Thursday 19 January 2017

Dewa Brahma Baka -- Yang Keliru Mengenai Keabadian.

 KISAH HIDUP SANG BUDDHA
JUDUL : Dewa Brahma Baka -- Yang Keliru Mengenai Keabadian.
Kompilasi dari Ti-Pitaka oleh : Ashin (Bhikkhu) Kusaladhamma.

Pada suatu ketika, tatkala Yang Terberkahi tengah tinggal di Sāvatthi, di Wihara Jetavana, Ia memanggil para bhikkhu dan membabarkan khotbah yang disebut “Atas Undangan Sesosok Brahmā” (Brahmanimantanika Sutta).


“Para Bhikkhu, pada suatu kesempatan, ketika Saya tengah duduk di kaki pohon sāla kerajaan di Hutan Subhaga di dekat Kota Ukkaṭṭhā, Saya menyadari bahwa dalam batin Brahmā Baka telah
timbul pandangan salah tentang keabadian (sassata diṭṭhi). Lalu, dengan seketika Saya muncul di alam itu sebagaimana halnya seorang yang kuat merentangkan lengannya yang tertekuk ataupun menekuk lengannya yang terentang. Tatkala Brahmā Baka melihat Saya tiba, ia menyambut dengan berkata:

‘Mari, Tuan yang baik! Selamat datang, Tuan yang baik! Telah lama, Tuan yang baik, Engkau tidak berkunjung ke mari. Tuan yang baik, sesungguhnya, dunia brahmā ini tetap, kekal, abadi, mutlak, dan tak akan lenyap karena di sini makhluk tidak terlahir, tidak menua, tidak mati, tidak lenyap, tidak terlahir kembali. Dan di luar alam ini, tiada Pembebasan lain.’”

“Para Bhikkhu, tatkala Brahmā Baka berbicara seperti itu, Saya berkata: “Brahmā Baka berpandangan salah. Ia menyatakan apa yang tidak tetap sebagai tetap, apa yang tidak kekal sebagai kekal, apa yang tidak abadi sebagai abadi, apa yang tidak mutlak sebagai mutlak, dan apa yang akan lenyap sebagai yang tidak akan lenyap. Dan ia berkata bahwa di alam brahmā tiada satu makhluk pun yang terlahir, menua, mati, lenyap, dan yang muncul kembali. Walaupun terdapat Pembebasan di luar alam itu, ia katakan bahwa di luar alam itu tiada Pembebasan lainnya.”

“Lalu Māra, Si Jahat, merasuki pikiran sesosok Brahmā Pengiring yang muda, lalu berkata kepada Saya:

‘Bhikkhu! Janganlah tidak mempercayainya, brahmā ini adalah Brahmā Agung (Mahā Brahmā), Yang Tertinggi, Yang Tiada Banding, Yang Mahatahu, Yang Mahakuasa, Sang Pencipta, Yang Mahamulia, Bapa bagi mereka yang telah ada dan yang akan ada. Sebelum Engkau ada, Bhikkhu, di dunia terdapat para bhikkhu dan brahmin yang menyangkal dan menjauhi unsur tanah, …unsur air, …unsur api, …unsur udara, …makhluk hidup, …para dewa, …Pajāpati, …yang menyangkal dan menjauhi sang brahmā; saat tubuh mereka terurai, ketika napas mereka terputus, mereka terlahir kembali di alam rendah. Dan kembali, sebelum Engkau ada, Bhikkhu, terdapat para bhikkhu dan brahmin di dunia ini yang mengagumi dan memuja semuanya ini; dan saat tubuh mereka terurai, ketika napas mereka terputus, mereka terlahir kembali di alam bahagia yang lebih tinggi. Karenanya, Bhikkhu, kukatakan kepada-Mu, lakukanlah saja, hanya apa yang dikatakan sang brahmā; janganlah menentang kata-kata sang brahmā, karena jika Engkau menentang kata-katanya, Engkau akan seperti orang yang menghalau kemuliaan dengan tongkat ketika kemuliaan itu tiba, atau seperti orang yang kaki dan tangannya kehilangan pegangan pada bumi selagi ia terjatuh ke jurang yang dalam. Karenanya, Bhikkhu, lakukanlah saja hanya apa yang dikatakan sang brahmā dan janganlah menentang kata-kata sang brahmā. Tidakkah Engkau lihat kumpulan dewa agung yang berada di sini, Bhikkhu?’”

