaklah perlu berdoa pada suatu makhluk yang bersikap sewenang-wenang, yang eksistensinya sangat meragukan. Manusia bukanlah makhluk rendah yang harus mengemis-ngemis keselamatan apalagi hanya sekedar 'makanan' dan 'rejeki'.
Selanjutnya laki-laki bijak itu menjelaskan mengapa ia sama sekali tidak kelihatan takut, cemas atau khawatir atas bahaya yang mengancam dirinya. Ia hanya duduk dengan tenang karena sudah menyadari serta mempertimbangkan bahwa tidak ada jalan keluar yang wajar dari bahaya tersebut.
Kematian sesungguhnya bukan suatu hal yang menakutkan. Kematian tidak lebih hanyalah padamnya lima kelompok kehidupan. Cepat atau lambat, hal ini pasti menimpa setiap orang. Bagaikan batu karang besar yang puncaknya menjulang ke angkasa, niscaya berubah dan hancur; demikian pula perubahan, kelapukan dan kematian menguasai semua makhluk, tak terkecuali - apakah dia seorang bangsawan, agamawan, pedagang, pekerja atau orang hina-dina. Tidak ada satu makhluk hidup pun yang dapat terhindar dari kematian. Dimana ada kelahiran disitu pula ada kematian. Ini adalah suatu Hukum Alam yang tidak dapat dielakkan.
Bila kita renungkan secara mendalam, seseorang yang dipandang secara duniawi sebagai makhluk yang hidup sebenarnya setiap saat mengalami kematian dan kelahiran kembali yang berulang-ulang. Tidak ada satu bagian pun dair lima kelompok kehidupan yang dapat bertahan terus, kekal.
Rupa atau badan jasmaniah mulai dari yang tertampak dengan jelas sampai dengan sel-sel yang sangat kecil sekalipun senantiasa mengalami perubahan atau kerusakan. Begitu pula dengan perasaan, ingatan, corak batin dan kesadaran. Semua yang berkondisi tidak kekal.
Apabila mempunyai pengertian semacam itu, dan yakin atas perbuatan-perbuatan yang dilakukan semasa hidupnya - yang menjadi salah satu kondisi penentu bagi kehidupan selanjutnya, maka seseorang tidak akan merasa takut, cemas atau khawatir atas kematian yang bakal menimpa dirinya.
Kematian dapat diterima dalam kewajaran. Dengan mengisi kehidupan dengan perbuatan-perbuatan baik melalui pikiran, ucapan dan tindakan - seseorang dapat mengharapkan kehidupan mendatang yang baik dan menetukan kehidupan mendatang. Apabila seseorang tercekam rasa ketakutan yang tak beralasan (perwujudan dari 'dosa'), melekat pada kehidupan, dunia, harta benda, kemasyuran, kedudukan, kehidupan mendatang bagi dirinya dapatlah dipastikan yaitu suatu kehidupan, yaitu kehidupan yang suram, penuh penderitaan.
Sebaliknya dengan menjaga keadaan batin agar tetap tenang serta mengembangkan pengertian benar; maka kehidupan mendatang yang cerah dan menyenangkan adalah suatu harapan yang nyata bagi dirinya. Salah satu dari sekian banyak cara untuk menenangkan batin ialah dengan merenungkan jasa kebajikan yang pernah diperbuat semasa hidupnya.
Diceritakan oleh laki-laki bijak itu bahwa menjelang keberangkatannya menuju samudra, ia telah mempersembahkan dana kepada Sangha, menyatakan pernaungan pada Sang Tiratana, berpantang dari pembunuhan, pencurian, perzinahan. pendusataan dan pemabukan. Jasa kebajikan inilah yang menjadi pokok perenungan bagi dirinya di saat-saat yang kritis. Dalam Agama Buddha, perenungan - perenungan ini disebut Caganussati dan Sila nussati yang merupakan dua di antara 10 macam perenungan (Annusati 10).
Mendengar penjelasan laki-laki bijak itu, hilanglah perasaan takut yang sebelum ini sangat mencekam para pedagang yang sedang mengalami musibah tersebut. Kini sadarlah mereka atas hakikat kehidupan di dunia ini. Timbullah keyakinan yang benar terhadap Sang Tiratana ; Buddha, Dhamma dan Sangha, di hadapan laki-laki bijak itu mereka semua menyatakan kebulatan tekadnya untuk menjalani Pancasila.
