Sunday, 14 August 2016

ULAMBANA, melimpahkan jasa, menggandakan kebajikan.

Upacara Ulambana adalah ritual pelimpahan jasa dalam tradisi Mahayana. Upacara Ulambana biasa diadakan mulai bulan 7 tanggal 15 lunar sampai akhir bulan 7. Puncak penutupan upacara jatuh pada tanggal 29 atau 30, yang juga merupakan hari kebesaran Ksitigarbha Bodhisattwa (Di Zhang Wang Pu Sa 地藏王菩萨). Upacara ini juga bertepatan dengan upacara Sembahyang Rebutan/ Cio Ko/ Jit GweePua dalam tradisi Tionghoa. Karena itu, Ulambana sering kali disamakan dengan perayaan  tersebut. Akan tetapi  sebenarnya dasar filsafat dan cara praktek kedua perayaan tersebut berbeda.


Dalam tradisi Tionghoa, Sembahyang Rebutan merupakan bagian dari ritual-ritual yang berkaitan dengan musim. Acara sembahyang rebutan ini merupakan masa peralihan dari pertengahan awal tahun ke pertengahan akhir tahun/ ZhongYuanJie/ 中元節, dimana terjadi perubahan unsur Yang menjadi Yin. Saat itu dipercaya bahwa dewa pintu neraka purba (ShenLu dan YiLu), melepaskan roh-roh yang disiksa di alam bawah untuk masuk ke dunia Yang , dimana mereka memperoleh istirahat dan penghiburan, serta keringanan melalui suatu upacara ZhaoHun/招魂 atau ChaoDu/超度. Perayaan ini biasanya dilakukan selama periode 1 bulan, oleh karena itu di manca negara dikenal dengan sebutan GuiJie (festival hantu) / Ghost Month (bulan hantu).

Pada sekitar 300 S.M. , masa dinasti Jin, terjadi sinkretisme upacara ini dengan Buddhisme, berdasarkan kitab Mahayana YuLanPen Jing (Ulambana Patra Sutra).   Pada momen tersebut, kelenteng mengadakan upacara untuk memberi makan para roh di alam menderita, dan upacara ritual “penyeberangan arwah”. Arwah orang yang sudah meninggal, biasanya leluhur, diundang untuk kembali dan diantar menuju ke tempat asal leluhur tersebut. Tindakan ini adalah suatu perwujudan untuk menunjukkan rasa cinta kasih dan bakti.

Kini orang sering menyamakan antara Sembahyang Rebutan, yang merupakan tradisi ‘kelenteng’,  dengan ritual Ulambana versi Buddhis. Hal ini ada benar dan ada salahnya, tergantung darimana kita menilai. Tapi sebenarnya tradisi ‘penyeberangan arwah’ itu tidak terjadi begitu saja. Diawali masuknya Buddhisme ke Tiongkok, kemudian berkembang menjadi Buddhisme Mahayana Tiongkok, yang menyerap budaya setempat,  pengaruh tersebutlah  yang memberi warna bagi tradisi sembahyang rebutan di kelenteng.

Sebenarnya,dalam tradisi Buddhis, memperingati saat-saat kematian orang yang kita cintai telah dimulai sejak masa Buddha. Tentu saja bukan hanya dengan mengirim makanan, atau mengirim pakaian kepada orang tua atau mendiang. Ada beberapa hal yang memang diajarkan oleh Buddha dalam upacara peringatan kematian sepertiini.

Ada 2 kisah yang melandasi ritual pelimpahan jasa, yakni menurut tradisi Mahayana dan Therawada.

Yang pertama,  dalam tradisi Mahayana, sejarah ritual Ulambana /pelimpahan jasa,  meliputi 3 peristiwa, yaitu:

1. Maha Bhiksu Y.A. Maudgalyayana menolong ibundaNya yang menderita di alam NerakaY.A. Maudgalyayana/  Moggalana, salah satu dari 10 siswa utama Buddha yang terkenal kesaktianNya,  amat berbakti kepada ibuNya, dan dengan kesaktianNya berusaha  menolong ibu yang terlahir di alam Neraka-kelaparan, namun tak berhasil. Buddha kemudian mengajarkan untuk menolong dengan cara berdana kepada Arya Sangha dan pelimpahan jasa yang tulus, sehingga ibuNya  tertolong dan dapat terlahir di alam bahagia.

2. Maha Bhiksu Y.A. Ananda bertemu makhluk alam nerakaSuatu hari di masa warsa saat bermeditasi, Y.A. Ananda melihat makhluk aneh buruk rupa, kepala dan perut besar, leher kecil seperti jarum, dari 7 lubang mengeluarkan asap.  Ia meminta tolong kepada Y.A. Ananda untuk meringankan penderitaannya. Tetapi berbagai usaha sia-sia sehingga Y.A. Ananda memohon petunjuk pada Buddha.Buddha berkata,bahwa makhluk itu sebenarnya penjelmaan Awalokiteswara Bodhisattwa, guna menunjukkan  agar Y.A. Ananda tergerak menolong dan meringankan penderitaan makhluk-makhluk  di   alam menderita. Buddha menganjurkan kepada Arya Sangha agar setelah selesai menjalankan masa warsa, mengadakan upacara Ulambana guna menolong mereka yang tumimbal lahir di 3 alam samsara.