“Demikianlah, Māra berusaha memancing Saya dengan merujuk pada para pengiring sang brahmā sebagai saksinya. Setelah ini terucap, Saya berkata kepada Māra, Si Jahat: ‘Aku mengetahuimu, Si Jahat, janganlah berpikir: “Ia tidak mengetahui diriku.” Engkau adalah Māra, Si Jahat. Dan sang brahmā beserta kelompok pengiringnya dengan seluruh anggotanya telah terjatuh ke dalam tanganmu dan dipengaruhi olehmu. Engkau, Si Jahat, mungkin berpikir: ”Bhikkhu ini mungkin bisa terjatuh ke dalam tanganku dan dipengaruhi olehku.” Sesungguhnya, Aku tidak terjatuh ke dalam tanganmu maupun terpengaruh olehmu.’”

“Para Bhikkhu, seusai Saya berkata demikian kepada Māra,
Brahmā Baka berkata kepada Saya: ‘Tuan yang baik, kukatakan apa yang tetap sebagai tetap, apa yang kekal sebagai kekal, apa yang abadi sebagai abadi, apa yang mutlak sebagai mutlak, dan apa yang tidak akan lenyap sebagai apa yang tidak akan lenyap. Aku katakan apa yang tidak terlahir, tidak menua, tidak mati, tidak lenyap, dan yang tidak muncul kembali sebagai tidak terlahir, tidak menua, tidak mati, tidak lenyap, dan yang tidak muncul kembali. Dan aku katakan bahwa tidak terdapat Pembebasan lain di luar alam ini karena tidak terdapat Pembebasan lain di luar alam ini.’”

“Sebelum Engkau ada, Bhikkhu, terdapat para bhikkhu dan
brahmin di dunia ini yang masa pertapaannya berlangsung selama
seluruh hidup-Mu. Mereka mengetahui bahwa terdapat
Pembebasan di alam lain karena memang terdapat Pembebasan di
alam lain; dan bahwa tidak terdapat Pembebasan di alam lain
karena memang tidak terdapat Pembebasan di alam lain. Karena
itulah, Bhikkhu, kukatakan kepada-Mu bahwa di luar alam ini
Engkau tak akan menemui Pembebasan. Dan jika Engkau
mencobanya, Engkau hanya akan menjadi letih dan kecewa. Jika
Engkau mempercayai tanah, ... air, ... api, ... udara, ... makhluk
hidup, ... para dewa, ... Pajāpati, … Jika Engkau percaya pada
brahmā, Engkau akan hidup dekat denganku, berada dalam
kekuasaanku, dan akan menjadi pengikutku.”

“Aku juga mengetahui hal itu, Brahmā. Tetapi, Aku juga mengetahui akan rentang kekuasaan dan pengaruhmu seperti ini: Brahmā Baka memiliki kekuatan yang sedemikian besarnya, sedemikian berkuasanya, dan memiliki ketenaran dan pengiring yang sedemikian hebatnya. Aku mengetahui akan rentang kekuasaan dan pengaruhmu: Sejauh peredaran bulan dan matahari, Yang menyinari dan menerangi empat penjuru, Seribu kali lebih jauh dari ini, Kekuatanmu mampu mengerahkan pengaruhnya. Dalam alam sejauh itu, Engkau mengetahui segala sesuatunya, Baik mereka yang terkuasai nafsu maupun yang tidak, Dalam alam ini dan semesta lainnya, Awal dan akhir makhluk hidup.”

“Sedemikian jauhnyalah, Brahmā, Aku mengetahui rentang
kekuasaan dan pengaruhmu. Karena itu, Brahmā Baka, Aku benar-benar mengetahui bahwa engkau memiliki kekuatan yang sedemikian besarnya, sedemikian berkuasanya, dan memiliki ketenaran dan pengiring yang sedemikian hebatnya, hanya sampai
sebatas itu.”

