SEMUA ORANG SEDANG SAKIT | YM Bhikkhu Uttamo
Beberapa waktu yang lalu saya berkunjung ke salah satu rumah sakit. Kunjungan ini dilakukan untuk memberikan dorongan semangat kepada seorang umat Buddha yang sedang dirawat di sana akibat penyakit yang dideritanya. Namun, karena saya datang sebelum jam berkunjung tiba, saya harus menunggu terlebih dahulu di depan pintu gerbang rumah sakit tersebut. Saya duduk dengan tenang di sebuah bangku bersama seorang bapak yang belum dikenal. Kami saling berdiam diri. Lama kelamaan, bapak di samping saya mulai memperhatikan saya dari ujung kaki sampai dengan ujung kepala. Mungkin karena didorong rasa ingin tahunya akibat ‘penampilan’ saya yang ‘aneh’, bapak itu bertanya:
“Apa bapak sedang sakit?”
“Ya. Saya memang sedang sakit”, jawab saya setelah berpikir sejenak. Mungkin, bapak itu mengira saya sakit dari jubah yang saya kenakan seolah menyelimuti mulai kaki sampai dengan leher. Mendengar jawaban yang sedikit mengagetkan dan diucapkan dengan serius bapak itu kemudian menggeser duduknya agar menjauh ke ujung bangku. Mungkin ia takut tertular penyakit saya. Sejurus kemudian, ia bertanya kembali:
“Bapak sakit apa?”
“Saya sakit seperti sakit yang dialami oleh semua orang. Bedanya, saya mengetahui kalau saya sakit sedangkan orang lain belum tentu menyadarinya, termasuk Bapak.” Kali ini saya menjawab sambil tersenyum.
Mendengar jawaban demikian, bapak itu semakin penasaran. Ia kemudian bertanya:
“Sakit apakah itu? Karena setahu saya, saya merasa sehat-sehat saja sampai saat ini.”
“Saya, bapak dan semua orang mengalami sakit ketika berpisah dengan segala yang dicinta dan bertemu dengan segala yang dibenci. Benarkan demikian keadaannya?”
Bapak itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Berawal dari rasa penasaran, pembicaraan dilanjutkan dengan diskusi tentang penerapan Buddha Dhamma dalam kehidupan sehari-hari. Pada intinya, manusia memang telah mengetahui secara teori bahwa hidup adalah tidak kekal. Namun, pada kenyataan atau prakteknya, manusia sangat sulit menerima kenyataan jika ia harus berpisah dengan segala yang dicintainya.
Pagi akan menjadi siang. Siang berubah menjadi senja. Senja berlalu, datanglah malam. Di penghujung malam, tibalah pagi kembali. Demikian seterusnya. Proses perubahan ini selalu terjadi di setiap segi kehidupan. Suasana seindah apapun juga, suatu saat pasti akan berakhir dan berganti dengan suasana yang kurang menyenangkan. Kesehatan seseorang bila telah tiba masanya akan berubah menjadi sakit. Sebaliknya, suasana tidak nyaman juga akan berubah menjadi nyaman, penyakit akan mengalami kesembuhan walaupun suatu saat mungkin seseorang akan mengalami sakit kembali.
Lalu bapak itu kembali bertanya :”Bagaimanakah cara untuk ‘sembuh’ dari ‘penyakit’ umum ini?” Saya kemudian berusaha menjelaskan secara sederhana tentang pengertian kerelaan. Pada awalnya, seseorang hendaknya berusaha berlatih merelakan berbagai barang yang ia miliki. Latihan kerelaan pada barang ini akan membentuk kebiasaan untuk siap menerima kenyataan apabila ia harus berpisah dengan berbagai jenis barang yang ia sukai. Perpisahan pada barang ini dapat berbentuk kerusakan barang atau bahkan kehilangan barang.
Selain berlatih kerelaan pada barang, seseorang hendaknya juga mulai berusaha berlatih merelakan keakuan. Dalam kerelaan ini, seseorang hendaknya berusaha melatih diri untuk memperhatikan, melayani serta membahagiakan fihak lain. Dengan kerelaan keakuan ini, seseorang dibiasakan untuk dapat menerima segala kekurangan yang mungkin saja terjadi dalam hubungan antar pribadi. Seseorang akan lebih mudah menerima lingkungan yang dipenuhi dengan kekurangan serta kelebihan sebagaimana adanya. Dengan kerelaan, seseorang akan lebih siap menghadapi perpisahan dengan segala yang dicinta dan bertemu dengan segala yang dibenci secara lebih mudah.
Bapak itu mengangguk dalam-dalam. Nampak sekali di lekuk-lekuk wajahnya bahwa ia sedang berusaha merenungkan isi pembicaraan yang baru saja didengarnya.
Waktu berjalan tiada henti. Pintu gerbang rumah sakit telah dibuka. Para pengujung satu persatu mulai memasuki rumah sakit. Saya mengajak bapak tersebut untuk berjalan bersama sambil melanjutkan pembicaraan. Tidak lama kemudian, saya harus melambaikan tangan sebagai tanda perpisahan karena kamar pasien yang kami kunjungi tidak sama.
Meskipun sudah agak lama terjadi, pembicaraan singkat tetapi mendalam ini menjadi salah satu kenangan indah saya. Karena hasil pembicaraan itu telah membuktikan bahwa keindahan serta manfaat Buddha Dhamma yang luar biasa ini dapat dirasakan oleh siapapun juga tanpa harus mengenal tradisi maupun ritual Agama Buddha. Secara singkat dapat dikatakan bahwa seseorang mempelajari serta melaksanakan Ajaran Sang Buddha tanpa harus menjadi umat Buddha terlebih dahulu. Seseorang hanya perlu membuka diri untuk mendengar, merenungkan serta mencoba melaksanakan Buddha Dhamma dalam kehidupan sehari-hari. Kemauan ini akan mendatangkan kebaikan, kebahagiaan serta ketenangan dalam menghadapi berbagai kenyataan hidup yang selalu berubah. Adalah kenyataan yang mudah sekali ditemui bahwa suka menjadi duka, dipuji dicela, untung rugi, mendapatkan kedudukan maupun diturunkan jabatan. Semua adalah kenyataan hidup yang harus dihadapi dengan kerelaan. Semakin tinggi tingkat kerelaan seseorang, semakin tenang batinnya dalam menghadapi segala perubahan tersebut.
Semoga sekelumit kisah nyata ini akan menjadi pembangkit semangat setiap orang untuk lebih banyak mengenalkan Dhamma yang luar biasa membahagiakan ini kepada orang yang dicintai maupun lingkungan masing-masing.
Semoga demikianlah adanya
Semoga semua mahluk selalu hidup berbahagia.
No comments:
Post a Comment