Ketika selesai mengucapkan pantangan terhadap pembunuhan, air samudra menggenang hingga sebatas lutut. Ketika selesai mengucapkan pantangan terhadap pencurian, air samudra menggenang sebatas pinggang. Ketika selesai mengucapkan pantangan terhadap perzinahan, air samudra menggenang sebatas dada. Ketika selesai mengucapkan pantangan terhadap pendustaan, air samudra menggenang hingga sebatas leher. Ketika selesai mengucapkan pantangan terhadap mabuk-mabukan, air semudra menggenang sebatas mulut.
Begitu kelima sila selesai diucapkan semuanya, laki-laki bijak itu memberikan nasihat singkat : "Tidak ada pelindung selain diri sendiri. Tidak ada penyelamat lain selain diri sendiri. Bagaimanapun kehidupan mendatang, semua itu tergantung dari diri Anda sendiri, bukan orang lian, dewa, malaikat maupun makhluk adikodrati.
"Anda sekalian hendaknya merenungkan sila yang telah Anda tekadkan untuk dijalankan dengan kesungguhan hati. Pelaksanaan Dhamma yang telah Anda lakukan, inilah yang menjadi pelindung Anda yang sejati."
Para pedagang itu menuruti serta melaksanakan nasihat laki-laki bijak itu. Mereka akhirnya sanggup menyambut kematian dengan penuh ketenangan dan kemantapan diri, seolah-olah menyambut seorang tamu. Begitu kesadaran ajal (cuti-citta) mereka padam, mereka semua terlahir kembali di Alam Surga Tavatimsa. Mereka menikmati kebahagiaan surgawi di alam sana dalam waktu yang lama berkat tekadnya yang kuat dalam menjalankan Pancasila.
Dari kisah di atas, tampaklah dengan jelas betapa besar peranan seorang bijak dalam mengarahkan orang-orang lain pada jalur yang tepat. Dengan modal teladan pribadinya yang nyata dan kearifannya., orang bijak sanggup mengikis habis kesesatan batin yang bercokol pada orang-orang lain dan sebaliknya memupuk keyakinan surgawi, hanyalah sebagian kecil dari banyak manfaat yang dapat diraih dengan menjalin pergaulan dengan orang bijak. Singkat kata,"Bergaul dengan orang bijak" adalah suatu Berkah Utama.
Sementara orang mungkin berpendapat bahwa orang bijak tersebut dapatlah dianggap 'gagal' menolong serta menyelamatkan teman-teman seperjalanannya karena mereka semua akhirnya mati terbenam dalam samudra. Sesungguhnya, makna 'keselamatan' dalam pandangan Agama Buddha memang sangatlah berbeda jauh dengan konsep yang dianut oleh beberapa kepercayaan dan agama lain. Orang bijak bukanlah seorang Buddha Abadi, bodhisattva ideal ataupun juru selamat yang menghidupkan orang mati, menyembuhkan sakit, atau menyelamatkan dari segala bencana malapetaka bagi mereka yang percaya atau melafalkan namanya.
Bagi orang bijak, semua itu sesungguhnya hanyalah suatu keselamatan yang semu ~ walaupun seandainya merupakan suatu kenyataan bukan semata-mata dongeng belaka. Apalah artinya suatu kehidupan, kesembuhan atau keselamatan, apabila seseorang tidak tahu akan kesunyataan mulia (ariya-sacca). Orang bijak tidak ingin menjadi seorang penghibur yang berusaha mengelabuinya, menutupi atau menjauhkan orang-orang lain dari hakikat hidup. Tetapi, sebaliknya dengan berbagai cara orang bijak senantiasa berusaha agar mereka dapat menyadari, menatap serta menerima hakikat hidup dengan pengertian benar. Inilah sesungguhnya keselamatan yang sejati.
Pergaulan dengan orang bijak adalah suatu faktor penunjang bagi timbulnya kebajikan, pengetahuan, pandangan benar, kearifan dan kebijaksanaan.
No comments:
Post a Comment