“Namun, Brahmā, terdapat tiga alam brahmā lainnya yang
tidak engkau ketahui maupun engkau lihat. Brahmā, terdapat suatu
alam lain yang disebut alam Pancaran Mengalir (Ābhassara). Dulu,
setelah meninggal di sana, engkau muncul lagi di sini. Namun, karena berdiam terlalu lama, ingatanmu akan alam itu menghilang; karenanya engkau tidak mengetahui maupun melihatnya, namun Aku mengetahui dan melihatnya. Brahmā, karena inilah engkau bukanlah tandingan-Ku dalam pengetahuan adikodrati. Aku mengetahui bukan lebih sedikit, namun jauh lebih banyak. Dan demikian juga dengan alam-alam lainnya yang lebih tinggi, yaitu alam Kemenangan Gemilang (Subhakiṇha) dan alam Buah Agung (Vehapphala), yang Kuketahui dan yang Kulihat, namun yang tidak engkau ketahui dan lihat. Dan dari sini, Brahmā, jelaslah bahwa dalam hal pengetahuan adikodrati, engkau bukanlah tandingan-Ku. Aku mengetahui jauh lebih banyak, bukan lebih sedikit.”

“Dahulu kala, ketika tiada Buddha di dunia ini, kamu terlahir di alam manusia sebagai putra dari keluarga yang baik. Seiring berlalunya waktu, ia akhirnya menyadari bahaya dari kenikmatan indrawi; ia mengetahui bahwa hidup berumah tangga tidak bisa memberikan nya kebahagiaan sejati. Karena merasa muak seperti itu, ia memutuskan: ‘Aku ingin menghentikan kelahiran, penuaan, penyakit, dan kematian.’ Lalu ia meninggalkan keduniawian dan menjadi petapa. Ia membangun gubuk kecil di tepi Sungai Gaṅgā, serta menikmati ketenangan hidup suci. Di sana ia berlatih dengan tekun dalam meditasi kasiṇa serta mencapai penyerapan meditatif (jhāna) dan mengembangkan pelbagai kekuatan adikodrati. Demikianlah, ia menjalani hidupnya dengan menikmati kebahagiaan jhāna.”

“Setelah meninggal, ia terlahir kembali di alam Vehapphala, yang bersesuaian dengan pencapaian jhāna keempat, dan memiliki rentang hidup sepanjang lima ratus mahā kappa. Setelah hidup selama itu di sana, ia meninggal dan terlahir kembali di alam berikutnya yang lebih rendah, yaitu alam Subhakiṇha, yang bersesuaian dengan pencapaian jhāna ketiga. Dan setelah hidup selama enam puluh empat mahā kappa di alam brahmā tersebut, ia meninggal dan terlahir kembali di alam berikutnya yang lebih rendah, yaitu alam Ābhassara dari jhāna kedua. Setelah hidup di sana selama delapan mahā kappa penuh, ia terlahir kembali di alam jhāna pertama, sebagai sesosok Mahā Brahmā, yang hanya memiliki rentang hidup sepanjang asaṅkhyeyya kappa. Rentang hidup ini begitu pendek jika dibandingkan dengan rentang hidup di alam Vehapphala, namun sangat lama dalam hitungan umur manusia.”

“Demikianlah, Brahmā Baka pernah hidup di pelbagai alam
brahmā untuk kurun waktu yang sangat lama. Pada awal
kehidupannya sebagai Mahā Brahmā, Brahmā Baka mampu
mengingat kehidupannya yang lampau dan pencapaian
pencerapan meditasi khususnya. Namun, karena berdiam di sana
terlalu lama, ia lupa akan hal-hal tersebut dan akhirnya memiliki
pandangan salah akan keabadian. Dan dalam hidupnya sekarang
ini, ia mengajarkan para pengiringnya (brahmapārisajja), yang
berada dalam cakupan kekuasaan ilahinya, mengenai keabadian.”

“Setelah Saya berkata demikian, Brahmā Baka berpikir:
‘Bhikkhu Gotama ini mengetahui rentang hidup serta alam
kehidupanku yang lampau, dan Ia juga mengetahui pencapaian
latihan meditasi yang pernah kucapai. Nah, bagaimana jika
kutanyakan kepada-Nya mengenai perbuatan baik yang telah
kulakukan dalam kehidupan-kehidupanku yang lampau.”