3. Hari Kathina Arya Sangha.Menurut perhitungan tradisi Mahayana, masa warsa (wassa, Pali) dimulai dari bulan 4 tanggal 15 Lunar dan berakhir pada bulan 7 tanggal 15. Selesai masa warsa –para bhiksu atau bhiksuni berkumpul bersama untuk lebih menghayati Dharma–, umat merayakannya dengan berdana.

Sedangkan yang kedua, adalah asal usul pelimpahan jasa dalam tradisi Therawada,  terdapat di Paramatthajotika, yang merupakan kitab komentar Khuddakapatha, yakni kisah Raja Bimbisara dan kerabatnya yang terlahir sebagai makhluk peta.

Buddha berkata, hadiah terbesar yang dapat dipersembahkan seseorang kepada leluhur yang telah meninggal adalah melakukan “tindakan jasa”, dan melimpahkan jasa yang telah diperoleh tersebut. Banyak yang salah mengerti, menganggap hal ini bertentangan dengan hukum karma, karena semua makhluk memiliki dan mewarisi perbuatannya sendiri. Pelimpahan jasa bukanlah seperti ‘mentranfer’ sejumlah simpanan di bank ke rekening orang lain, sehingga jumlah uang dalam rekening sendiri berkurang, sebaliknya rekening orang lain bertambah.

Pelimpahan jasa adalah ‘membuka peluang’ bagi makhluk lain agar merasa ikut berbahagia atas kebajikan yang dilakukan si penyalur jasa.Para makhluk di alam rendah tidak dapat membuat jasa kebajikan baru dan hanya hidup dengan jasa yang diperoleh dari dunia ini. Ketika mereka mengetahui bahwa sanak keluarganya melakukan perbuatan baik maka diharapkan mereka ikut gembira. Seperti halnya seorang anak yang menuntut ilmu di kota lain, dan memberitakan  kabar kelulusan kepada orangtuanya, sehingga mereka merasakan kebahagiaan. Inilah yang disebut pikiran ikut bergembira atas kebahagiaan orang lain (mudita citta), yang merupakan salah satu karma baik lewat pikiran. Dengan munculnya pikiran ikut berbahagia, berarti mereka telah melakukan perbuatan baik sendiri,  sehingga akan membantu mereka terlahir di alam yang lebih baik. Seseorang yang menyalurkan jasa kebajikan berarti melipatgandakan jasanya sendiri, entah orang yang dituju dapat menerima dan memanfaatkan jasa kebajikannya ataupun tidak. Karena selain telah berbuat jasa kebajikan itu sendiri, ia melakukan suatu kebajikan lain lagi, yaitu: berniat atau berkehendak agar makhluk lain berbahagia dan ikut berbuat kebajikan.

Pelimpahan jasa kebajikan dapat diibaratkan seperti penyulutan api ke pelita-pelita lain, yang bukannya menyuramkan melainkan justru memperterang.Y.A.Nagasena Thera menjelaskan dalam Milinda Panha bahwa penyaluran jasa tidaklah dapat diterima oleh makhluk yang terlahir kembali di alam surga, neraka atau binatang. Demikian pula yang terlahir kembali sebagai hantu (peta)  ludah, dahak dan muntahan (wantasika), yang senantiasa kelaparan, kehausan dan kekurangan (khuppipasika), dan yang senantiasa terberangus (nijjhamatadhika). Yang dapat menerima penyaluran jasa hanyalah peta yang memang hidup bergantung pada makanan pemberian orang lain dengan cara penyaluran jasa, atau yang tergolong hantu yang hidup atas dana orang lain (paradattupajiwika peta).

Meskipun demikian, saat Ulambana, kita  mempersembahkan Amisa Puja kepada para Buddha Bodhisattwa Mahasattwa,   Amisa Dana kepada Sanggha, membacakan Sutra-Sutra Suci, juga berdana makanan kepada para makhluk di alam menderita. Semua kebajikan tersebut akan membuatpara Makhluk Suci turut bergembira, sebagaimana dinyatakan dalam kutipan berikut:

"…. sehingga tepat ketika upacara diadakan, rombongan Arya akan datang untuk ikut bergembira dan merayakan upacara Ulambana yang diadakan oleh para pemuja. Para Arya tersebut adalah mereka yang sedang melakukan Samadhi di gunung-gunung; Para suci yang telah mencapai 4 macam pahala Buddha dengan identitas bertingkat, Arahat yang sedang berkelana dari bawah pohon ke pohon; atau yang telah memperoleh Sad Abhijna,kemudian mereka yang sedang menjalankan kewajiban mengajarkan Dharma luhur kepada para Sravaka atau para Pratyekabuddha diberbagai daerah; dan Bodhisattwa-Mahasattwa yang berstatus Dasa-Bhumiya (Sepuluh Tingkat Bhumi) yang mana mereka dapat menjelmakan dirinya sebagai Bhiksu, Bhiksuni, dan berbaur didalam kelompok Sravaka-Sangha, menjadikan rombongan.

No comments:

Post a Comment