Menjawab pertanyaan Brahmā Baka, Yang Terberkahi
mengisahkan kepadanya mengenai perbuatan baiknya pada masa
lampau:

“Suatu ketika, ada serombongan lima ratus gerobak yang mengangkut barang dagangan. Tatkala mereka melintasi padang
pasir pada malam hari, lembu-lembu yang dikekang untuk menarik
kereta yang paling depan tersesat. Demikian juga gerobak-gerobak
lainnya. Namun para saudagar itu baru menyadarinya ketika hari
sudah fajar. Dengan segera, kayu bakar, air, dan persediaan lainnya
menipis habis. Seraya berpikir ‘kita akan segera mati’, para
saudagar yang keletihan itu melepaskan lembu mereka dari ikatan
pada gerobak-gerobak itu, lalu mengikat mereka ke roda gerobak,
dan kemudian berbaring dengan diteduhi bayang-bayang bagian
belakang dari gerobak-gerobak itu.”

“Dalam kehidupan tersebut, Baka adalah petapa yang telah
mencapai tahap jhāna keempat dengan pelbagai kekuatan
adikodrati. Lalu, pagi-pagi, setelah keluar dari kebahagiaan
pencerapan meditasi, Petapa Baka keluar dari gubuk daunnya.
Tampak olehnya banjir besar yang tengah meluap di Sungai Gaṅgā,
seakan-akan ada batu hijau yang sangat besar yang tengah bergulir
turun. Lalu pikiran ini timbul dalam dirinya: ‘Adakah di dunia ini
makhluk-makhluk yang tengah keletihan karena kekurangan air
yang sedemikian menyejukkan, yang hidupnya terancam
kekurangan air saat ini?’ Kemudian tampak olehnya rombongan
saudagar yang tengah menderita di gurun pasir tersebut. Karena
welas asih, ia bertekad dengan kekuatan adikodratinya: ‘Semoga
air yang sangat banyak dari Sungai Gaṅgā mengalir ke arah
mereka.’”

“Serta merta, air yang sangat banyak mengalir ke gurun
itu. Mendengar gemuruh air tersebut, orang-orang itu bangkit dan
bersukacita. Mereka minum air yang sejuk itu, serta mandi
sepuasnya; mereka mengisi kendi air mereka dan membiarkan
lembu-lembu mereka minum air itu. Setelah kekuatannya pulih
kembali, mereka melanjutkan perjalanan dengan selamat.”

“Demikianlah, Brahmā, dalam salah satu kehidupanmu yang
lampau, engkau telah mempergunakan kekuatan adikodratimu
demi kesejahteraan banyak orang, untuk menyelamatkan hidup
para saudagar dan hewan mereka dalam rombongan itu dari
siksaan terik matahari di gurun pasir tersebut. Inilah salah satu
perbuatan baikmu yang Kuingat, sebagaimana seseorang yang baru bangun tidur mampu mengingat mimpinya dengan jelas.”

“Beberapa waktu kemudian, sang petapa tengah berdiam
dalam sebuah gubuk dedaunan di tepi Sungai Gaṅgā, dan tinggal di
sana dengan mengandalkan desa di dekat hutan untuk memperoleh dana makanan. Suatu hari, segerombolan perampok menyerang desa itu. Dengan kejam mereka merampok semua harta
milik penduduk desa itu—emas, perak, ternak, dan barang
berharga lainnya. Mereka lalu mengikat semua penduduk desa.
Mereka tidak segan-segan memukuli penduduk desa dengan
tongkat, menendang, ataupun melukai mereka dengan pedang.
Tangisan dari penduduk desa yang tak bersalah serta hewan-hewan
di sana sangat memilukan.”

“Mendengar tangisan itu, sang petapa akhirnya mengetahui bahwa ada bahaya yang telah menimpa penduduk desa. Dengan segera ia menciptakan pasukan besar yang terdiri dari empat bagian, dan ia sendiri menjadi pemimpinnya, untuk menghadapi para perampok itu. Begitu para perampok jahat melihat pasukan besar itu, mereka meninggalkan seluruh barang jarahan mereka dan lari kocar-kacir. Sang petapa kemudian membebaskan para penduduk dan mengembalikan barang-barang itu kepada pemiliknya masing-masing. Para penduduk sangat bersukacita. Dengan perasaan sangat puas, sang petapa kembali ke gubuknya di dalam hutan.”

“Demikianlah, Brahmā, dalam kesempatan lain dalam kehidupanmu yang lampau, engkau telah menyelamatkan penduduk desa supaya tidak dirampok oleh gerombolan perampok dengan menciptakan pasukan besar dengan empat bagian. Inilah salah satu kebajikan yang engkau perbuat pada masa lampau, yang Kuingat melalui kekuatan untuk mengingat kehidupan lampau.”

“Lagi, beberapa waktu kemudian, ketika sang petapa tengah duduk di dalam gubuknya, ia memperhatikan ada perayaan pernikahan antara sebuah keluarga yang tinggal di hulu Sungai Gaṅgā, dengan sebuah keluarga yang tinggal di hilir sungai itu. Mereka telah berhubungan akrab turun-temurun. Mereka mengikatkan sampan-sampan mereka sebagai landasan untuk membangun panggung bambu dan kayu yang besar, untuk mengangkut pelbagai jenis makanan, minuman, bunga-bungaan, dan sebagainya. Di atas sampan-sampan itu, yang terapung perlahan mengikuti aliran Sungai Gaṅgā, banyak orang tengah bersuka ria dengan makanan, nyanyian, dan tarian.”

“Ketika pesta meriah itu tengah berlangsung, sesosok raja naga, yang merupakan penguasa dan penghuni Sungai Gaṅgā, melihat orang-orang itu dan menjadi marah, ia berpikir: ‘Orang-orang
ini bersenang-senang tanpa pertimbangan bahwa pesta pora
mereka dapat menggangguku, raja naga Sungai Gaṅgā. Sekarang
akan kubuat mereka terseret ke samudra.’

Dengan penuh murka, ia menampakkan dirinya sebagai naga ganas yang sangat besar, lalu membelah air sungai itu menjadi dua dengan secara tiba-tiba muncul dari tengah. Ia menegakkan tudungnya yang sangat besar dan mendesis menakutkan. Ia mengancam orang-orang itu seakan hendak menggigit dan membunuh mereka. Acara pernikahan yang meriah itu berubah menjadi kacau balau; orang-orang yang berada di atas sampan-sampan sangat panik dan menjerit keras-keras.”

“Sang petapa, yang tengah duduk di dalam gubuknya, tiba-tiba
mendengar tangis mereka dan berpikir: ‘Baru beberapa saat
yang lalu orang-orang ini sangat bahagia, menari, dan menyanyi,
namun sekarang mereka menangis keras seakan hidup mereka
tengah terancam. Ada apa gerangan?’ Dari luar gubuknya, tampak
olehnya sang raja naga yang sedang murka, yang menyebabkan
semua kehingar-bingaran itu. Karena ingin menyelamatkan
mereka, ia mengerahkan kekuatan adikodratinya dan berubah wujud menjadi garuda raksasa yang terbang di angkasa, hendak
mencengkeram si raja naga. Melihat garuda yang siap menyerangnya itu, raja naga menjadi ketakutan; ia menurunkan
tudungnya dan menenggelamkan diri ke dasar Sungai Gaṅgā.”

“Demikianlah, Brahmā, dalam salah satu kehidupan lampaumu, dengan mengerahkan kekuatan adikodrati, engkau kembali menyelamatkan orang-orang dari dua desa yang hendak
dihancurkan oleh raja naga yang ganas di tengah Sungai Gaṅgā.
Inilah salah satu kebajikan yang engkau lakukan pada masa
lampau, yang Kuingat melalui kekuatan-Ku untuk mengingat
kehidupan lampau.”

“Dalam kehidupan lainnya, Brahmā Baka merupakan petapa luhur yang bernama Kesava. Ia memiliki seorang siswa yang tinggal bersamanya, yang bernama Kappa. Kappa adalah murid yang pandai; ia menjalankan moralitas dengan baik. Ia senantiasa
patuh pada gurunya; ia hanya melakukan apa yang menyenangkan
hati sang guru. Kesava sangat dekat dengan muridnya ini dan
sangat mengandalkannya. Suatu ketika, ia pernah berada dalam
naungan raja di Bārāṇasī. Namun karena merasa tidak puas, ia
meninggalkan raja dan hidup menggantungkan diri pada
muridnya, Kappa.”

“Demikianlah, Brahmā, engkau adalah petapa luhur Kesava,
dan Aku adalah Kappa, murid yang tinggal bersamamu. Kala itu,
engkau memuji-Ku dengan penuh kasih bahwa Aku patuh, pandai,
dan menjalankan moralitas dengan baik. Laksana seseorang yang
bangun dari tidurnya, dengan kekuatan-Ku mengingat kehidupan
lampau, Aku mengingat kebajikan yang engkau lakukan pada masa
lampau.”

Ketika Yang Terberkahi tengah mengisahkan perbuatan
baik yang dilakukan Brahmā Baka dalam kehidupannya yang
lampau, Baka juga mengerahkan kekuatan spiritualnya untuk
mengingat kehidupan lampaunya. Sebagaimana halnya pelbagai
benda menjadi jelas di bawah terang seribu pelita minyak,
demikian pula semua perbuatan lampaunya perlahan-lahan
teringat kembali olehnya.

Yang Terberkahi kemudian menyatakan bahwa kapasitas
pengetahuan Brahmā Baka tidak sebanding dengan kapasitas
pengetahuan seorang Tataghata. Ia membuktikan bahwa kapasitas pengetahuan Tataghata jauh melampaui kapasitas pengetahuan sang brahmā.

Yang Terberkahi lalu melanjutkan:

“Sekarang, Brahmā, setelah menembus dengan pengetahuan langsung, Aku mengetahui unsur tanah beserta
sifatnya, yaitu: selalu berubah (anicca), tidak memuaskan (dukkha),
dan bukan-diri (anatta). Aku mengetahui Unsur Adikodrati
(Nibbāna Dhātu), yang pada hakikatnya tak dapat tercapai oleh
unsur tanah. Aku tidak melekat pada unsur tanah dengan
keinginan, kesombongan, dan pandangan salah; Aku tidak melekat
padanya sebagai sumber timbulnya keakuan (atta) serta unsur-unsur lainnya; Aku tidak melekat padanya sebagai Aku, milik-Ku,
ataupun diri-Ku. Dan Brahmā, setelah menembus dengan
pengetahuan langsung, Aku mengetahui unsur air, … unsur api, ...
unsur udara, ... makhluk hidup, ... para dewa, ... Pajāpati, … para
brahmā, … para brahmā di alam Ābhassara, … para brahmā di alam Subhakiṇha, … para brahmā di alam Vehapphala, ... para brahmā di alam Abhibhū, …. Setelah menembus dengan pengetahuan langsung, Aku mengetahui segala gugus dalam ketiga alam kehidupan dengan sifatnya, yaitu: selalu berubah, tidak
memuaskan, dan bukan-diri. Aku mengetahui Unsur
Adikodrati, yang tak dapat tercapai oleh segala gugus dengan
segala sifatnya. Aku tidak melekat pada segala gugus dengan
keinginan, kesombongan, dan pandangan salah; Aku tidak melekat
padanya sebagai sumber timbulnya keakuan dan tempat beradanya
unsur-unsur lainnya; Aku tidak melekat padanya sebagai Aku,
milik-Ku, ataupun diri-Ku. Dan dari sini, Brahmā, jelaslah bahwa
dalam hal pengetahuan adikdorati, engkau bukanlah tandingan Tataghata. Aku mengetahui jauh lebih banyak, bukan lebih sedikit.”

Mendengar penjelasan ini, Brahmā Baka menuduh bahwa
Yang Terberkahi tengah mengutarakan pernyataan salah. Ia
berkata: “Tuan yang baik, jika Engkau menyatakan bahwa Engkau
mengetahui apa yang tak tercapai oleh apa pun dengan segala
sifatnya, semoga Engkau terbukti tak berkata sia-sia dan kosong!”

Lebih lanjut Yang Terberkahi menjelaskan seperti ini:

“Brahmā, terdapat Unsur Adiduniawi ini, yang lebih tinggi
dari segala hal yang terkondisi, yang hanya mampu dipahami
melalui kesadaran adiduniawi, yang tidak kasat mata, yang sama
sekali tidak akan timbul dan lenyap, yang lebih terang dari segala
dhamma lainnya. Nibbāna Dhātu ini tidak bisa dicapai oleh unsur
tanah dengan sifatnya, … unsur air, ... unsur api, ... unsur udara, ...
makhluk hidup, para dewa, ... Pajāpati, … para brahmā, … para
brahmā di alam Ābhassara, … para brahmā di alam Subhakiṇha, …
para brahmā di alam Vehapphala, ... para brahmā di alam Abhibhū,
... tidak bisa dicapai oleh segala gugus melalui segala sifatnya
(sakkāya).”

Kemudian Brahma Baka menantang Yang Terberkahi dengan menunjukkan keunggulannya dalam mempertunjukkan mukjizat.

Demikianlah, ia berkata: “Kalau demikian, baiklah, Tuan
yang baik, aku akan menghilang dari hadapan-Mu. Carilah aku jika
mampu!”

Yang Terberkahi berkata: “Baiklah, Brahmā Baka,
menghilanglah dari hadapan-Ku jika engkau memang mampu!”

Setelah itu, Brahmā Baka bertekad: “Aku akan menghilang
dari hadapan-Nya; Aku akan menghilang dari hadapan-Nya.”

Yang Terberkahi mengetahui niatnya, lalu bertekad agar
tubuh sang brahmā tetap berada dalam keadaan kasatnya. Berkali-kali Brahmā Baka berusaha mengerahkan kekuatan adikodratinya,
namun ia tak mampu lolos dari jangkauan kekuatan Yang
Terberkahi. Lalu ia mencoba menciptakan kegelapan untuk
menyembunyikan dirinya, namun Yang Terberkahi menghalau
kegelapan itu sehingga ia tak bisa bersembunyi. Karena gagal, ia
masuk ke wisma miliknya dan bersembunyi di kaki pohon
pengabul permintaan. Melihat kelakuannya, serta merta para dewa
agung tertawa terbahak-bahak dan mencemooh dirinya dengan
berkata: “Brahmā Baka bersembunyi di dalam wisma miliknya dan
secara sembunyi-sembunyi berjongkok di kaki pohon pengabul
permintaan. Alangkah konyol caranya menyembunyikan diri!”

Lalu Yang Terberkahi berkata: “Brahmā Baka, engkau tak
mampu bersembunyi. Sekarang, Aku akan menghilang dari
hadapanmu. Carilah Aku jika mampu!”

Brahmā Baka berkata: “Menghilanglah dari hadapanku jika
Engkau memang mampu.”

Yang Terberkahi menyatakan tekad dengan kekuatan
adikodrati: “Biarlah Mahā Brahmā, kumpulan para brahmā, serta para pengiring brahmā hanya bisa mendengar suara-Ku namun tak
mampu melihat diri-Ku.”

Serta-merta Yang Terberkahi lenyap dari hadapan mereka
dan tidak bisa mereka temukan. Agar mereka tahu bahwa Ia masih
berada di sana walaupun tetap tidak tampak, Yang Terberkahi
mengumandangkan satu syair yang penuh inspirasi:

”Telah Kuketahui dengan jelas bahaya dari sifat kehidupan yang
berulang-ulang, Dan juga nafsu keinginan untuk menjadi dan untuk musnah. Aku tak menyatakan bentuk kehidupan apa pun, Aku tak lagi menikmati ataupun terikat pada kehidupan apa pun.”

“Para Bhikkhu, ketika Saya mengumandangkan syair tersebut, Brahmā Baka dan kumpulan para dewa agung seluruhnya
dipenuhi rasa kebahagiaan yang mendalam.

Mereka memuji: ‘Tuan-Tuan yang baik, sungguh menakjubkan! Sungguh menakjubkan! Belum pernah kami lihat petapa ataupun brahmin lainnya yang memiliki kekuatan dan kekuasaan yang sedemikian hebat seperti Bhikkhu Gotama, seorang pangeran Sākya yang telah melepaskan tahta dan menjalani hidup suci. Tuan-Tuan yang baik, kendatipun hidup dalam generasi yang menikmati kehidupan duniawi, yang terjerat dalam kesenangan indrawi, serta yang mendambakan berulangnya
kehidupan, Bhikkhu Gotama ini mampu mencabut akar segala
kelahiran.’

No comments:

Post a Comment